Ode untuk Benzema

Foto: Twitter @Benzema.

Karim Benzema terlibat pada lebih dari setengah total gol yang Real Madrid cetak di La Liga musim ini. Ia tak ubahnya api unggun untuk Madrid di tengah cuaca yang makin dingin.

Lewat ‘Landscape with Flatiron’, Haruki Murakami memberi kita pertanyaan yang sebetulnya tak penting-penting amat, tetapi cukup menggelitik: Mana yang lebih terkenal, api unggun atau Pearl Jam?

‘Landscape with Flatiron’ bercerita soal tiga orang. Mereka adalah Junko, gadis putus sekolah yang bekerja sebagai kasir di supermarket, Keisuke, pacar Junko, dan Miyake, pria setengah baya berjanggut penggemar api unggun.

Pada sebuah Februari yang dingin, tepat pukul 12 malam, Miyake menelepon Junko. Dengan aksen Osaka yang kental, pria itu meminta Junko bergegas ke pantai; ia baru saja menemukan beberapa potong kayu yang terseret ke pinggiran.

“Kita bisa bikin api unggun yang besar kali ini,” kata Miyake.

Keisuke, sementara itu, masih asyik mendengarkan musik dengan headphone-nya di sudut kamar. Ia memainkan gitar di tangannya sembari mempelajari pasase dan chord dari lagu yang ia dengarkan; matanya terpejam.

Ketika Junko menarik headphone-nya, Keisuke terhenyak. Dia mengajak Keisuke pergi. Begitu tahu sang pacar ingin membuat api unggun di tengah Februari yang dingin —pada tengah malam pula—, Keisuke cuma bisa geleng-geleng kepala.

Oleh karena itu, ketika bertemu dengan Miyake, yang keluar dari mulut Keisuke adalah setengah umpatan. “Sudah gila, ya, kalian? Apa hebatnya api unggun, sih?”

Junko kemudian membalas, ”Apa hebatnya Pearl Jam, sih? Cuma menang berisik.”

Kata-kata yang keluar dari mulut mereka pada malam itu, kata Murakami, kemudian membeku di tengah udara dingin.

***

‘Landscape with Flatiron’ sebetulnya berbicara soal banyak hal, mulai dari masa lalu yang teramat personal hingga bagaimana masing-masing tokoh menghadapi trauma. Namun, Murakami menyampaikannya dengan cara yang ia kenal dengan baik: Lewat situasi yang tak biasa dan obrolan-obrolan usil.

Api unggun hadir bukan hanya sebagai pokok percakapan, tetapi juga menyediakan kontras; ia hadir di tengah malam yang bikin menggigil dan menjadi semacam penghangat dari problem personal masing-masing tokoh.

Lantas, Junko dan Miyake berperan seperti orang Majusi. Bagi mereka, tidak ada yang lebih penting daripada api unggun. Maka, ketika Keisuke menyembur soal seberapa penting api unggun, Junko membalasnya dengan tidak kalah sengit.

Bagi Keisuke, Pearl Jam tetap lebih terkenal karena punya selegiun lebih penggemar di seluruh dunia. Pendapat itu kemudian mendapatkan bantahan: Api unggun sudah ada lebih dari ribuan tahun, entah sudah berapa banyak penggemarnya selama itu.

Perdebatan ini mau tidak mau mengingatkan obrolan-obrolan penting yang biasa kamu jumpai manakala berkumpul dengan teman-temanmu. Kalau ada yang bilang bahwa Batman v Superman adalah salah satu film terbaik yang pernah ada, kamu bisa menertawainya sampai terjungkal-jungkal. Sebaliknya, mungkin dia akan menganggapmu aneh karena bisa-bisanya mengurung diri di kamar sambil mendengarkan Radiohead.

Pada lain kesempatan, mungkin kamu akan berdebat soal hal yang lebih remeh daripada api unggun vs Pearl Jam: Lionel Messi atau Cristiano Ronaldo? Dan mungkin, di tengah perdebatan-perdebatan itu kamu sampai ke topik ngalor-ngidul lainnya tanpa pernah mencapai kesimpulan.

