Nesta dan Tekel Sehalus Sutra

Foto: Twitter @IFTVOfficial.

Jika sepak bola Italia ingin meromantisasi bagaimana caranya bertahan dengan kokoh sekaligus elegan, lihatlah Alessandro Nesta.

Silakan tengok bagaimana gaya bermain Sergio Ramos. Berikutnya, silakan Anda cari salah satu rekaman pertandingan ketika Alessandro Nesta masih aktif menendang bola. Pada dua sosok yang berposisi serupa itu Anda akan merasakan sesuatu yang teramat kontras.

Ramos mewakili stereotipe umum tentang pemain bertahan sepak bola. Bahwa seorang bek tengah sangat bertumpu pada kekuatan fisik, tak segan menghajar lawan, hingga rela-rela saja mendapat kartu dari wasit. Semuanya tergambar jelas dalam wujud pemain Real Madrid itu.

Silakan simak lagi apa yang Ramos lakukan tiap kali berjumpa Barcelona. Kartu merahnya saja menyentuh angka 26 di La Liga, terbanyak sepanjang masa. Itu belum menghitung kompetisi lain, juga catatan kartu kuningnya yang jauh lebih banyak lagi jumlahnya (260 kartu).

Yang demikian itu tak akan terlihat sama sekali dalam diri Nesta. Jumlah kartu merahnya bahkan cuma sebiji. Lebih jauh, pada tiap aksinya di lini belakang, orang-orang akan berdecak kagum seraya terus-terusan berkata: “Inilah seni bertahan sepak bola Italia.”

Dalam artikelnya di These Football Times, Matthew Santangelo berujar bahwa semua bangsa punya cara masing-masing dalam meromantisasi permainan indah. Italia juga punya cara tersebut. Jika Belanda terkenal karena total football, orang Italia bisa dengan bangga menyebut seni dalam bertahan.

Selama berpuluh-puluh tahun, aspek bertahan adalah landasan utama sepak bola Italia. Raihan empat trofi Piala Dunia jadi wujud nyata keberhasilan pendekatan itu. Secara rinci, bukti nyata seni bertahan ala Italia mewujud pada lahirnya para pemain bertahan elegan yang tiada putus.

Dekade 50-an mengenal nama-nama seperti Giovanni Trapattoni hingga Cesare Maldini. Pada masa-masa berikutnya para pemain serupa terus hadir. Dari Tarcisio Burgnich hingga Franco Baresi, sejak Paolo Maldini sampai Fabio Cannavaro. Semua mewakili apa yang Italia sebut sebagai seni bertahan.

Dua nama terakhir termasuk yang paling menonjol, terutama Cannavaro. Ketika pada banyak tahun sebelumnya gelar pemain terbaik dunia jadi milik mereka yang aktif mencetak gol, Cannavaro menerobos batas. Ia memimpin Italia menjuarai Piala Dunia lalu dinobatkan sebagai pemenang Ballon d’Or.

Namun, di antara semua nama yang teramat luar biasa itu, di tengah-tengah mereka yang sudah memenangi begitu banyak penghargaan individu, justru Nesta yang dianggap paling identik dengan apa yang orang-orang Italia maksud sebagai seni bertahan.

Nesta adalah seorang Roma tulen. Sejak kecil ia mendaulat diri sebagai penggemar berat Lazio. Tentu, ada peran keluarga di baliknya. Sang ayah juga seorang Laziale. Maka, ketika AS Roma mendekati Nesta yang masih bocah sembilan tahun, dengan tegas ayahnya menolak.

Pilihannya jelas jatuh pada Lazio.

Masa bocahnya sempat diwarnai dengan berbagai posisi. Ia pernah bermain sebagai penyerang hingga gelandang. Namun, pada akhirnya Nesta mengukuhkan diri sebagai seorang bek tengah. Jika ini sebuah takdir, berarti Nesta baru saja mendapat takdir terbaik seumur hidupnya.

Dengan posisi itu, Nesta berhasil menjalani debut senior ketika usianya masih 18 tahun. Dino Zoff yang memberinya kesempatan bersejarah pada musim 1994–95 itu. Walau begitu, Nesta baru benar-benar berkembang pada musim berikutnya atau ketika Zdenek Zeman berkuasa.

