Pernyataan

Foto: @fcstpauli.

Hari itu, semua orang di Hamburg membuat pernyataan: Cokelat atau Biru. Kubu pertama kemudian menang dan berhak merayakan apa pun sepanjang malam. Ini cerita dari Stadt-Derby.

Hari masih menunjukkan pukul sembilan pagi, tapi saya sudah melihat seorang bapak mengenakan hoodie HSV. Di hari-hari biasa, mafhum memang mengenakan atribut klub. Setiap hari saya melihat orang mengenakan tas, kaus, hoodie, topi, atau apa pun soal St. Pauli dan HSV. Namun, saya tau bahwa mengenakannya di hari ini, 14 Oktober 2022, punya maksud berbeda.

Siapa pun yang hari ini mengenakan atribut dua klub Hamburg tersebut, mereka tengah membuat sebuah pernyataan. Pernyataan yang membuat Hamburg terbelah dua: St. Pauli atau HSV, cokelat atau biru. Sebab, di hari dan tanggal ini, Stadt-Derby yang mempertemukan dua tim tersebut akan berlangsung.

Tensi laga lantas menjalar ke obrolan-obrolan sehari-hari. Di tempat bekerja, saat jam makan siang, orang-orang membicarakan laga ini. Menyampaikan pernyataan mereka. Atasan saya, yang kebetulan seorang fanatik St. Pauli, sampai tak mau menyebut “HSV” ketika berbicara. Ia menggunakan kata ganti “tim dengan jersei biru, putih, dan merah”. Di kampus pun, perbincangan seputar hal ini menguap.

Hamburg memang beruntung karena dianugerahi dua klub ternama, St. Pauli dan HSV. Dan mereka besar dengan cara masing-masing; yang disebut pertama besar karena kultur dan idealismenya, yang disebut terakhir besar karena prestasi masa lalu dan basis pendukung (atau dalam hal ini, member) yang besar. Dua klub yang akan membuat laga derbi selalu panas, selalu jadi perbincangan.

Memang ada ketidakberuntungan di samping keberuntungan tadi: Derbi tak digelar di Bundesliga, tapi di 2. Bundesliga. Dua tim ini masih terjerembap di divisi kedua, menunggu kesempatan untuk naik tangga. Namun, situasi ini pun tidak akan mengurangi intensitas dan panasnya laga di dalam maupun luar lapangan.

***

Saya tiba di Millerntor satu jam lebih sebelum pertandingan dan ribuan suporter St. Pauli sudah mengular di luar. Mereka mengantre masuk. Suporter tandang, sementara itu, sudah dipersilakan masuk lebih dulu.

Seorang teman yang sudah lama tinggal di Hamburg pernah bilang bahwa kota ini akan aman dan nyaman kecuali saat dua tim ini bertemu. Situasi bisa menjadi tak terprediksi. Saya memang tiba ketika situasi di luar sudah kondusif, tapi beberapa jurnalis menceritakan bahwa ada friksi di luar stadion beberapa jam sebelum laga dimulai.

Pihak kepolisian (iya, mereka lagi) menangkap ratusan suporter St. Pauli tanpa alasan yang jelas. Beberapa bahkan ditangkap dengan kekerasan. Tidak ada bentrok masif yang terjadi di luar stadion untuk mendapatkan penanganan berlebihan seperti yang itu. Ribuan suporter tandang yang datang ke Millerntor pun juga sudah mendapat pengawalan.

Suporter non-ultras masing-masing klub bahkan duduk di tribune yang sama, berjalan di tempat yang sama, menaiki kereta yang sama. Yang membedakan hanyalah atribut yang mereka pakai, yang digunakan untuk memberikan pernyataan: Biru atau cokelat.

***

Jika berbicara hal teknis, situasi kedua tim memang tengah berbeda 180 derajat. HSV tengah berada dalam performa yang luar biasa bagus sebelum laga: Mereka melalui enam laga beruntun tanpa kekalahan dan tengah berstatus sebagai pemuncak klasemen Bundesliga. St. Pauli, sementara itu, tengah berada dalam performa menurun. Jackson Irvine cs. tak pernah menang sejak 14 Agustus dan posisi mereka di papan klasemen terus menurun.

Di atas kertas, HSV mungkin lebih diunggulkan. Namun, apa yang ada di atas kertas jelas tak berlaku di derbi. Sebab, di laga intens dan panas seperti ini, apa saja bisa terjadi. Tak ada yang bisa memprediksi. Terlebih lagi laga ini dipimpin oleh Deniz Aytekin–wasit yang diklaim terbaik di Jerman, tapi acap memutuskan hal-hal tak terduga.

Kejutan sudah terlihat sejak menit pertama. Saya beberapa kali menonton St. Pauli dan di laga derbi inilah, untuk pertama kali, Timo Schultz menggunakan pola tiga/lima bek. Tepatnya 3-5-2 dengan bola dan 5-3-2 ketka tanpa bola. Eric Smith, yang biasanya bermain di tengah, ditugaskan menjadi salah satu bek.

