Nyala Camavinga

Foto: @camavinga.

Perlahan tapi pasti, Eduardo Camavinga menunjukkan bahwa dia layak menjadi pemain utama di lini sentral El Real.

“Eduardo, mulai hari ini kamu berada di Bernabeu. Itu artinya kamu memiliki tanggung jawab untuk menjadi bagian dari klub legendaris ini,” begitu kata Florentino Perez ketika memperkenalkan Eduardo Camavinga.

Ketika mendatangkan Camavinga, Madrid punya proyeksi panjang. Kalau bukan, untuk apa pula mereka berani membayar 40 juta euro demi menebusnya dari Rennes. Kontrak jangka panjang juga Madrid sodorkan kepada Camavinga. Enam tahun alias sampai 30 Juni 2027.

Ketertarikan Madrid kepada Camavinga sebenarnya bukan hal baru. Mereka sudah memonitornya sejak tiga tahun silam. Kala itu El Real sampai mengutus pemandu bakat mereka, Juni Calafat. Pria yang juga menemukan Marco Asensio, Martin Odegaard, dan Takefusa Kubo itu ditugaskan untuk memantau perkembangan Camavinga. Urgensinya jelas, Madrid membutuhkan regenerasi pada sektor gelandang.

Bukan, bukan berarti MCK sudah kehilangan tuahnya. Toh, supergrup yang beranggotakan Luka Modric, Casemiro, serta Toni Kroos itu sudah menghasilkan 13 trofi untuk Real Madrid dalam 7 tahun terakhir. Di dalamnya ada tiga gelar Liga Champions yang diraih beruntun. Bahkan sampai sekarang ketiganya masih melakukan tugasnya dengan sempurna: Penyeimbang lini tengah sekaligus pembeda di saat-saat genting.

Yang jadi soal, Modric, Casemiro, dan Kroos sudah mulai uzur. Kroos dan Casemiro sudah menyentuh kepala tiga. Lebih-lebih lagi Modric yang akan menginjak 37 tahun pada September nanti.

So, sudah seharusnya Madrid menyiapkan penerus ketiganya. Federico Valverde sudah hampir pasti mendapatkan satu slot di masa akan datang. Asensio juga perlahan diproyeksikan Carlo Ancelotti untuk mampu bermain di tengah. Dan Camavinga adalah kepingan puzzle terakhirnya. 

Sebelum bergabung ke Madrid, Camavinga sudah duluan mencuri sensasi. Dia memecahkan rekor sebagai pemain utama termuda dalam sejarah Rennes di usia 16 tahun, 4 bulan, dan 27 hari. Pun pada level timnas. Penampilannya melawan Kroasia di UEFA Nations League membawa Camavinga melampaui catatan legendaris Maurice Gastiger sebagai pemain termuda Les Bleus—yang bertahan sejak 1914. Umur Camavinga waktu itu 17 tahun, 9 bulan, dan 29 hari.

Nilai jual Camavinga adalah kemampuan dalam membaca permainan. Dia piawai mengisi ruang sekaligus memutus serangan lawan. Itu terpapar dari rata-rata tekelnya yang menyentuh 4,2 per laga pada Ligue 1 edisi 2019/20. Tak ada pemain lain yang melebihi torehannya.

Sementara pada musim 2020/21, Camavinga bermain sedikit lebih ofensif—seiring dengan kedatangan Bruno Genesio di kursi pelatih. Genesio menanggalkan pakem 4-4-2 yang jadi andalan Julien Stephan dan beralih ke 4-1-4-1 atau 4-3-3. Di situ Camavinga lebih intens bermain sebagai gelandang box-to-box ketimbang holding midfielder. Apalagi spot gelandang bertahan rutin diberikan kepada Steven Nzonzi.

Secara tak langsung pergeseran peran ini memacu Camavinga menjadi gelandang yang komplet. Dia dituntut agar lebih intens melakukan dribel dan melepaskan umpan kunci. Hasilnya impresif. Rata-rata dribelnya mengalami peningkatan dari 0,8 ke 1,2 per pertandingan. Sementara rataan key pass-nya dua kali lipat lebih banyak dibanding musim lalu.

Perkara aksi bertahan, Camavinga masih menjadi yang terbaik di antara rekan-rekannya. Spesifiknya soal tekel, rata-ratanya menyentuh 2,8 di tiap pertandingan.

