Penyakit Everton

Foto: @Everton

Everton yang sekarang bukan lagi gerombolan penghambat tim papan atas. Mereka terhempas ke peringkat 16 dan belum lama memecat Rafael Benitez. What's next, The Toffees?

Dalam situs resminya, Everton menuliskan kabar pemecatan Rafael Benitez hanya dengan 40 kata. Mereka keburu gerah dengan hasil negatif yang berjilid-jilid. Cuma satu kemenangan yang didapat dalam 12 laga terakhir. Dua sisanya seri dan sembilan lainnya kalah.

Nangkring di urutan 16 jelas bukan kondisi yang mengenakkan. Everton cuma lima poin dari batas zona degradasi. Itu margin yang nyaris sama untuk sekadar naik ke peringkat 10. Problem yang dialami Benitez di Everton cukup kompleks sebenarnya. Ya pertahanan, ya area serang.

Fbref mencatat Everton rata-rata menerima 13,37 tembakan per 90 menit. Ini bukan angka terburuk di liga. Masih ada 10 tim yang mencatatkan lebih banyak. Yang jadi soal adalah rasio gol per tembakan Everton yang menyentuh 0,12. Tak ada tim lain yang melebihi itu.

Jordan Pickford punya tanggung jawab atas aib ini. Persentase penyelamatannya hanya 63,9% atau yang terjelek di antara seluruh kiper reguler lainnya. Namun, Pickford tentu bukan kambing hitam tunggal. Organinasi pertahanan yang buruk pangkalnya.

Cederanya Yerry Mina memaksa Benitez untuk membongkar pasang tandem Michael Keane di pos bek tengah. Mulai dari Mason Holgate, Ben Godfrey, sampai pemain 19 tahun, Jarrad Branthwaite, dijajal. Hasilnya tetap saja butut.

Koordinasi lini belakang Everton sergut minta ampun. Dari set piece, mereka kebobolan 8 kali (tertinggi kelima di liga). Belum ditambah dengan sepasang gol bunuh diri. Untuk hal ini, Everton setara dengan Brentford, Manchester United, dan Norwich sebagai kolektor terbanyak.


Sementara ompongnya lini depan banyak dipengaruhi oleh cederanya Dominic Calvert-Lewin. Tiga gol sukses dibuatnya di tiga laga beruntun. Namun, setelah Calvert-Lewin tumbang di pertengahan September, Everton mulai meradang. Tak satu kemenangan pun yang mereka raih dari awal Oktober hingga Desember. Buat Everton, Calvert-Lewin ini sama sakralnya seperti Harry Kane di Tottenham Hotspur. Bedanya, Antonio Conte bisa mengakalinya dengan pemain lain, sementara Benitez tidak.

Keputusan Benitez memboyong mantan pemainnya di Newcastle United serta Dalian Pro, Salomon Rondon, berakhir zonk. Cuma sebji gol yang dia buat dari 709 menit pementasan. Masih ada Cenk Tosun juga. Akan tetapi, Benitez baru memainkannya 6 menit di musim ini.

Richarlison yang paling ideal sebagai subtitusi Calvert-Lewin untuk urusan produksi gol. Apes, eks Watford ini juga terlalu sering absen. Total dia sudah melewatkan 16 pertandingan musim ini lantaran cedera dan suspensi.

Terlepas semuanya, Benitez masih punya hal yang bisa dibanggakan, ialah Demarai Gray dan Andros Townsend. Ya, kedua winger ini bukan hanya didapatkan dengan gratis, tetapi juga sukses menjadi katalis tim. Benitez bertumpu betul kepada Gray dan Townsend dalam wadah 4-1-4-1 miliknya. Dari tepi, mereka diberikan akses untuk merangsek ke jantung pertahanan lawan.

Kemenangan terakhir atas Arsenal bisa menjadi acuan. Di sana Tonwsend dan Gray rajin bertukar posisi dengan Richarlison yang bergerak fluid. Gray yang jadi bintangnya setelah menginisiasi gol Richarlison dan mencetak gol kemenangan di menit tambahan.

Sementara ini Everton memasrahkan kursi pelatih kepada Duncan Ferguson. Ini bukan kali pertama buatnya. Di pengujung 2019 dia pernah memimpin Everton dalam 4 pertandingan. Hasilnya lumayan, 1 kemenangan dan 3 kali imbang. Dalam tugasnya sebagai caretaker, Ferguson dibantu Leighton Baines yang juga mantan penggawa Everton. Sinergi keduanya diharapkan bisa mangatrol moral para pemain yang lesu.

