Nasib Sial si Mr. Runner-up

Michael Ballack di tengah-tengah suporter Jerman. Foto: Shutterstock.

Michael Ballack sebodo amat ketika orang-orang menjulukinya Mr. Runner-up. Yang ia tahu, orang-orang bisa memilih untuk mengingatnya sebagai pesepak bola spesial.

Silakan Anda ketik ‘Neverkusen’ di Google. Laman pencarian itu tak akan menganggapnya sebagai typo. Di baris teratas, Anda akan melihat jadwal pertandingan Bayer Leverkusen. Di deretan berikutnya, yang terlihat adalah halaman Wikipedia klub milik perusahaan farmasi itu.

Neverkusen memang bukan typo. Ia merujuk langsung pada Leverkusen. Kata ‘Never’ di sana benar-benar bermakna ‘tak pernah’ sebab Leverkusen tak pernah sekalipun menjuarai Bundesliga. Bahkan ketika julukan yang lebih mirip olok-olok itu pertama kali muncul, mereka tengah mengalami tragedi paling mengenaskan sepanjang sejarah klub: Treble runner-up.

Semua terjadi pada 2001/02. Di pengujung musim, Leverkusen punya peluang merengkuh tiga trofi sekaligus. Mereka unggul lima poin atas Borussia Dortmund di puncak ketika Bundesliga tersisa tiga laga saja. Di DFB-Pokal, Leverkusen berhasil melaju ke babak final dan bakal melawan Schalke. Sedangkan di Liga Champions, mereka menghadapi Real Madrid.

Dalam dua pekan, semua berubah menjadi petaka. Posisi mereka di Bundesliga disalip Dortmund yang mampu finis dengan keunggulan satu angka. Di dua kompetisi lain, Leverkusen juga mesti menyerahkan gelar kepada tim lain: Mereka dihajar Schalke dengan skor 2–4 dan kalah 1–2 dari Madrid berkat gol bersejarah Zinedine Zidane.

Tragedi itu melengkapi kisah memilukan yang sudah mendera Leverkusen sejak 1996–97. Hingga 2002, empat kali mereka finis di urutan kedua Bundesliga, tepatnya pada 1996–97, 1998–99, 1999–00, 2001–02. Maka kalau ada tim yang sepertinya sengaja dikutuk untuk selalu berkawan dengan kesialan, tim itu pastilah mereka. Inilah ‘Neverkusen’.

Namun, ada satu garis merah yang bisa orang-orang lihat dari Leverkusen selama masa mengenaskan. Bukan, ini bukan hanya soal jersi strip merah yang mereka kenakan. Ini menyangkut fakta bahwa pada kurun itu, terlepas dari kesialan yang dialami, Leverkusen tetaplah tim yang menakutkan. Dan untuk semua itu, ada satu nama yang patut dikedepankan: Michael Ballack.

Orang-orang menyebutnya sebagai gelandang terkomplet Jerman sejak era Lothar Matthaeus. Hanya sekali melihatnya berlaga, kita bisa membuktikan bahwa itu tak berlebihan. Seperti Matthaeus, Ballack punya kemampuan bertahan sekaligus menyerang tingkat satu. Ia bisa melakukan tekel di lini belakang, lalu tiba-tiba saja berada di depan dan mencetak gol.

Edd Norval dari These Football Times punya cara terbaik untuk menjelaskan betapa kompletnya Ballack. Dalam artikelnya, dia menulis bahwa Ballack mungkin tak seberbakat Zidane dan sekejam Roy Keane. Ia juga masih tertinggal dari banyak gelandang lain pada masa yang sama. Namun, hanya Ballack yang mampu terlibat pada semua aspek pertandingan.

Ballack juga disebut-sebut punya jiwa kepemimpinan tinggi. Simak bagaimana Franz Beckenbauer, legenda sepak bola Jerman, menggambarkannya. “Michael Ballack adalah seorang pemimpin. Dialah kapten sesungguhnya. Dia diterima semua orang dan sangat bisa diandalkan,” ucap Der Kaizer suatu kali.

Ballack lahir di Goerlitz, sebuah kota di sebelah timur Jerman pada 1976. Dua puluh tahun berselang, kariernya tampak biasa-biasa saja karena cuma bermain untuk Chemnitzer FC. Namun, namanya sudah terpilih untuk bergabung dengan Jerman U-21. Penampilannya di sanalah yang memicu Otto Rehhagel untuk merekrut Ballack ke Kaiserslautern.

Ballack (kanan) ketika memperkuat Leverkusen. Foto: Twitter @ChampionsLeague.

Ketika berhasil membawa die Roten Teufel meraih juara Bundesliga 1998, semua akhirnya tahu bahwa Ballack bukan pemain biasa-biasa saja. Apalagi, Kaiserslautern baru saja kembali dari level kedua kala itu. Kisahnya lantas berlanjut ke Leverkusen setahun berselang, tetapi di sini penampilan cemerlangnya tak sebanding dengan gelar juara yang tak kuasa ia raih.

Salah satu penyebab Ballack begitu sulit meraih gelar adalah nasib sialnya pada laga-laga penting. Ketika Bundesliga 1999/00 memasuki akhir, Leverkusen hanya butuh satu poin untuk menjadi juara. Lawannya relatif gampang. Cuma Unterhaching. Tebak apa yang terjadi: Ballack malah mencetak gol bunuh diri yang membuat gelar lenyap ke tangan rival.

Lantas, julukan Mr. Runner-up tersemat padanya, beriringan dengan julukan Neverkusen yang melekat pada Leverkusen usai meraih treble runner-up semusim berselang.