HSV sendiri turun dengan formasi andalan mereka, 4-3-3. Pemain-pemain andalan pun langsung diturunkan oleh Tim Walter. Mereka seolah siap meneruskan tren positif di kandang seterunya ini. Dan sejak awal, Daniel Fernandes cs. memang langsung mendominasi penguasaan bola.

Kejutan kedua, sekaligus petaka pertama buat HSV, kemudian datang pada menit 28. Kapten mereka, Sebastian Schonlau, diusir ke luar lapangan oleh wasit Deniz Aytekin setelah melanggar Etienne Amenyido yang tinggal berhadapan langsung dengan penjaga gawang.

Setelah kartu merah, HSV sebenarnya masih mampu mendominasi penguasaan bola. Membuat St. Pauli sedikit kesulitan untuk memaksimalkan keunggulan jumlah pemain. Namun, itu hanya berlangsung sampai kick-off babak kedua. Karena setelah itu, St. Pauli sudah mulai bisa mengontrol laga dengan pressing dan umpan-umpan vertikalnya. Mereka mulai mendapatkan banyak peluang untuk bisa mencetak gol.

Gol pertama pecah di menit 61 saat Smith berhasil menanduk bola hasil sepak pojok Marcel Hartel. Gol yang membuat seluruh Millerntor bergemuruh. Song 2 dari Blur diputar, orang-orang berteriak dan melompat-lompat. Flare yang hampir tak pernah redup selama pertandingan kembali dinyalakan banyak-banyak.

Setelah gol itu, St. Pauli terlihat makin menyala. Memburu gol berikutnya. Dan benar saja, satu rangkaian serangan yang apik berhasil diselesaikan dengan manis oleh Hartel. Gol yang merupakan gol tim, gol yang makin membakar semangat seluruh pendukung St. Pauli yang ada di Millerntor. Bahwa malam ini benar-benar akan jadi malamnya mereka, bahwa derbi ini akan menjadi milik mereka.

Setelah gol itu, HSV berupaya memegang kendali, berupaya mencuri gol. Alih-alih gol, gawang mereka justru kembali kebobolan. Pemain pengganti, David Otto, mencetak gol cantik via sundulan kepala untuk membuat tuan rumah menjauh 3-0. Gol yang kemudian menjadi gol pernyataan: Bahwa malam itu, laga menjadi milik St. Pauli. Bahwa malam itu, Hamburg menjadi cokelat.

Di atas kertas HSV boleh saja diunggulkan, mereka boleh saja lebih superior. Namun, derbi adalah derbi. Apa pun bisa terjadi. Dan di laga penuh drama–dengan kartu merah, polisi yang bertingkah di luar lapangan, flare dan nyanyian yang tak pernah berhenti, gol yang banyak–St. Pauli mampu menunjukkan bahwa, sampai kapan pun, mereka adalah tetangga yang menyebalkan buat HSV.

***

Dalam konferensi pers pasca-laga, Schulz berbicara dengan ekspresi yang tak bisa ia sembunyikan: kegembiraan, ekspresi bahagia. Ia mengatakan bahwa timnya memang layak menang–dengan cara bagaimana mereka memburu bola, memaksimalkan penguasaan bola itu, dan bertahan dengan sebaik-baiknya. Dan tentu saja, semua yang menyaksikan laga ini akan sepakat dengannya.

Sebelumnya, pemain memutari seluruh tribune, memberikan penghormatan kepada seluruh penonton. Bahwa malam ini, kemenangan yang mereka dapatkan tak cuma berasal dari performa hebat di lapangan, tapi juga berkat dukungan yang tak henti dicurahkan dari tribune. St. Pauli sebelumnya memang berada dalam tren menurun, tapi itu terlupakan.

Hamburg hujan malam itu, tapi mereka yang mendukung St. Pauli kemudian pulang dengan kegembiraan. Mereka bernyanyi di jalan, berjingkrak di mana pun kaki mereka terpijak. Di bar dalam stadion, orang-orang merayakan dengan minuman di tangan masing-masing. Para pemain pulang dan kemudian memposting foto-foto laga dengan hashtag sama: #DerbySieger (pemenang derbi, id).

Untuk satu malam, Hamburg memang mutlak jadi milik satu pihak. Jika orang-orang biasa berkata bahwa Jumat di Hamburg bisa lebih cepat dan panjang dari hari-hari lainnya, saya sepakat. Semua, yang menyatakan bahwa warna cokelat ada di hati dan darahnya, bebas merayakan apa saja sepanjang malam. Irvine, sang kapten, merayakan kemenangan dengan rekan dan para suporter sambil minum bersama.

Di tempat lain, saya menenggak satu gelas sake dengan es.  Saya rasa, itu adalah salah satu gelas terbaik dalam hidup saya.