Penyelesaian Akhir Vinicius

Vinicius Junior merayakan gol yang ia cetak. Foto: @realmadrid.

Perkara mencetak gol merupakan problem Vinicius. Jika tidak cepat diselesaikan, keraguan orang-orang akan terus membayang-bayangi.

Hidup Vinicius Junior disesaki ekspektasi. Ia dituntut harus begini dan begitu, dipaksa menjadi sosok luar biasa meski usianya baru 21 tahun. Bola yang ia giring dan lesakan pun tidak pernah lebih liar dari pengharapan orang-orang.

Ekspektasi yang kelewat besar kepada Vinicius bukan tanpa alasan. Selain dengung pemain muda sangat potensial yang bersorak-sorai usai Copa America U-17, Real Madrid merekrut Vinicius dengan harga 45 juta euro.

Perjalanan Vinicius bersama Madrid tidak berjalan mulus. Banyak batu sandungan yang menghambat performa pemein berkebangsaan Brasil itu. Musim perdana di Los Blancos, misalnya, Vinicius ikut bergelut dengan persoalan internal klub.

Pertama-tama, Vinicius terlibat dalam transisi kepergian Cristiano Ronaldo. Kemudian, pencopotan Julen Lopetegui yang gagal memenuhi target. Bersama Santiago Solari, Vinicius mulai mendapatkan banyak menit bermain. Namun, pada akhir musim, Madrid bereuni dengan Zinedine Zidane.

Jika diakumulasikan, Vinicius merasakan tiga pelatih berbeda di musim pertamanya. Situasi tersebut membuat Vinicius sulit untuk berkembang. Petualangan Vinicius makin berat manakala ia mengalami pecah ligamen lutut dan absen dua bulan. Ia pun menutup musim 2018/19 dengan rangkuman 2 gol di La Liga.

Torehan gol Vinicius membaik musim berikutnya, yakni 5 gol dari 38 laga di semua kompetisi. Namun, itu belum cukup untuk memenuhi ekspektasi orang-orang. Kritik pun datang silih berganti.

Keraguan akan kualitas Vinicius membesar manakala Karim Benzema tertangkap layar sedang berbicara kepada Ferland Mendy soal egoisme Vinicius di Lorong Stadion Borussia Park.

"Dia cuma melakukan apa yang dia inginkan. Jangan bermain dengannya. Dia bermain melawan kita," kata Benzema kepada Mendy.

Omongan Benzema itu memperkuat keraguan orang-orang bahwa Vinicius tidak sebagus apa yang diharapkan. Sampai-sampai rekan setimnya pun tidak mau menyodorkan umpan kepadanya.

Meski berkalang kesangsian dan kritik, mental Vinicius tidak pernah goyah. Ia tetap berlatih, berlatih, dan berlatih. Omongan buruk orang-orang, ia jadikan sebagai petunjuk untuk mengasah kapasitas dan kapabilitas.

"Saya melakukan pekerjaan ekstra di akhir sesi latihan. Zidane sempat meminta saya untuk memperbaiki penyelesaian akhir. Para pemain lain juga memberikan banyak saran dan petunjuk kepada saya," kata Vinicius pada 2019 sebagaimana dilansir Football Espana.

Perkara mencetak gol merupakan problem Vinicius. Ia boleh saja piawai meliuk-liukan badan saat menggiring bola atau beradu cepat dengan bek lawan, tapi keran golnya masih tersumbat.

Menurut Understat, xG eks pemain Flamengo itu ada di angka 6,83. Dengan kata lain, ia sebenarnya dapat mencetak sekitar 6 gol di La Liga. Namun, ia 'hanya' mencetak 3 gol.

Gol yang terpampat menjadi bom waktu bagi Vinicius. Semakin lama dirawat, semakin besar ledakan yang akan meluluhlantakkan karier Vinicius bersama Real Madrid.

Pergantian nakhoda Real Madrid dari Zidane ke Carlo Ancelotti menghadirkan tanda tanya besar soal bagaimana Vinicius dapat berkembang dan bersinar.

Ancelotti bukan pelatih asing bagi Madrid. Ia pernah bekerja di Santiago Bernabeu. Eks pelatih Bayern Muenchen itu merupakan pelatih adaptif. Ia tidak pernah terpaku pada satu sistem permainan dan mahir menyesuaikan dengan skuat yang ada.