Betapa sial dan betapa cocoknya julukan itu pada Ballack semakin terlihat beberapa bulan setelah final Liga Champions 2002. Di Piala Dunia Jepang-Korea Selatan, Ballack ‘seorang diri’ membawa Jerman melaju hingga final. Apa boleh buat, akumulasi kartu membuatnya absen pada laga puncak melawan Brasil. Jerman kalah 0–2. Ballack lagi-lagi jadi Mr. Runner-up.

Ia memutuskan hengkang tepat setelah musim menyebalkan itu. Labuhannya tak main-main: Bayern Muenchen. Ballack datang bersamaan dengan Ze Roberto yang juga direkrut dari Leverkusen. Tentu saja, keduanya adalah pilar penting tim yang bermarkas di bantaran timur Rhein itu ketika meraih treble runner-up pada 2002. Tak heran jika Bayern jadi sasaran cemooh.

Semua tambah runyam karena performa Leverkusen langsung jeblok pada musim berikutnya. Di Bundesliga, Leverkusen yang masih dilatih juru taktik eksentrik Klaus Topmoller bahkan cuma mampu finis di urutan ke-15, satu tingkat saja di atas zona play-off degradasi. Sangat berkebalikan dengan capaian mereka pada lima musim sebelumnya.

Dalam kondisi seperti itu Bayern masih sempat-sempatnya ‘mengambil’ aset milik Leverkusen lain. Bek asal Brasil, Lucio, turut mereka bawa ke tanah Bavaria. Namun, itu jadi nama terakhir yang pindah langsung dari Leverkusen ke Bayern sebab pada musim-musim berikutnya Leverkusen terkesan enggan menjual pemain ke Die Roten.

Semua karena peraturan tegas Rudi Voeller. Ketika Bayern berniat mendatangkan Arturo Vidal pada 2011 saja, misalnya, Direktur Olahraga Leverkusen itu merespons dengan penolakan tegas. Ujungnya-ujungnya Vidal memang tetap bergabung dengan Bayern, tetapi tidak lewat Leverkusen, melainkan ‘jalur’ Juventus.

“Bayern bisa memberi penawaran untuk pemain mana pun yang mereka inginkan dari kami. Namun, mereka tidak akan mendapatkannya. Kami hanya akan menjual pemain ke klub asing,” tutur Voeller.

Yang Voeller lakukan membuat perpindahan Ballack, Ze Roberto, dan Lucio menjadi sangat bersejarah. Merekalah angkatan terakhir yang pindah secara langsung dari BayArena menuju Bayern. Khusus Ballack, para penggemar sempat mengutuk sejadi-jadinya. Namun, Ballack tak pernah menyesali keputusan tersebut.

Pertama, karena di Bayern-lah Ballack kembali berhasil meraih gelar setelah terakhir kali mendapatkannya pada 1998 bersama Kaiserlautern. Pada musim pertamanya bersama Bayern, ia bahkan sanggup merengkuh double winner. Kedua, karena di tim ini pula ia mampu mencapai performa terbaik.

Ballack menyebut musim 2005–06 sebagai musim ketika ia merasa tak terhentikan pada hampir setiap pertandingan. Musim itu ia bikin 14 gol dan 4 assist di Bundesliga, catatan paling produktif yang pernah Ballack bukukan dalam satu musim kompetisi.

Meski begitu, tetap saja, kesialan seolah tak bisa benar-benar menjauh dari Ballack. Pada Piala Dunia 2006 yang digelar di rumah sendiri, Ballack hanya mampu membawa Jerman melaju ke babak semifinal.

Nasib sialnya bahkan terus berlanjut ketika pindah ke Chelsea pada 2007. Jerman yang ia kapteni di Euro 2008 kalah dari Spanyol berkat gol semata wayang Fernando Torres pada babak final. Pada tahun yang sama, ia mesti menahan tangis usai melihat John Terry terpeleset saat adu penalti final Liga Champions melawan Manchester United.

Ballack ketika memperkuat Timnas Jerman. Foto: Shutterstock.

Anda ingat insiden wasit Tom Henning Ovrebo pada semifinal Liga Champions 2009? Itu juga bagian dari kesialan si Mr. Runner-up.

Ballack benar-benar tak bisa berbuat apapun atas segala kesialan yang menimpanya. Bahkan, kesialan itu mewujud pada fakta bahwa Ballack lahir di era yang salah. Ia bersinar di tengah-tengah Jerman yang terpuruk. Masa keemasannya disibukkan dengan bermain bersama nama-nama seperti Carsten Jancker dan si tua Oliver Bierhoff.

Ballack tak sempat menikmati era ketika Philip Lahm dan Bastian Schweinsteiger mencapai bentuk terbaiknya. Kesempatan sempat nyaris hadir pada Piala Dunia 2010. Namun, karena nyaris, itu tak pernah benar-benar datang. Jelang gelaran di Afrika Selatan itu dimulai, Ballack malah cedera sehingga tempatnya digantikan oleh Sami Khedira.

Orang-orang Jerman lantas menyebutnya sebagai unvollendeter atau sosok yang ‘belum lengkap’. Gelar Premier League, Bundesliga, dan berbagai raihan domestik lain dianggap tak cukup untuk membuat namanya berada di deretan yang sama dengan pemain hebat lain. Namun, ketika pensiun pada 2012, Ballack menyatakan bahwa ia tak peduli.

“Gelar terkadang tampak overrated. Tentu Lothar Matthaeus akan selalu identik dengan Piala Dunia 1990. Namun, apakah orang akan langsung bicara soal gelar jika membahas Guenter Netzer, Johan Cruyff, atau Luis Figo? Atau apakah mereka justru akan membahas bagaimana gaya bermain pemain tersebut atau bagaimana mereka memimpin tim?”

“Saya harap orang-orang mengingat saya sebagai pesepak bola spesial,” ungkap Ballack.