Paradoks dalam Adaptasi Panjang RB Leipzig dan Jesse Marsch

Foto: Twitter @RBLeipzig

Belum optimalnya performa RB Leipzig terjadi karena mereka masih beradaptasi dengan taktik Jesse Marsch. Kondisi ini tak ubahnya sebuah paradoks. Mengapa demikian?

Ibarat cuma pindah ke divisi berbeda dalam perusahaan yang sama. Seperti itu cara terbaik untuk menggambarkan bergabungnya pelatih Jesse Marsch dari RedBull Salzburg menuju RB Leipzig awal musim ini.

Mau bagaimana lagi, Salzburg dan Leipzig sama-sama berada di bawah naungan RedBull. Huruf R dan B pada nama mereka menjelaskan semuanya.

Hal demikian bukan kondisi sepele sebab ada banyak hal positif yang kedua tim tersebut bisa dapatkan. Ambil contoh soal perpindahan pemain. Pada musim 2014–15, misalnya, Leipzig mendatangkan Marcel Sabitzer dari Salzburg.

Karena masih berstatus tim divisi kedua, mereka tak langsung membawa si pemain ke Jerman. Sabitzer dipersilakan untuk tetap di Salzburg terlebih dahulu dengan status pinjaman. Pasalnya, Salzburg sudah jauh lebih mapan kala itu dan termasuk sebagai klub elite di Austria.

Bahwa Sabitzer mampu beradaptasi dengan cepat begitu petualangannya di Leipzig dimulai terjadi karena sistem serupa yang kedua klub itu anut. Singkatnya, Leipzig dan Salzburg — juga tim Red Bull lain yang tersebar di sejumlah negara — punya cetak biru yang sama.

Sepak bola mereka adalah sepak bola yang proaktif, cepat, dan vertikal. Ralf Rangnick yang memulai semuanya dan ini terus bertahan kendati dua klub tersebut berulang kali berganti pelatih. Itulah sebabnya ketika Marsch ditunjuk menggantikan Julian Nagelsmann, Leipzig bakal baik-baik saja.

Terlebih, Marsch jauh lebih RedBull ketimbang Nagelsmann. Beda dengan Marsch, Nagelsmann kerap menambahkan beberapa modifikasi penting sebagai solusi di tengah berjalannya pertandingan — yang jadi alasan mengapa Leipzig di bawah Nagelsmann amat fleksibel.

Namun, yang terjadi tidak sesederhana itu. Hingga Bundesliga berjalan sepuluh pekan, performa Leipzig terhitung mengecewakan. Cuma 15 poin yang mereka raih dari hasil empat kemenangan, tiga hasil imbang, dan tiga kekalahan. Catatan buruk bagi tim yang musim lalu berstatus runner up.


Mengedepankan skema 4–2–3–1 dan 3–4–2–1, Marsch sebetulnya masih membawa pendekatan sepak bola yang sangat RedBull: Sepak bola yang proaktif dan vertikal. Yang berbeda, ia seperti ingin lebih memaksimalkan kemampuan Andre Silva, juru gedor yang baru mereka datangkan musim ini.

Saat masih bersereagam Eintracht Frankfurt musim lalu, penyerang asal Portugal tersebut kerap mencetak gol demi gol dengan memanfaatkan crossing. Itulah kenapa Marsch tampak ingin timnya lebih sering memanfaatkan cara serupa di Leipzig.

Statistik lantas menunjukkan bahwa Leipzig jadi salah satu tim dengan jumlah crossing terbanyak di Bundesliga. Mereka sudah melepaskan 91 crossing. Dari jumlah itu Angelino menjadi pemain dengan jumlah crosing tertinggi, yakni 33 kali, tertinggi keempat musim ini.

Sayangnya, pendekatan tersebut sangat tak optimal, setidaknya sejauh ini. Cuma dua gol yang Silva cetak dan semuanya tak berasal dari crossing. Untuk pemain yang musim lalu sanggup mencetak 28 gol, tentu saja catatan tersebut amat mengecewakan.

Hal demikian bukan karena Silva sepenuhnya. Saat masih di Frankfurt, ia memiliki sokongan para pemain seperti Filip Kostic. Bek sayap asal Serbia tersebut adalah penyuplai assist terbanyak bagi Silva musim lalu dan sebagian di antaranya berupa crossing.


Leipzig sebetulnya memiliki Angelino yang punya posisi dan agresivitas menyerang sama baiknya dengan Kostic. Bahkan musim lalu cukup sering ia mencetak assist lewat crossing. Musim ini, sayangnya, performa Angelino tak terlalu optimal, terutama setelah mengalami cedera.

Kondisi tersebut membuat segalanya jadi serba salah bagi Marsch. Skema crossing yang ia coba belum berjalan sebagaimana mestinya sehingga menghambat laju Silva. Pada akhirnya pelatih asal Amerika Serikat itu sedikit mengurangi intensitas crossing timnya.

Namun, masalah tak lantas selesai. Pasalnya, Silva juga tidak terlalu nyetel dengan cara sepak bola Leipzig. Apalagi Marsch coba sedikit mengurangi penguasaan bola yang sebelumnya jadi salah satu modifikasi penting yang dibawa Nagelsmann ke dalam sepak bola ala RedBull.

Sebagai gantinya, Marsch berusaha mengembalikan pendekatan lama Leipzig seutuhnya, sepak bola yang benar-benar RedBull. Pendekatan tersebut, yang juga Marsch gunakan di Salzburg, adalah intensitas pressing tinggi dan mengandalkan transisi menyerang yang cepat.

Silva tak cocok dengan pendekatan itu. Ia tak punya kecepatan mumpuni sehingga kesulitan mengikuti tempo Leipzig. Silva juga bukan tipikal striker yang biasa bergerak memanfaatkan garis pertahanan lawan. Pada akhirnya bukan hanya gol, jumlah tembakannya pun minim (satu tembakan per laga).

Lini Belakang yang Sama Bermasalahnya

Musim lalu, Leipzig adalah tim dengan pertahanan terbaik di Bundesliga. Musim ini, hal demikian tak berlaku lagi. Leipzig sudah bobol sepuluh kali yang berarti selalu kebobolan per pertandingan. Salah satunya, lagi-lagi, karena pendekatan bermain yang Marsch bawa.

Menurut Jasmine Baba dalam artikelnya di DW, pendekatan agresif ala Marsch berisiko karena Leipzig menjadi tak seimbang saat bertahan. Apalagi, masih menurut Jasmine, ia coba menghilangkan man-to-man oriented ala Nagelsmann dan mengubahnya menjadi lebih zonal.

Situasinya makin tak ideal bagi Leipzig karena mereka ditinggal pergi tiga pemain kunci. Selain Marcel Sabitzer, dua di antaranya adalah pilar penting di jantung pertahanan, yakni Dayot Upamecano yang juga hengkang ke Bayern Muenchen serta Ibrahima Konate yang menuju Liverpool.

Ditambah dengan cederanya Marcel Halstenberg, sosok kunci di lini belakang lainnya, praktis cuma Lukas Klosterman dan Angelino selaku andalan musim lalu yang masih bisa dimainkan.

Segala kondisi itu pada akhirnya membuat Leipzig cukup kesulitan. Namun, pangkalnya satu: Adaptasi. Problem ini seperti paradoks karena Leipzig kesulitan memahami sepak bola mereka sendiri. Makin paradoks lagi sebab yang membawanya kembali ke sana adalah pelatih yang sangat RedBull.