Napoli, Roma, dan Maradona

Foto: Wikipedia Commons

Hubungan Napoli dan Roma berubah sejak kedatangan Maradona. Apakah kepergiannya bisa mengembalikan kemesraan yang semula?

Di luar pertandingan sepak bola, ada satu masa San Paolo menjadi tempat yang teramat sesak.

Sekitar 75 ribu orang menjadi saksi pertama kalinya Diego Maradona mengenakan kostum Napoli di San Paolo. Menurut The Guardian, jumlah massa yang hadir di sana hanya kalah dari acara perkenalan Cristiano Ronaldo di Real Madrid.

Sejak hari itu, Maradona memberikan banyak hal dan kenangan baik kepada Napoli dan masyarakat Naples. Dua gelar juara Serie A adalah salah satu contohnya. Mimpi dan harapan bagi anak-anak Naples jadi cerita lainnya.

Namun, kedatangan Maradona di Napoli tak hanya membuat tonggak baru dalam sejarah. Ia juga memicu terjadinya kejadian-kejadian lain yang membuat rivalitas Napoli dan AS Roma hidup kembali.

***

10 November 1929 akan menjadi tanggal yang selalu diingat oleh Balilla Lombardi. Hari itu, ia mendapatkan giliran untuk menjadi ball boy pada pertandingan antara Roma dan Napoli yang dihelat di Campo Testaccio.

Roma mencetak gol lebih dulu pada awal pertandingan. Napoli yang tak ingin kalah mencoba bermain menyerang hingga mendapatkan peluang melalui Camillo Fenili. Tanpa banyak melakukan dribel, ia melepaskan sepakan jarak jauh yang mengagetkan kiper Roma, Bruno Ballante.

Gerak bola sepakan Fenili amat kencang. Sampai saat mata memandang, bola sudah berada di luar gawang. Semua pemain Napoli dan penonton yakin bahwa itu gol. Namun wasit tak demikian. Ia tak mengesahkan gol tersebut dan memutuskan bahwa itu adalah goal kick.

Permusuhan kemudian dimulai. Napoli merasa muak dengan kelakuan pemain Roma yang tak jujur saat itu. Belakangan, Ballante dan salah satu petinggi Roma yang hadir saat itu, Vincenzo Biancone, mengakui bahwa itu memang gol.

Selama bertahun-tahun, pertandingan antara kedua tim menjadi pertandingan yang panas. Rivalitas antara kedua tim mulai mencair saat sama-sama melawan cap dan stereotip buruk atas budaya Italia Selatan.

Italia Selatan adalah perwujudan dari manusia malas nan rakus. Dari pagi hingga siang, waktu banyak mereka habiskan di pinggir pantai sambil mengobral janji. Di malam hari, mereka memenuhi bar untuk berceloteh soal pekerjaan di pagi hari yang sebetulnya tidak dilakukan.

Nasib di luar lapangan berbanding lurus dengan apa yang ada di dalam. Dominasi oleh trio klub Italia Utara, Juventus, Internazionale, dan AC Milan, membuat Napoli dan Roma sepakat untuk membuat kutub baru.

Pada pertengahan 1970-an, kedua tim memberangus pemisahan suporter di dalam stadion. Tak ada yang namanya tribune suporter Napoli dan Roma. Suporter bebas menonton dari semua sisi tribune.

Hubungan tersebut membuat suporter Napoli tak ragu saat berteriak, “Roma! Roma! Roma!” dan suporter Roma berkata, “Napoli! Napoli! Napoli!” Sebagai simbol, sebelum pertandingan, masing-masing klub mengirimkan satu orang untuk bertukar bendera.

Mereka semakin menguat saat Gennaro Montuori, salah satu pentolan suporter Napoli, meminta izin untuk mengopi nama ultras Roma, CUCS, untuk menjadi nama kelompok ultras baru Napoli, CUCB. Sebagai ucapan terima kasih, CUCB memberikan tempat khusus untuk banner CUCS di tribune mereka.

Semua berubah dalam tempo singkat. Kedatangan Maradona tidak hanya direspons baik oleh masyarakat Naples. Namun, juga orang-orang di sekitar. Napoli kini tak hanya makin populer, tetapi juga memiliki kemampuan yang sama dengan Roma.

Pertandingan pertama antara Napoli dan Roma pada 1984 di San Paolo jadi awal mula permusuhan. Di saat tiket dalam jumlah besar dibagikan untuk suporter Roma, praktik calo memperdagangkan tiket palsu kepada suporter Napoli.

Imbas dari hal tersebut adalah stadion penuh dan tak ada sedikit ruang. Masalahnya, beberapa kelompok suporter Roma tak kebagian tempat. Bentrok pun tak terhindarkan antara penonton baru yang ingin menikmati Maradona dengan beberapa kelompok suporter Roma.

Pada 1986, keadaan memanas saat suporter Roma meneriakkan kata-kata kotor kepada pemain Napoli, Bruno Giordano, yang didatangkan dari Lazio. Seperti tak terima, suporter Napoli, meledek Bruno Conti yang hari itu penampilannya tak ada apa-apanya dibanding Maradona.

Setahun kemudian, tak ada lagi tukar dukungan antara kedua suporter. Masing-masing suporter bahkan saling ledek di awal pertandingan. Roma unggul lebih dulu melalui Roberto Pruzzo dan teramat yakin untuk menang.

Namun, di waktu yang tersisa, Giovanni Francini, mencetak gol setelah menyundul bola sepak pojok Maradona. Pemain Napoli berpesta di depan tribune suporter Roma. Pertandingan berakhir dengan panasnya suporter Roma.

Saat mayoritas pemain Napoli berpesta di depan suporter mereka, Salvatore Bagni justru berlari ke arah CUCS. Ia melompat sambil melakukan gesto dell’ombrello. Sejak hari itu, Derby del Sole berubah makna.

***

Sejak kejadian tersebut, Derby del Sole tak lebih dari cara suporter kedua tim memakan mangsa.

Saat Roma memastikan juara Serie A 2000/01, mereka datang ke Naples dan mengadakan pesta layaknya tuan rumah. Suporter Napoli yang tak terima, membalas dengan beringas dan melemparkan apa saja benda di dekat mereka.

Puncak rivalitas pendukung kedua tim terjadi pada pertandingan final Coppa Italia 2013/14, antara Napoli dan Fiorentina yang digelar di Roma. Pertandingan tersebut menewaskan suporter Napoli bernama Ciro Esposito setelah menerima tembakan tepat di punggung.

Sempat dirawat 53 hari, nyawa Esposito pada akhirnya tidak tertolong. Setelah kejadian, polisi memutuskan bahwa pelaku penembakan adalah Daniele De Santis, yang notabene adalah ultras Roma. Ia dihukum penjara selama 26 tahun.

Sejak hari itu, setiap pertemuan Napoli dan Roma pasti akan terjadi perkelahian. Antisipasi masing-masing tim dan kepolisian pada akhirnya jadi tak berguna. Meski tak ada lagi yang meninggal dunia, tapi sudah banyak hal yang jadi korban.

Rivalitas antara keduanya, baik di dalam dan luar lapangan, mungkin akan selalu ada. Namun, untuk setidaknya mengkhidmati berpulangnya Maradona, barangkali hubungan mereka dapat kembali seperti semula.