Panduan Grup C dan D Piala Dunia 2022: Bukan Cuma Argentina dan Prancis

Foto: Twitter @FrenchTeam.

Kedua grup ini lebih dari sekadar keperkasaan Argentina dan gelar juara bertahan Prancis. Grup C dan D juga berbicara tentang ledakan Denmark, pertahanan tangguh Tunisia, dan peluang Meksiko.

Pesta sepak bola sejagat di depan mata. Ke-32 peserta bersiap mengerahkan segenap kekuatan untuk melangkah ke fase gugur. Begitu pula dengan mereka yang tergabung di Grup C dan D. 

Kedua grup ini lebih dari sekadar keperkasaan Argentina dan gelar juara bertahan Prancis. Grup C dan D juga berbicara tentang ledakan Denmark, pertahanan tangguh Tunisia, dan peluang Meksiko. 

Grup C

Argentina

Benar bahwa Lionel Messi bersama Argentina di Piala Dunia 2022. Namun, mereka lebih sekadar Messi, mereka adalah keseimbangan dan fleksibilitas. Setidaknya, kedua hal tersebut digambarkan lewat penggunaan formasi 4-2-3-1, 4-4-2, dan 4-3-3.

Lionel Scaloni mencatatkan sejarah manis bersama Argentina pada Copa America 2021. Dengan fleksibilitas dan keseimbangan taktiknya ia mengantar Argentina jadi juara untuk pertama kalinya setelah 28 tahun. Tentu saja perjalanannya bersama Argentina juga diwarnai oleh kisah 35 laga tak terkalahkan dengan rincian 24 kemenangan dan 11 hasil imbang. Bersama Scaloni, Argentina menggenggam asa menjadi juara dunia.

Keterlibatan seluruh pemain dalam build-up serangan merupakan salah satu kekuatan yang menakutkan lawan. Bahkan sang penjaga gawang, Emiliano Martinez, berperan penting sebagai distributor bola dari area paling belakang. 

Argentina mungkin tidak akan menciptakan umpan-umpan pendek sebanyak Brasil. Namun, pergerakan mereka yang acap merumitkan permainan lawan menjadi senjata yang seharusnya diwaspadai oleh siapa pun yang tergabung dalam Grup C.

Mereka memang tidak menekan lawan terus-menerus, tetapi memperjuangkan sepertiga lapangan tengah dengan baik dan memilih momen untuk memancing lawan dari sana. Permainan macam ini biasanya digunakan dalam formasi 4-4-2, dengan Messi ditempatkan bersama Lautaro Martinez di garda terdepan, tentu tanpa tanggung jawab bertahan yang besar.

Meski demikian, bukan berarti Argentina tanpa kelemahan. Melihat perjalanan di Copa America, serangan balik masih menjadi ancaman. Garis pertahanan tinggi yang digunakan Argentina nyatanya kurang pas digunakan ketika berhadapan dengan para pelari cepat dan umpan-umpan terobosan yang tricky.

Meksiko

Argentina tidak menjadi satu-satunya tim yang dinanti di Grup C, masih ada Meksiko yang siap menjadi lawan tangguh bagi setiap kontestan. Gerardo Martino membangun Meksiko sebagai tim yang andal membangun serangan-serangan ‘licik’ melalui sepertiga akhir dalam formasi 4-3-3.

Serangan-serangan berbahaya itu pada umumnya ditopang oleh inverted winger dan bek sayap yang bergerak sampai ke area flank. Itu berarti Meksiko adalah tim yang begitu bertumpu pada permainan sayap. Biasanya, pemain-pemain di sayap kanan akan diserahi tanggung jawab untuk merusak pertahanan lawan. Dari situ, mereka bakal mengalirkan bola entah dengan melepas tusukan ke kotak penalti atau dengan mencari striker.

Selain itu, seorang gelandang penghubung bertugas membangun serangan dari area yang sangat dalam, bahkan sampai di dekat para bek tengah. Permainan demikian membuat anak-anak asuh Martino mampu menguasai seluruh ruang yang ada. Dengan begitu, progresi serangan menjadi lebih cepat dan pertahanan lawan gampang dipecah.

Meski demikian, Meksiko punya persoalan krusial yang seharusnya diselesaikan sebelum turun arena dalam laga pertama Piala Dunia: Mencetak gol.

