Penutup

Foto: FC St. Pauli

Akhirnya musim selesai. Ini adalah cerita saya selama satu musim terakhir meliput pertandingan St. Pauli.

Semua bermula dari kegagalan saya mendapatkan tiket untuk pertandingan Derbi Hamburg di Millerntor, Oktober tahun lalu. Kegagalan itu mengantarkan saya dan The Flanker untuk diterima sebagai media yang bisa meliput pertandingan St. Pauli. Awalnya hanya untuk satu laga, kemudian dua, dan kemudian kami menjadi salah satu penghuni tetap tribune media St. Pauli.

Kegagalan itu mengantarkan kami menjadi kenal (dan dikenal) oleh orang-orang dalam tubuh klub. Sejak hari itu, saya selalu bersemangat setiap mendapatkan email dari Sven Brux (Kepala Operasional Pertandingan St. Pauli) di hari selasa sebagai bentuk konfirmasi akreditasi kami. Saya terkesan saat Patrick Gensing, Kepala Media St. Pauli, sangat terbuka menyambut kami untuk meliput tiap pertandingan kandang klub—meskipun kami hanyalah media independen kecil dari Indonesia.

Tak pernah ada di kepala saya sebelumnya bahwa saya bisa berbincang dan mewawancarai Jackson Irvine tiap dua pekan sekali. Melihat gaya dan warna rambut Irvine berubah atau melihat kumisnya yang terus on point adalah sebuah privilese atau sekadar mendapatkan tos dari Fabian Hürzeler tiap konferensi pers pasca-laga.

Namun, hidup penuh kejutan dan mereka tak mengenal jam besuk. Dan kejutan itu membuat musim ini terasa sangat spesial bagi saya dan The Flanker.

St. Pauli memang tak berhasil promosi ke Bundesliga. Akan tetapi, kami berhasil jadi saksi bagaimana tim ini mampu mengalahkan rival sekota, HSV, tiga gol tanpa balas di Millerntor. Bagaimana St. Pauli mampu meroket di paruh kedua musim, meraih catatan kemenangan beruntun yang gemilang, menang tanpa henti bahkan ketika menghadapi lawan berat.

Kami menjadi saksi bagaimana transfer-transfer jitu memang bisa memberikan impak besar buat performa tim. Kami melihat datangnya Dapo Afolayan dari Bolton membuat lini serang St. Pauli menjadi lebih menggigit. Kami melihat pemain dari divisi empat, bernama Elias Saad, mampu muncul menjadi pembeda di lini depan. Pemain yang saya percaya punya masa depan di Bundesliga. Kami juga menjadi saksi bagaimana Karol Mets, pemain pinjaman, mampu tampil krusial untuk mengukuhkan lini belakang.

Kami juga menjadi saksi bagaimana pelatih 29 tahun (saat ditunjuk usia Fabian segitu), yang tak punya pengalaman sebagai pelatih kepala, mampu menghasilkan taktik yang membuat St. Pauli naik dari zona degradasi ke posisi lima klasemen 2. Bundesliga. Kami menjadi saksi dari Fabian belum mendapatkan lisensi UEFA pro, sampai menjadi pelatih yang mulai mendapat sorotan media internasional.

Pengalaman bisa bertanya langsung kepada Fabian mengenai keputusannya untuk tak memasukkan striker di babak kedua, keputusannya memilih menerapkan long-ball untuk membongkar low-block, keputusannya berani membuat anak asuhnya berduel di half-space dengan lawan adalah sesuatu yang luar biasa. Saya bisa tahu apa yang ada di benak pelatih sesaat setelah pertandingan usai dan itu membuat saya takjub.

Kami juga menjadi saksi dari pesan-pesan yang disampaikan suporter St. Pauli, khususnya para ultras. Dari mulai dukungan kepada situasi di Iran pasca-Mahsa Amini. Kritik kepada DFL atas rencana investasi untuk penjualan hak siar. Juga pesan-pesan seperti dukungan untuk kebebasan perempuan dan koreo buat mengenang aktivis politik yang berpulang.

Kami juga ada di sana saat asa mendapatkan tiket promosi masih terbuka. Pun saat kemungkinan itu memudar setelah tren kemenangan berhenti dan kekalahan menyelimuti. Paruh kedua musim benar-benar serupa roller-coaster meski momen di atasnya lebih sering.

Pengalaman menyaksikan Millerntor bergemuruh saat HSV gagal meraih tiket promosi otomatis di pertandingan pamungkas adalah sesuatu yang tak akan bisa dilupakan. Bagaimana stadion bisa sebegitu riuh meski di hari itu St. Pauli gagal meraih kemenangan.

Bulu kuduk saya masih merinding ketika mendengar Hells Bells milik AC/DC berkumandang untuk menyambut pemain masuk ke lapangan sebelum sepak mula atau saat Song 2 milik Blur diputar usai St. Pauli mencetak gol. Saya masih mencoba ikut bernyanyi tiap ultras meneriakkan chant dalam Bahasa Jerman—yang di awal-awal kedatangan saya tak mengerti apa artinya.

Saya mengerti bagaimana harunya melepas kepergian seorang pemain saat klub mengadakan acara perpisahan untuk Leat Paqarada dan para pemain lain usai laga terakhir vs Karlsruher. Kami ada di sana saat perpisahan itu berlangsung manis dan harus, karena pada laga itu Paqarada juga mencetak gol yang menyelamatkan St. Pauli dari kekalahan.

Siang di Millerntor, terik ataupun berangin, akan selalu menjadi siang yang menyenangkan buat saya. Malam di Millerntor, dengan angin dan suhu satu digitnya, akan tetap menjadi malam yang saya nantikan.

Pengalaman selama musim kemarin adalah pengalaman yang, buat saya pribadi, tak akan pernah saya tukar dengan apa pun. Ini adalah mimpi yang menjadi kenyataan. Terlebih karena pada awalnya saya datang ke Millerntor hanya sebagai penonton. Namun, kini saya bisa menonton dengan gratis dan salah satunya berkat tulisan yang tengah kalian baca ini.

Saya tak tahu apakah di musim depan kami bisa mendapatkan kesempatan yang sama. Saya tentu saja berharap begitu. Jika pun tidak, saya akan terus mendukung dan mungkin menulis tentang St. Pauli. Tentang klub dengan ideologi politik progresif ini, tentang klub yang masih berjuang untuk bisa naik tangga dari 2. Bundesliga ini, tentang klub yang akan selalu terbuka dengan siapa pun ini.

Terima kasih sudah membaca seluruh tulisan saya tentang St. Pauli selama satu musim terakhir ini. Terima kasih atas seluruh respons positifnya. Semoga kalian nanti bisa mendapat kesempatan yang sama…