Lalu, mungkin saja kamu dan dia sama-sama bersepakat bahwa tidak selamanya mengapresiasi sesuatu yang bagus harus berdasarkan pada apa-apa yang tampak di depan mata. Messi dan Ronaldo memang pemangsa di depan gawang lawan, tetapi ada juga orang-orang macam Karim Benzema yang kehadirannya tidak kalah penting —seperti halnya api unggun kepada Junko dan Miyake.

Foto: Chuttersnap/Unsplash

***

Ketika Eric Cantona pensiun setelah musim 1996/97 usai, Alex Ferguson mendatangkan Teddy Sheringham sebagai penggantinya. Tidak ada yang tahu pasti mengapa Ferguson memilih Sheringham, sampai kita melihat dia bermain di lapangan.

Cantona adalah pria beringas. Namun, ia juga berkelas. Di balik tingkahnya yang lebih mirip berandalan, ia paham bagaimana memperlakukan bola dengan halus. First touch-nya lembut sehingga ketika bola sampai di kakinya, seolah-olah ia jatuh dalam pelukan sutra.

Sheringham nyatanya tak jauh berbeda. Ia memang tidak seflamboyan Cantona. Ia juga tidak menyenangi puisi-puisi Rembrandt atau gemar memandangi lukisan-lukisan Nicholas de Stael. Namun, Sheringham memiliki cara bermain yang mirip dengan Cantona.

Manakala Andy Cole kerap berperan sebagai penyelesai peluang, biasanya Sheringham yang turun ke lini kedua untuk menjadi penyambung antara lini tengah dan lini depan. Tak jarang pula, Sheringham menjadi pemantul. Biasanya, ia akan menarik satu orang pemain bertahan keluar dari posisinya, lalu melakukan operan satu-dua dengan gelandang yang naik untuk mengeksploitasi ruang yang ditinggalkan si pemain bertahan tadi.

Seperti halnya Cantona, Sheringham gemar memperlakukan bola dengan halus. Operan-operan yang ia lakukan terlihat sederhana, tapi justru di balik kesederhanaan tersebut ada sesuatu yang menikam diam-diam.

Saya bisa memberi beberapa contoh soal bagaimana Sheringham menjadi pemantul ulung. Dua di antaranya yang bisa kita simak adalah assist-nya untuk gol David Beckham pada semifinal Piala FA 1999 dan assist-nya kepada Paul Scholes pada final turnamen yang sama. Lihat bagaimana dia memberikan pantulan pelan (sembari membelakangi gawang) kepada Scholes sebelum si Ginger Prince menyepak bola kencang-kencang ke gawang lawan.

Kelak, di kemudian hari kita akan melihat pemain-pemain depan dengan atribut serupa; mereka-mereka yang tidak hanya ulung dalam mencetak gol, tetapi juga piawai menjadi pelayan karena memiliki berkah berupa kaki-kaki ringan nan lentur. Seolah-olah, kaki-kaki mereka punya magi yang bisa membelokkan dan mengarahkan bola ke mana pun mereka mau.

Di United, ada Dimitar Berbatov yang first touch-nya kerap mengundang decak kagum. Di Real Madrid, ada Benzema.

Kita pernah mengenal Benzema sebagai pemuda berdarah Aljazair yang getol betul membobol gawang lawan untuk Olympique Lyon. Dengan kemampuannya sebagai penyelesai akhir jempolan, wajar kalau Madrid sampai rela membayar hingga 41 juta euro untuk membelinya pada 2009.

Namun, kita tahu bahwa pada akhirnya, Benzema bukanlah goal getter utama Los Blancos. Tugas tersebut, selama bertahun-tahun, menjadi milik Cristiano Ronaldo. Benzema adalah komplemen untuk Ronaldo. Ketika si bintang dari Portugal bertransformasi dari winger lincah menjadi mesin gol, Benzema berubah dari seorang penyerang tengah menjadi pemain depan dengan kemampuan playmaking mumpuni.

Tidak jarang kita melihat Benzema bergerak dinamis untuk kemudian memberikan assist. Sampai 2019, Benzema rata-rata menyumbang 21 gol dan 8 assist per musim. Sebuah catatan yang cukup apik dan menunjukkan bahwa ia pemain depan yang komplet.

