Perihal St. Pauli

Foto: FC St. Pauli

St. Pauli bukanlah klub yang menawarkan prestasi sebagai hidangan utama buat para pendukungnya. Tim ini menawarkan hal-hal lain yang lebih besar dari kemenangan.

Saya sengaja menulis artikel ini setelah laga Jahn Regensburg vs HSV selesai. Sebab, laga tersebut, sebagaimana yang disampaikan Fabian Huerzeler dalam konferensi pers setelah laga vs Fortuna Duesseldorf, akan menentukan nasib St. Pauli di akhir musim ini.

St. Pauli sebenarnya punya asa untuk tak menggantungkan nasib mereka pada klub lain. Namun, hasil imbang 0-0 vs Fortuna akhir pekan kemarin membuyarkan asa itu. Mereka gagal meraih tiga poin di kandang dalam laga yang sebenarnya bisa didominasi. Sialnya, di malam itu, St. Pauli tak bisa menyelesaikan peluang mereka dengan baik dan kemudian terlihat kesulitan lepas dari pressing lawan.

Pada akhirnya, HSV menang. Telak, 4-1. Mereka dapat tiga poin dan itu berarti jarak dengan St. Pauli terpaut enam poin. 2. Bundesliga tinggal menyisakan dua laga dan secara matematis St. Pauli memang bisa menyamai poin HSV jika mereka menang di dua laga sisa dan tetangganya keok dua kali beruntun.

Namun, ada beberapa poin yang jadi persoalan. Pertama, HSV hanya akan menghadapi Greuther Furth (peringkat 12) dan Sandhausen (peringkat terakhir) di dua laga sisanya. Kedua, selisih gol yang jauh. St. Pauli memiliki selisih gol 15, sedangkan HSV 23. Ketiga, di atas St. Pauli masih ada Paderborn yang unggul selisih gol (25). Jika pun St. Pauli menyapu bersih dua laga sisa, HSV kalah beruntun, dua kemenangan akan membuat Paderborn mendapatkan tiket play-off.

Jadi, hanya keajaiban yang bisa membawa St. Pauli meraih tiket play-off dan saya rasa keajaiban itu tak akan ada musim ini. Semoga saya salah. Namun, jika pun tidak, rasanya itu tak jadi soal.

Iya, St. Pauli memang punya skuad yang lengkap untuk menjadi salah satu yang terbaik di 2. Bundesliga. Iya, musim lalu mereka juga nyaris dapat tiket promosi. Iya, mimpi untuk naik tangga ke level yang lebih tinggi juga ada musim ini.

Akan tetapi, prestasi bukanlah dopamine bagi siapa pun yang mendukung klub ini. Ada hal yang lebih besar di St. Pauli: Sikap politik klub, identitas, kebersamaan, inklusivitas, dan cerita-cerita indah dari atas lapangan yang tak melulu berupa tiga poin.

Sejak dulu klub ini, melalui sepak bola, menyuarakan kesetaraan, berjuang membuat suara kaum minoritas makin nyaring terdengar, bersikap independen melawan komersialisasi yang semakin lahap menelan sepak bola. Jika ada klub yang menggunakan apparel buatan sendiri, itu St. Pauli. Jika ada klub yang di stadionnya tertulis “Football has No Gender” atau “No Human is Illegal” itu adalah St. Pauli.

Nilai-nilai itulah yang membuat Millerntor selalu penuh tiap pekannya.

Sangat jarang saya melihat St. Pauli membuka tiket pertandingan ke pasar bebas (yang mana siapa pun bisa beli). Laga kandang hampir pasti selalu ludes di tangan member—yang berdasarkan statistik klub per Februari 2023 jumlahnya menyentuh angka 35.000 orang. Hampir tiap pekan saya mendengar dari pengeras suara di stadion bahwa 29.546 kapasitas Millerntor terisi penuh.

Jika menengok statistik yang dihimpun Transfermarkt, persentase keterisian Millerntor musim ini mencapai angka 99%. Tertinggi di 2. Bundesliga. Jumlah member yang dimiliki St. Pauli juga sebenarnya lebih banyak ketimbang beberapa klub Bundesliga seperti Bochum, Wolfsburg, Leverkusen, sampai Augsburg.

Klub ini memang masif. Menang atau kalah, saya lihat suporter tetap berteriak kencang. Musim ini tak ada cerita penonton meninggalkan stadion di tengah laga. Selepas imbang vs Fortuna, misalnya, Ultras St. Pauli masih tetap bernyanyi bersama para pemain, yang selepas peluit akhir sudah menjatuhkan badan ke lapangan atau menutup wajah dengan tangan sebagai tanda kecewa.

Di mata pemain, St. Pauli juga berbeda. Karol Mets, bek yang berhasil jadi pahlawan dengan tekelnya untuk menghindarkan St. Pauli dari kekalahan akhir pekan lalu itu, bilang kepada saya bahwa pemain manapun akan bangga mengenakan jersei dan bermain untuk klub yang spesial ini. Iya, meski klub ini bermain di 2. Bundesliga, meski klub ini bukan Bayern Muenchen atau Borussia Dortmund.

Dari datang ke banyak pertandingan kandang mereka musim ini saya lantas makin percaya (dan rispek kepada orang-orang yang melakukan) bahwa mendukung klub yang tidak menawarkan prestasi sebagai hidangan utama jelas amat masuk akal. Bahkan ketika klub ini bukan klub tanah kelahiranmu atau klub yang berasal dari daerah yang sama dengan tempat kamu tinggal.

Mendukung klub memang tak melulu soal keberhasilan. Dan itulah apa yang saya lihat di Millerntor, sebagaimana yang diperlihatkan banner Ultras St. Pauli pada laga vs Fortuna akhir pekan kemarin: Forever with You Sankt Pauli!

***

Musim ini menyisakan dua laga lagi bagi St. Pauli. Hasil yang didapat HSV seharusnya membuat beban yang ada di pundak mereka hilang. Musim ini seharusnya diselesaikan tanpa beban. Tentu tetap, sebagaimana dibilang Jackson Irvine selepas laga vs Fortuna, dengan target meraup enam poin.

Setidaknya itu bisa jadi penutup musim yang sempurna. Setidaknya itu bisa membahagiakan mereka yang tanpa lelah datang ke Millerntor dan mereka yang mendukung klub ini. Setidaknya itu bisa jadi kado manis buat ulang tahun klub yang ke-113.

Pada jeda babak paruh pertandingan akhir pekan lalu, lagu Can’t Help Falling in Love-nya Elvis Presley diputar di Millerntor. Stadion jadi hening saat lagu itu diputar dan jika saya kembali mengingat kembali momen itu bersama lirik lagunya, momen itu amat sangat romantis: Bahwa apa pun hasil yang diraih, banyak orang sudah telanjur jatuh cinta dengan klub ini.