Dua laga perdana La Liga 2021/22, Ancelotti memakai pakem 4-3-3. Tidak ada nama Vinicius dalam starting line-up. Ia mempercayakan tiga pos penyerang kepada Karim Benzema, Eden Hazard, dan Gareth Bale.

Dalam dua laga tersebut, Vinicius memulai laga dari bangku cadangan. Meski begitu, ia seolah-olah tidak mau menilai pemain cadangan sebagai serep. Ia juga enggan mengadili aib bangku cadangan sebagai tempat pemain-pemain yang hanya bisa berharap dan meratapi nasib.

Bagi Vinicius, bangku cadangan bisa saja menjadi tempat terbaik untuk mengamati jalannya laga. Dengan sudut pandang yang lebih luas, ia bisa melihat kelemahan-kelemahan dan kesalahan-kesalahan rekannya maupun lawan. Ruang-ruang di pertahanan lawan akan terlihat jelas dari bangku cadangan.

Maka, ketika Ancelotti memainkannya, Vinicius tahu apa yang harus ia lakukan. Apakah itu meneror gawang lawan dengan beradu kecepatan atau mencari ruang kosong di kotak penalti.

Saat Madrid melawan Deportivo Alaves pada pekan pertama, Vinicius bermain menggantikan Hazard pada menit ke-66. Performa Vinicius cukup menjanjikan. Selain mencatatkan 2 dribel sukses, ia mampu mencetak gol pada masa injury time usai menerima sodoran umpan David Alaba.

Penampilan Vinicius semakin mengganas pada pekan kedua La Liga menghadapi Levante. Meski bermain pada menit ke-59, ia menorehkan dua gol yang membuat laga berakhir imbang 3-3.

Vinicius sebenarnya punya kans besar untuk mencetak hat-trick pada menit ke-87. Menerima umpan terobosan Rodrygo, Vinicius berlari cepat tanpa kawalan. Ia berada di posisi terdepan untuk mendekati gawang.

Ketika berhadapan satu lawan satu dengan penjaga gawang Levante, Aitor Fernandez, yang maju jauh meninggalkan gawang, Vinicius mencukil bola. Jika bola tersebut lolos, Vinicius punya kans besar untuk mencetak gol. Namun, Fernandez menghentikan laju bola dengan tangannya dan berujung kartu merah.

Dua gol yang dicetak Vinicius menandakan bahwa insting mencetak golnya perlahan mulai membuas. Gol pertama ia cetak berbekal kecepatannya. Sedangkan gol kedua memperlihatkan finishing touch yang oke. Kendati mendapat kawalan ketat, ia mampu mencukil bola ke tiang jauh. Sebelum masuk ke gawang Levante, bola membentur mistar, yang membuat gol itu berkelas.

Tiga gol dalam dua laga jelas pencapaian yang luar biasa. Jumlah tersebut sama dengan gol yang ia cetak sepanjang musim 2020/21 di La Liga. Pada laga berikutnya, Ancelotti memainkan Vinicius sejak menit pertama. Namun, ia gagal menambah koleksi golnya.

Ancelotti tidak pernah meragukan kualitas Vinicius. Ia pun menilai Vinicius sebagai pemain muda berbakat. Kemampuan dribel dan kecepatan merupakan senjata Vinicius untuk berduel satu lawan satu.

Tapi, kata Ancelotti, atribut itu saja tidak cukup bagi Vinicius untuk menjadi bintang Madrid. Ada satu aspek lagi yang perlu Vinicius asah, yakni penyelesaian akhir.

"Saya telah mengatakan kepadanya bahwa untuk mencetak gol, ia harus melakukan satu atau dua sentuhan. Sulit untuk mencetak gol dengan empat atau lima sentuhan," kata Ancelotti.

Sama seperti yang Vinicius lakukan sebelumnya, apapun saran yang dikatakan orang lain, entah itu rekan setim maupun pelatih, adalah petunjuk untuk terus berbenah, menjawab ekspektasi, dan menancapkan eksistensinya sebagai (calon) bintang Real Madrid.