Fluiditas serangan yang tinggi tetapi tidak dibarengi dengan produktivitas mencetak gol adalah ironi. Pada babak kualifikasi ketiga, mereka cuma mampu mencetak 17 gol. Jumlah itu bahkan lebih rendah daripada Kanada (23 gol) dan Amerika Serikat (21 gol). Bahkan, ketiga gol yang dicetak oleh top scorer mereka, Raul Jimenez, berasal dari titik putih.

Arab Saudi

Tentu saja sulit untuk menjagokan Arab Saudi di Grup C. Tim asuhan Herve Renard ini seperti berada di negeri antah-berantah penuh perompak yang siap merampas apa pun yang ada di kantong-kantong persediaan mereka.

Namun, “segala sesuatu bisa terjadi di lapangan hijau” adalah adagium yang selalu dibawa oleh para pelakon sepak bola dalam setiap pertandingan. Siapa tahu, Arab Saudi bisa melahirkan keajaiban-keajaiban yang membuat para penonton melongo dan bertepuk tangan. Lagi pula, Renard bukan pelatih kacangan. Sejak memimpin Arab Saudi ia membawa tim ini naik peringkat FIFA, dari 70 menjadi 51.

Biasanya, Arab Saudi memainkan 4-2-3-1 yang mengandalkan kombinasi permainan sayap sempit dan bek sayap lebar. Dalam performa terbaiknya, tim besutan Renard menciptakan peluang melalui rangkaian umpan segitiga yang rumit di area luas.

Meski demikian, Arab Saudi akan bertumpu pada permainan bola-bola panjang dan direct ketika melawan tim-tim dengan kualitas lebih tinggi. Keputusan ini diambil demi meminimalkan kesempatan lawan untuk merebut bola dan menguasai permainan. Dengan bermain direct, Renard berharap kendali laga tetap ada pada timnya.

Polandia

Menyaksikan Polandia berlaga sama dengan menanti serangan-serangan direct yang digagas oleh para gelandang atau via umpan silang. Polandia datang ke Piala Dunia dengan lini serang yang mematikan: Robert Lewandowski, Piotr Zieliński, Arkadiusz Milik, dan Krzysztof Piatek. Keempat pemain itu tidak hanya memiliki nama yang sulit dilafalkan, tetapi juga ketajaman yang sukar diantisipasi.

Akan tetapi, sulit untuk tidak menempatkan Lewandowski sebagai tokoh utama dalam sepak bola ala Polandia. Apa boleh buat, Lewandowski memang bukan cerita isapan jempol belaka. Sepak terjangnya kerap menimbulkan kengerian di kubu lawan.

Penggawa Barcelona ini akan membuat serangan Polandia jadi bervariasi karena ia juga andal dalam duel udara. Walau tak lagi muda, Lewandowski bukan penyerang yang hanya mau dimanja. Ia juga bersedia turun ke area para gelandang untuk memperbanyak opsi umpan. Dan kalau masalah penyelesaian akhir, tidak ada yang perlu diragukan karena ia adalah jagonya.

Tenang saja, tetap ada kabar baik bagi lawan karena Polandia juga punya kelemahan. Meski dianugerahi penyerang-penyerang berkelas, Polandia masih kepayahan saat mempertahankan penguasaan bola. Salah satu faktor yang membuat pressing mereka tidak kuat-kuat amat adalah kecenderungan bek tengah untuk mempertahankan bola di dalam kotak, bukannya maju menghadapi lawan yang hendak merebut bola.

Grup D

Prancis

Datang sambil menggenggam status sebagai juara bertahan tidak mempermudah langkah Prancis di Piala Dunia 2022. Terlebih, sepak bola itu juga karib dengan cerita-cerita tak masuk akal yang entah bagaimana caranya kerap mengakar, seperti kutukan juara Piala Dunia.

Prancis memang tidak melakukan perombakan besar-besaran dalam skuadnya. Masalahnya, tidak ada N’Golo Kante dan Paul Pogba dalam tim, padahal peran keduanya begitu vital dalam cerita kampiun Prancis di Piala Dunia 2018. Apa boleh, mereka cedera sehingga Didier Deschamps harus mencari cara untuk mengisi kekosongan.