Lantas, saat ada yang bertanya siapa yang paling berpengaruh dalam kariernya sebagai pemain bertahan, Nesta akan dengan lantang menjawab: Zeman.

“Saya tidak ingin melupakan siapa yang telah memicu kemampuan saya. Zeman memainkan peran fundamental dalam karier. Dia selalu percaya pada kemampuan saya. Dia seorang jenius yang seringkali disalahpahami,” ungkap Nesta suatu kali.

Setelah dua musim masa Zeman berakhir, Nesta berlatih bersama sosok lain, yakni Sven-Goran Eriksson. Cuma satu yang bisa disimpulkan dari kiprahnya bersama pelatih tersebut: Kemampuan bertahannya semakin berkembang hingga tingkat yang tak terbayangkan.

Satu lagi, mentalnya kian terasah. Eriksson bahkan menobatkannya sebagai kapten pada 1998/99 Waktu itu, Nesta masih berusia 22 tahun. Sebelumnya, ia sempat menjadi kapten pengganti pada 1997. 

Di Lazio sendiri, sementara itu, perjalanannya di Lazio bertahan hingga 2002. Setelahnya ia bergabung dengan AC Milan. Ini keputusan yang mengundang amarah para suporter tetapi Nesta punya alasan jelas. Konon, perpindahan ini terjadi sebagai upaya menyelamatkan kondisi finansial klub.

Itu jadi alasan pertama Nesta tak pernah menyesali keputusannya. Alasan kedua, ia berhasil meraih hampir semuanya sejak berseragam Rossoneri. Serie A, Coppa Italia, Piala Super Italia, hingga Liga Champions. Bahkan gelar Piala Dunia ia capai bersama Italia saat sudah berseragam Milan.

Meski begitu, satu yang tak pernah berubah, Nesta tetap mampu mempertahankan seninya dalam bertahan, sesuatu yang membuat namanya besar sejak era catenaccio.

Ketika bertahan, pergerakannya di lini belakang tampak begitu tenang. Namun, yang paling utama, Nesta bisa melakukannya dengan cara yang sedap dipandang mata. Ia bisa menjungkalkan lawan tanpa terlihat mengintimidasi. Ia bisa menekelmu dengan gerakan yang super halus.

Barangkali itulah alasan mengapa catatan kartu Nesta terbilang minim.

Alessandro Nesta dan Andriy Shevchenko merayakan kemenangan. Foto: Twitter @Nesta.

Bahkan pada masa-masa senjanya, Nesta masih sempat menunjukkan betapa dialah perwujudan seni dalam bertahan tersebut.

Nesta memimpin rekan-rekannya di AC Milan melawan Barcelona pada September 2011 dalam laga babak grup Liga Champions. Pada suatu waktu, Lionel Messi yang sedang gila-gilanya bersama Barca meliuk-liuk menuju kotak penalti Milan.

Ia sudah melewati beberapa pemain bertahan Milan. Gawang Christian Abbiati pun sudah di depan mata. Jika itu menjadi gol, skor akan berubah 3–1 untuk keunggulan Barcelona. Namun, entah dari mana, Nesta meluncur tiba-tiba lewat tekel tajam tetapi sangat halus. Messi terpental begitu saja.

Pada akhirnya Milan memang tetap mengalami kekalahan, tetapi hari itu Nesta yang sudah berusia 35 tahun lagi-lagi menunjukkan kemampuan tak biasanya kala bertahan. Maka, ketika ia memutuskan pensiun dua tahun berselang, sepak bola Italia merasa kehilangan.

“Kami ditinggalkan oleh salah satu bagian penting dari sejarah klub, juga sejarah penting sepak bola Italia,” kata Maldini, yang selama bertahun-tahun jadi kompatriot Nesta di lini belakang.

====

*Catatan Editor: 
Sebelumnya tertulis bahwa Alessandro Nesta menjadi kapten Lazio pada 1997. Yang betul, ia resmi menjadi kapten pada musim 1998/99.