Ole Gunnar Solskjaer: Taktik Oke, Manajerial Memble

Twitter: @ManUtd

Kalau bicara soal taktik, Ole Gunnar Solskjaer tidak kekurangan (baca: Dia tidak miskin taktik). Namun, bicara manajerial lain soal.

Roy Keane marah-marah begitu Manchester United tumbang di tangan Arsenal dalam laga pekan 7 Premier League 2020/21.

Dari kacamata Keane, pemain adalah elemen yang patut disalahkan performa buruk tersebut. Kualitas dan kepemimpinan, ia tidak menemukan kedua aspek itu dalam United yang sekarang.

“Tidak ada energi, antusiasme, dan kualitas di United. Saya juga tidak melihat adanya sosok pemimpin di tim. Jalan panjang masih harus ditempuh tim ini [untuk mengembalikan kualitas],” ujar Keane.

“Saya coba melihat sosok Rashford di laga itu. Bahasa tubuhnya benar-benar mengejutkan. Cuma mengangkat bahu saat sesuatu di lapangan tidak berjalan sesuai harapan? Kamu mestinya mau bekerja lebih keras saat bermain untuk United,” tambahnya.

Keane tidak melihat karisma United. Lawan tak lagi takut saat harus berhadapan dengan 'Iblis Merah'. Celakanya, Old Trafford tak lagi menjadi neraka bagi lawan.

Namun, menyalahkan pemain saja juga tidak masuk akal. Dalam kasus United, telunjuk juga perlu diarahkan kepada Ole Gunnar Solskjaer.

Apakah sosok asal Norwegia itu sudah menjalankan perannya dengan baik sebagai manajer United? Apakah ia sudah mampu memaksimalkan potensi para pemainnya?

***

Manajer merupakan kata serapan dari bahasa Inggris, manager. Secara linguistik, manager memiliki kata dasar manage, yang berarti: 1) To handle or direct with a degree of skill, 2) to direct the professional career of, 3) to succeed in accomplishing, or 4) to work upon or try to alter for a purpose (per Merriam-Webster dictionary).

Merujuk arti kata di atas, manajer bisa diartikan sebagai orang yang pandai mengatur sesuatu berdasarkan keilmuan yang dimiliki. Jika bicara dalam konteks sepak bola, manajer seharusnya lihai menyusun dan mengejawantahkan strategi dan taktik yang akan diterapkan tim.

Namun, yang diatur manajer bukan cuma taktik. Secanggih apa pun taktik, akan menjadi cupu jika tidak dapat diimplementasikan oleh para pemain. Oleh karena itu, manajer juga mesti memastikan strategi dan taktik tersebut dapat dimainkan oleh anak-anak didiknya.

Kemampuan membuang apa yang tak perlu dan membentuk para pemain merupakan skill yang harus dimiliki oleh para manajer. Jika tugas-tugas tersebut dapat diterapkan, harmonisasi tim akan terbangun.

Saat masih menjabat sebagai caretaker  United, buku catatan Solskjaer sudah penuh. Halaman demi halaman dipenuhinya dengan rencana, mulai dari strategi transfer hingga penggunaan pemain akademi seperti Angel Gomes dan Mason Greenwood. Itu belum ditambah dengan ambisi mengembalikan nilai, kultur, identitas United yang mulai samar. Radikal, bukan?

Menurut Oliver Kay dalam tulisannya untuk The Athletic, daftar tersebut tidak hanya membuat Ed Woodward terkagum. Rencana-rencana tadi pada akhirnya menjadi tiket yang menerbangkan Solskjaer dari jabatan caretaker ke manajer tetap United.

Solskjaer bukan manajer miskin taktik. Toh, ia rutin merombak formasi dan taktik. Solskjaer menyiasati kehilangan Paul Pogba dan Marcus Rashford musim lalu akibat cedera dengan skema 3-4-3.

Perhitungan Solskjaer tak buntung. Formasi tersebut memampukan United menekan pertahanan lawan lebih dalam. Iblis Merah beringas lagi. Mereka tidak terkalahkan dalam 14 laga Premier League 2019/20.

Setelah menggunakan 4-2-3-1, Solskjaer menerapkan skema berlian dalam formasi dasar 4-4-2 (termasuk variannya, 4-4-2 berlian). Kedua skema itu menjadi jalan bagi Solskjaer untuk memaksimalkan potensi para pemainnya, termasuk Paul Pogba dan Bruno Fernandes. Lewat formasi ini pula, Solskjaer menaruh harapan pada para full-back-nya, terutama Aaron Wan-Bissaka dan Luke Shaw. Toh, Wan-Bissaka tampil ciamik sebagai wing-back dalam skema tiga bek. Selain andal dalam bertahan lewat tekel dan intersepnya, ia oke saat menyerang.

Orang-orang tidak perlu bermimpi jika merealisasikan omongan semudah membalikkan telapak tangan. Apes, skema demi skema tersebut tak mampu membuat United stabil. Kadang United bermain dengan sangat baik, kadang skema yang diusung malah jadi bencana.