“Duncan dan stafnya akan membuat kami siap untuk pertandingan,” ujar Pickford dilansir Everton TV. Dia melanjutkan, “Satu-satunya motivasi kami akhir pekan ini adalah meraih tiga poin. Ini akan menjadi hadiah buat fans sekaligus sesuatu yang belum kami raih selama beberapa bulan terakhir.”

Dalam proses itu, bos dan chairman Everton, Farhad Moshiri serta Bill Kenwright, akan melakukan pendekatan dengan calon arsitek anyar. Adalah Roberto Martinez yang paling santer dikabarkan. Menurut The Athletic, pelatih asal Spanyol itu masih memendam niat untuk pulang ke Goodison Park.

Kami rasa Martinez lebih tepat ketimbang opsi-opsi lain seperti Wayne Rooney dan Lucien Favre. Apa yang dibutuhkan Everton sekarang ini adalah percepatan, bukan proses sebagaimana yang bisa ditawarkan kedua kandidat itu.

Rooney misalnya, kendati sukses menyelamatkan Derby County dari relegasi, dia masih terlalu dini untuk mengemban misi yang sama di level Premier League. Persentase kemenangannya sebagai pelatih Derby juga rendah, 27,7%.

Sementara Favre adalah pelatih spesialis pengorbit pemain muda dan ini tidak bisa dia rampungkan dalam waktu sebentar. Apa yang dilakukannya bersama FC Zurich, Borussia Moenchengladbach, Nice, hingga Borussia Dortmund adalah proses. Lha, Everton, punya urgensi lebih sempit. Dua langkah lagi garis degradasi menerkam mereka.


Martinez punya kans besar menyelesaikan itu. Dia bukan orang baru buat Everton. Tiga musim dia pernah menangani mereka—dari medio 2013/14 hingga 2015/16. Dalam periode itu pula The Toffees berhasil finis di peringkat lima Premier League dan menjejak perdelapan final Liga Europa. Prestasi yang belum pertandingan hingga lebih dari satu dekade ke belakang.

Formasi 4-2-3-1 menjadi andalan Martinez waktu itu. Romelu Lukaku sebagai penyerang tunggal, dibantu Ross Barkley dan Kevin Mirallas dari lini kedua. Full-back juga memainkan peranan vital. Lihat saja bagaimana moncernya Baines dan Seamus Coleman di periode 2013/14. Mereka adalah Andy Robertson dan Trent-Alexander Arnold di masanya. Bila dikalkulasi, Baines dan Coleman menyumbangkan 11 gol serta 6 assist di musim pertama Martinez.

Martinez juga bukan tipikal pelatih yang saklek. Ketika menangani Belgia, dia beralih ke pakem tiga bek, termasuk di Piala Eropa 2020. Selain memfungsikan Lukaku sebagai bigman, Martinez juga mengoptimalkan peran bek sayap (lagi). Dalam hal ini Thomas Meunier dan Thorgan Hazard. Total keduanya sukses menghasilkan 3 gol dan 2 assist selama turnamen. 


Well, perkara kecocokan Martinez dengan komposisi skuad Everton sekarang, rasanya tak banyak problem berarti. Allan dan Abdoulaye Doucoure bisa menjadi double pivot sempurna. Keduanya dilengkapi fitur ofensif dan defensif yang oke.

Untuk pos sayap, Martinez punya opsi melimpah. Selain Gray, Townsend, dan Richarlison, ada pula Alex Iwobi dan Anthony Gordon. Pemuda yang disebut belakangan ini lagi mekar-mekarnya. Masing-masing 2 gol dan assist dia cetak selama 4 laga ke belakang.

Last but not least, pos striker. Martinez tahu betul caranya mewadahi potensi target-man. Tanya saja Lukaku, bagaimana dia berhasil tumbuh menjadi produsen gol utama Everton di era Martine, kemudian matang bersama Belgia. Calvert Lewin bisa meneruskan itu dan jika tidak, Everton masih punya Rondon serta Tosun sebagai alternatifnya.

Satu hal yang paling mungkin mengganjal adalah departemen pertahanan. Apa yang dimiliki Everton di sini tak benar-benar cukup. Buruknya statistik pertahanan di atas bisa merepresentasikannya. Manajemen klub harus memanfaatkan jendela transfer musim dingin ini untuk memboyong pemain belakang baru yang kompeten. Dan tentu saja, mencari pengganti Lucas Digne yang sepadan.