Dari situ, Deschamps memberi tempat kepada Eduardo Camavinga atau Yoossou Fofana dan Aurelien Tchouameni. Perubahan formasi dari 4-2-3-1 menjadi 3-4-1-2 juga layak dinanti. Dengan skema baru, Prancis terlihat lebih aktif membangun serangan dari belakang hingga kedua sisi lapangan. Sementara, formasi 4-2-3-1 membuat Prancis sebagai tampil yang acap menggalang dominasi lini tengah di wilayah lawan. Pemilihan taktik tersebut wajar karena saat itu mereka diperkuat oleh Kante dan Pogba yang begitu tangguh di lini tengah.

Ketika berhadapan dengan Denmark, kelemahan di lini belakang Prancis saat menggunakan formasi dan sistem permainan anyar terbuka. Lini bertahan mereka kewalahan ketika berhadapan dengan Denmark yang memiliki transisi rapi dan permainan zonal marking yang alot. Kecenderungan ini tentu bisa dimanfaatkan lawan dalam laga babak grup. Apalagi, Denmark juga merupakan salah satu lawan yang mesti mereka hadapi di Grup D.

Denmark

Denmark layak untuk menghapus seluruh ingatan suram akan kolapsnya Christian Eriksen di Piala Eropa 2020. Mereka bahkan memanggil kembali Eriksen dan bersiap untuk memercayakan kreativitas membangun serangan padanya. 

Di skuad Denmark, Eriksen akan bertanggung jawab untuk mengalirkan bola kepada para penyerang. Ialah yang menjadi penyambung agar progresi bola dari lini belakang ke depan bergerak lancar dalam skema 4-1-4-1.

Denmark adalah sebenar-benarnya ancaman bagi kontestan Grup D. Mereka kerap tampil agresif dan memiliki kecerdikan untuk membangun serangan balik mematikan. 

Belum lagi pertahanan kokoh yang dipimpin oleh Simon Kjaer. Ia piawai memblok bola, melakukan duel satu lawan satu dengan lawan, dan membaca permainan untuk mengintersep perainan lawan. Selain itu, kini ia bagus dalam soal mengalirkan bola ke depan dan menjadi awal serangan timnya.

Cepat, direct, dan efektif dalam menyerang yang dipadukan dengan efektivitas pressing dalam bertahan, akan membuat Denmark sulit ditaklukkan. Itu membuktikan bahwa mereka adalah tim yang berkualitas, tak cuma modal semangat. Permainan demikian juga membukakan mata publik tentang rencana matang sang pelatih dalam permainan timnya.

Tunisia

Bagi Tunisia, bertahan lebih dari sekadar strategi. Bertahan adalah cara yang mereka tempuh untuk hidup, tak lekas tersingkir, bahkan mencuri peluang untuk bergerak maju. Tampaknya, warna ini pula yang akan terlihat secara dominan dalam perjalanan mereka di pesta sepak bola sejagat di Qatar.

Dalam tujuh laga awalnya bersama Tunisia, Jalel Kadri, memastikan timnya melewati laga demi laga tanpa kebobolan satu gol pun. Dengan pertahanan kokoh itu pula pada akhirnya mereka mampu menjejak ke Piala Dunia 2022.

Ketika tidak menguasai bola, mereka akan mempertahankan penguasaan ruang di area tengah dalam formasi 4-1-4-1, 4-5-1, atau 4-4-2. Sayangnya, ketangguhan dalam bertahan itu dibarengi dengan kesulitan untuk mencetak gol. 

Dalam babak kualifikasi, mereka bahkan hanya sanggup mengukir 12 gol. Dari sini pula, harapan besar diletakkan ke pundak penggawa Southampton, Yan Valery, yang baru bergabung dengan Tunisia pasca-kekalahan 1-5 dari Brasil.

Australia

Kualifikasi Piala Dunia 2022 adalah perjalanan mengerikan bagi Australia. Mereka tumbang dua kali dari Jepang, gagal mencetak dua gol melawan Arab Saudi, dan bermain imbang di China dan Oman.

Rangkaian hasil buruk itu memaksa sang pelatih, Graham Arnold, memutar otak demi mendapatkan tempat di Qatar. Salah satu perubahan yang dilakukan adalah memodifikasi permainan bek sayap yang melebar menjadi lebih sempit. 

Selain itu, Arnold beralih menggunakan satu playmaker. Penggunaan dua playmaker ternyata membuat permainan mereka berantakan. Alih-alih menambah opsi umpan, progresi bola justru pampat karena peran yang tumpang-tindih.

Perubahan ini mengantar Australia pada hasil yang menggembirakan: Kemenangan 2-1 atas Uni Emirat Arab dan adu penalti 5-4 atas Peru.