Ketika Ronaldo sedang rajin-rajinnya membombardir gawang lawan, Benzema sibuk bermain sebagai penghubung antara lini tengah dan depan. Heatmap Benzema sering memperlihatkan dirinya cukup sering turun ke lini kedua, bergerak ke sayap kiri, atau mengokupasi half-space. Tujuannya jelas: Benzema tidak hanya menjadi salah satu senjata untuk membobol gawang lawan, tetapi juga berguna untuk melakukan build-up serangan di sepertiga akhir lapangan.

Oleh Zinedine Zidane, Benzema memang diberikan kebebasan untuk bergerak. Persis seperti Sheringham, ia sering turun ke lini kedua untuk menjadi pembuka ruang bagi rekan-rekannya. Kebetulan, Benzema juga memiliki berkah berupa kemampuan dribel yang mumpuni.

Per catatan WhoScored, Benzema rata-rata melakukan 1 dribel sukses per pertandingan di La Liga musim ini. Itu sudah cukup untuk menggambarkan bahwa ia bisa menjadi pembangun serangan dan piawai dalam melindungi bola.

Itu belum termasuk aspek defensifnya. Mengingat Madrid juga cukup rutin melakukan counterpress, Benzema dan pemain-pemain depan lainnya kudu rajin melakukan pressing kepada pemain-pemain bertahan lawan. Hasilnya pun tidak buruk, musim ini rata-rata ia melakukan 0,2 tekel dan intersep sukses di liga.

Ketika timnya sedang tidak menguasai bola, Benzema juga mendapatkan tugas yang sebetulnya tidak mudah, yakni mengawasi jalur-jalur operan lawan. Tujuannya adalah untuk melakukan intersep dan menciptakan turnover. Tanpa spatial awareness (kesadaran akan ruang) dan penempatan posisi yang jeli, ia bakal sulit mengemban tugas tersebut.

Jadi, dengan kerja-kerja yang sudah ia lakukan, sudah semestinyakah kita memberikan aplaus yang patut untuk Benzema? Semestinya, iya. Pasca-kepergian Ronaldo, tugas Benzema makin berat. Ia tidak hanya mengampu lini depan, tetapi juga punya tanggung jawab untuk menjadi pencetak gol utama.

Musim ini, Benzema sudah mencetak 8 gol dan 5 assist. Artinya, ia terlibat dalam 13 dari 27 gol yang Los Merengues cetak di La Liga. xG dan xA Benzema di La Liga juga impresif: Masing-masing mencapai angka 7,91 dan 2,71; tugas sebagai pendulang gol dan pelayan untuk rekan-rekannya di lini depan masih ia jalankan dengan sama baiknya.

Yang menarik, Benzema juga rata-rata melepaskan 1,09 key passes (umpan yang jadi peluang) per 90 menit. Angka yang cukup lumayan untuk ukuran seorang penyerang.

***

Ada sejumlah fragmen pada 'Landscape with Flatiron' yang menunjukkan bahwa masing-masing karakter di dalamnya membutuhkan pelarian dari masa lalu masing-masing. Junko, misalnya, memilih meninggalkan rumah pada tahun ketiganya di SMU. Lewat sepucuk surat yang ia tinggalkan untuk ibunya, Junko meminta untuk tidak dicari dan memastikan bahwa dia bakal baik-baik saja.

Keisuke tidak jauh berbeda. Ia memilih meninggalkan bisnis keluarga dan bertumpu pada kehidupan yang lebih bebas. Keduanya terdampar pada sebuah kota di pinggir laut prefektur Ibaraki, tempat mereka kemudian berjumpa dengan Miyake, seorang pria 40-an yang sedang menyelesaikan sebuah lukisan.

Madrid tidak jauh berbeda. Setelah meninggalkan hidup mereka yang lama, mereka butuh pelarian atau tumpuan baru. Boleh jadi Benzema-lah tumpuan itu. 

Selayaknya Junko dan Miyake pada api unggun, Madrid juga berpusat pada dirinya.