Ambil contoh skema gelandang berlian. United berhasil membangun serangan-serangan cepat yang membuat RB Leipzig mati kutu dengan skema tersebut. Selain itu, pasukan Solskjaer lihai melepas serangan balik yang menyerang ruang-ruang kosong lawan.

Apa lacur, alur yang sama tidak terjadi di laga melawan Arsenal. Fernandes seperti anak bau kencur yang terlalu kagok untuk terlibat dalam permainan. Pogba malah membuat pelanggaran yang berujung penalti. 

Fred dan Scott McTominay jangan ditanya. Mereka gagal menggalang lini pertahanan dan membantu menciptakan ruang bagi Fernandes untuk mengkreasikan serangan.

Tim Cahill pun angkat bicara. Mantan pemain Everton ini menyanggah pendapat Keane. Menurutnya, performa United yang angot-angotan ini bukan karena para pemain kehilangan karakter semata. Manajer juga punya andil dalam kejatuhan tersebut.

Seharusnya manajer seperti Solskjaer punya jiwa kepemimpinan yang kuat. Manajer juga mesti bisa mendorong perkembangan tim. Dua aspek ini tidak ada dalam diri Solskjaer. Ironis juga karena pada dasarnya Solskjaer datang sambil menenteng status sebagai legenda United.

“Arsenal memang kalah di beberapa laga. Namun, mereka mengerti kenapa mereka kalah. Mereka belajar dari kekalahan, lalu berkembang dan tampil lebih baik,” papar Cahill.

Masalah United di sini bukan kaya atau miskin taktik, tetapi Solskjaer tidak mampu membawa timnya bermain sesuai dengan yang ia inginkan. Tak ada players management dalam kepemimpinan Solskjaer.

Ketimpangan itu membuat Michael Cox mempertanyakan pemahaman Solskjaer akan kultur United. Dalam tulisannya di The Athletic, Cox menyebut bahwa Brighton and Hove Albion dan Crystal Palace saja bermain lebih baik daripada United.

Cox menggambarkan United seolah-olah seperti tim yang memang jelek dari sononya. Semuanya serba-buruk. United menguasai bola dengan gegabah, panik saat kehilangan bola, dan tidak bertanding dengan mental tim Premier League. Ini semua membuat kamu bertanya, mereka ngapain saja pada saat latihan?

“Semua catatan buruk itu jadi tanggung jawab manajer. Ini bukan soal ada atau tidak adanya rekrutan bagus;” tulis Cox.

Wan-Bissaka, Harry Maguire, Daniel James, dan Fernandes jelas bukan pemain buruk. Namun, kini mereka terbentur stagnasi. 

Maguire jadi pesakitan karena kerap melakukan blunder. Wan-Bissaka tidak stabil, sedangkan James tidak mampu bersaing dengan pemain lain. Fernandes juga tidak bisa berbuat banyak--meski sempat tampil menggebrak--karena tidak menerima sokongan dari kawan-kawannya.

“Membeli beberapa pemain bagus memang membantu. Masalahnya, jika tidak bermain di bawah asuhan manajer yang bagus, mereka tidak akan mampu mempertahankan performa bagus tersebut.”

***

Mauricio Pochettino pernah menjalani masa sulit di awal-awal karier manajerialnya bersama Tottenham Hotspur. Datang menggantikan Tim Sherwood, ia tidak mampu mengangkat performa tim. The Lilywhites bahkan sempat kalah empat kali di enam laga awal Premier League.

Alih-alih ngeles, Pochettino mengambil tanggung jawab tersebut. Ia berujar bahwa kesulitan Tottenham di awal musim 2014/15 murni merupakan tanggung jawabnya. Ia pun siap untuk mengubah Tottenham jadi lebih baik.

“Kamu tidak bisa merutuki apa yang terjadi di masa lalu. Ketika kamu memutuskan untuk menerima tantangan (jadi manajer), itu menjadi tanggung jawabmu dan apa pun yang terjadi di dalam tim, itu juga merupakan tanggung jawabmu. Jika ingin mengubah sesuatu, kamu harus mengubahnya,” ujar Pochettino kepada Sky Sports.


Apa yang terjadi di akhir musim 2014/15? Tottenham finis di posisi lima Premier League. Mereka juga menembus final Piala Liga dan babak 32 besar Liga Europa. Pochettino malah sanggup membawa Tottenham konsisten bersaing di papan atas Premier League.

Itu baru kisah Pochettino. Ada lagi Pep Guardiola yang mengubah bek kanan seperti Philipp Lahm menjadi gelandang bertahan mumpuni. Guardiola pun mampu merombak Raheem Sterling, dari tukang lari menjadi pencetak gol andal.

Kisah Guardiola dan Pochettino menggambarkan bahwa kemampuan manajerial adalah harga mati untuk mengangkat performa tim.Tidak adil menunjuk pemain sebagai biang kerok tunggal kegagalan tim apik berpadu jadi unit yang mematikan lawan. Mau tidak mau, kita harus menuding si manajer juga.

Bisa jadi inkonsistensi United saat ini adalah buah dari buruknya kemampuan manajerial Solskjaer. Mungkin ia punya konsep yang bagus. Akan tetapi, apalah artinya konsep bagus, tetapi tak tersampaikan? Paling-paling tidak akan jauh dari disharmoni.