See? Dari sini bisa dipahami mengapa Madrid mendatangkannya di musim panas lalu. Mereka membutuhkan gelandang yang tak hanya rajin bertahan, tetapi juga mampu berkontribusi dalam aksi ofensif.

Lantas, apa kontribusi Camavinga untuk Madrid?

Jujur saja, Camavinga belum terlalu mencolok di musim pertamanya ini. Menit mainnya di La Liga tak genap seribu. Dari 22 kali pementasan, hanya 10 kali dia tampil sebagai starter. Sama seperti Zinedine Zidane, Ancelotti masih mengandalkan MCK sebagai tumpuan di area sentral. Namun, berarti Camavinga nihil kontribusi. Dia justru bisa menjadi opsi ketika Ancelotti tidak bisa menurunkan trio regulernya sekaligus. 

Pada awalnya Camavinga memang diplot sebagai pelapis Casemiro. Ini masuk akal, sebab pemain 19 tahun itu bermain di posisi gelandang bertahan di awal-awal karier profesionalnya. Ditambah lagi dengan nihilnya stok alternatif gelandang bertahan yang dimiliki Madrid.

Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, Ancelotti kemudian menjajalnya untuk bermain sebagai pemain nomor 8. Sebuah keputusan logis mengingat Camavinga cukup ampuh untuk memenangi duel dan melakukan ball-carrying. Lagipula, pada musim terakhirnya di Rennes dia juga sudah mengemban peran sebagai gelandang box-to-box.

Sampelnya ketika Madrid menjamu Real Sociedad awal Maret lalu. Ancelotti menurunkan Camavinga sebagai starter, mengisi pos yang rutin dihuni Kroos. Hasilnya tokcer. Dia membantu Madrid untuk menekan Sociedad dengan garis pertahanan tinggi. Tercatat 3 tekel yang dibuatnya dan 2 di antaranya tercipta di sepertiga pertahanan lawan. Makin spesial karena Camavinga sukses menyumbang satu gol di laga itu.

Foto: @Odriozolite

Tak sulit untuk memuji kontribusi Kroos di Madrid. Dia memiliki fungsi penting dalam proses bangun serang Madrid. Eks Bayern Muenchen itu rata-rata melepaskan 80 umpan per laga, sebagaimana dicatat WhoScored. Torehan umpan kuncinya ada di angka 1,9 (terbanyak ketiga).

Di lain sisi, Camavinga menawarkan sesuatu yang tak dimiliki Kroos: Kecenderungan untuk menekan lawan. Dibanding Kroos, Camavinga masih lebih bugar untuk melakukan aksi yang menuntut kemampuan fisik.

Mengacu Fbref, Camavinga mencatatkan 27,09 pressures per 90 menit. Angka itu jauh meninggalkan Kroos yang hanya mengemas 18,98. Pemain berdarah Kongo itu juga unggul soal aksi tekel, intersep, blok, dan sapuan. Apa yang dimiliki Camavinga fit dengan permainan intensif yang diterapkan Ancelotti belakangan ini. Bagaimana dia menginstruksikan para pemainnya untuk intens menekan lawan dan memenangi duel demi mendapatkan bola.

Contoh lain kontribusi Camavinga adalah ketika Madrid menyingkrikan Paris Saint-Germain di leg kedua Liga Champions. Dalam keadaan tertinggal, Ancelotti menukarnya dengan Kroos di menit 57. Keduanya memiliki kesamaan peran sebagai gelandan tengah, akan tetapi Camavinga memiliki mobilitas lebih tinggi untuk menakan serangan balik PSG. Kita kemudian melihat bagaimana Madrid berhasil menekan Les Parisiens dan mencetak 3 gol balasan.

***

Apa yang ditunjukkan Camavinga sejauh ini membuatnya layak untuk mendapat apresiasi. Di usia yang masih sangat muda, 19 tahun, dia sudah memperlihatkan kekuatan mental dan kemampuan untuk memenuhi ekspektasi klub sekelas Madrid.

Maka, sudah semestinya Madrid menghapus kekhawatiran ketika suatu saat nanti harus kehilangan Modric, Kroos, atau Casemiro. Ada Camavinga yang bakal mengisi satu slot di antaranya. Sebagaimana Ancelotti pernah berkata, “Camavinga adalah pemain masa kini dan juga masa depan klub ini. Ini cukup jelas baginya dan bagi kami.”