Perugia dan Roma Mengabadikan Nakata

Nakata ketika masih memperkuat Perugia. Foto: The Gentleman Ultra.

Samurai dari negeri jauh, Hidetoshi Nakata, mendapatkan nama di Perugia lalu AS Roma. Di balik eposnya, ada satu tim yang selalu menjadi korban: Juventus.

Orang itu bertubuh tambun dan sering terlihat menutupi perutnya yang maju dengan setelan jas yang ketiga kancingnya selalu ia kaitkan. Saya menduga, ia melepas ketiga kancing jasnya itu hanya pada beberapa saat tertentu seperti ketika duduk di meja perjamuan, tempat ia membuat berbagai perjanjian dan menjabat tangan tamu-tamunya.

Luciano Gaucci nama orang itu. Ia lahir dan besar di Roma, tetapi mendapatkan nama di Umbria, tempat klub yang kelak ia miliki, Perugia, berada. Gaucci, yang meninggal dunia pada Februari 2020, seumur hidupnya dikenal sebagai pengusaha nekat. Ia terbiasa bermain lompat tali pada garis batas tipis antara hal-hal yang legal dan ilegal.

Namun, bagi orang-orang yang mengenalnya dengan begitu dekat, Gaucci adalah manusia yang berusaha menikmati hidup sampai batas-batas paling jauh. Ia pernah merasakan pahit dan susah ketika bekerja menjadi sopir bus, sampai akhirnya ketiban untung ketika kuda pacu yang ia beli mengantarkannya jadi miliarder. Oleh karena itu, dengan latar belakang yang cukup nekat, tidak heran kalau ia acap bersenggolan dengan satu atau dua kontroversi, atau bahkan hukum.

Gaucci, saya kira, menghidupi apa yang pernah dikatakan oleh Sjahrir bahwa hidup yang tidak dipertaruhkan tidak dapat dimenangkan. Maka, ketika ia menjadi patron buat Perugia, ia sering betul melempar dadu dan, celakanya, ia sering betul beruntung. Oleh karena itu, Gaucci tidak pernah berhenti melempar dadu.

Kelak Perugia yang ia pimpin itu bakal mengalami kebangkrutan pada 2005. Gaucci pun kena getahnya; ia diselidiki oleh pihak berwajib dan sampai harus kabur ke Republik Dominika dan bersembunyi selama empat tahun. Namun, sebelum kejatuhannya, Gaucci bisa menoleh ke belakang dan melihat sederet keberuntungan yang ia dapatkan.

Dalam lembaran masa lalu itu, tercatat beberapa nama yang ia beli untuk Perugia dan kelak menjadi bintang klub itu: Milan Rapaic, Ivan Kaviedes, hingga yang paling tenar adalah Hidetoshi Nakata.

***

Saya hanyalah anak SD belaka ketika Nakata, seorang pemuda 21 tahun yang baru tiga tahun mengenyam dunia sepak bola profesional bersama Bellmare Hiratsuka, menjadi tajuk di berbagai media nasional. Pada musim panas 1998, tidak lama setelah bermain untuk Jepang di Piala Dunia, Nakata berlabuh di Perugia.

Ia, tentu saja, bukan orang Jepang pertama yang bermain di Serie A. Namun, kelak, ia menjadi seperti pembuka pintu untuk banyaknya talenta Jepang yang bermain di Italia maupun Eropa—Hiroshi Nanami, Shunsuke Nakamura, Mitsuo Ogasawara, hingga generasi yang lebih dekat dengan masa sekarang seperti Keisuke Honda dan Takehiro Tomiyasu.

Nakata, menurut The Gentleman Ultra, adalah perjudian Gaucci yang paling berhasil. Didatangkan dengan harga 3,5 juta euro, ia dijual ke AS Roma dengan harga 21,69 juta euro satu setengah musim kemudian. Singkat, memang, cerita Nakata di Perugia, tetapi justru masa-masa itulah yang menentukan pijakan kariernya di Italia.

Pada 13 September 1998, Nakata menjalani debutnya bersama Perugia dengan menghadapi sang juara bertahan, Juventus, di Renato Curi. Yang saya ingat, hari itu stasiun televisi menyiarkan pertandingannya dan setelah pertandingan hari itu Tabloid BOLA menuliskan reviu yang menyebutkan bahwa Nakata baru betul-betul berani dan percaya diri memperlihatkan kemampuannya pada babak kedua.

Reviu tersebut tidak salah. Di tengah hujan yang mengguyur Renato Curi hari itu, Perugia memang tampak terperam di hadapan kebintangan ‘Si Nyonya Tua’ yang hari itu turun dengan kehadiran Zinedine Zidane dan Alessandro del Piero. Pada babak pertama, Juventus sudah unggul 3-0 dan tidak ada tanda-tanda bahwa sinar Nakata bakal muncul di balik awan mendung.

Entah apa yang terjadi di ruang ganti ketika itu. Siapa pun boleh menyangka bahwa Nakata dan rekan-rekannya tidak sekadar bersalin dan membersihkan diri sebelum memulai babak kedua, tetapi juga mengambil nyawa dan jiwa baru yang tergantung di tembok. Begitu babak kedua dimulai, mereka tampil menjadi orang yang berbeda.

Dengan lekas, keunggulan 3-0 Juventus terpangkas. Nakata mencetak dua gol, yang pertama pada menit ke-52 dan yang berikutnya pada menit ke-59. Juventus terlihat panik, sampai kemudian gol Daniel Fonseca pada menit ke-65 memberikan mereka perpanjangan napas.

Perugia kalah 3-4 pada pertandingan itu—gol terakhir mereka diciptakan oleh Antonio Bernardini pada menit ke-88. Namun, mereka tetap menjadi sorotan, terutama Nakata. Pada musim pertamanya, ia mencetak 10 gol dari 33 laga, sebuah pencapaian yang bagus untuk seorang pemuda yang baru pergi merantau ke Eropa.

Dari situ, Nakata menunjukkan bahwa ia adalah genius betulan. Ia bukan sekadar penjual kostum untuk klub. Di tengah Serie A pada ujung 1990-an yang masih cukup ganas, ketat, dan menuntut pemain untuk punya teknik di atas rata-rata, Nakata bisa bertahan. Sebagai pemain, Nakata adalah paket komplet.

Sebagai gelandang, Nakata bisa bermain sebagai gelandang serang atau gelandang tengah. Ia juga terbiasa mengemban role sebagai playmaker. Yang menarik, meski termasuk dalam arketipe gelandang stylish, Nakata juga memiliki work-rate tinggi dan punya daya jelajah luas. Maka, tak jarang pula ketika memperkuat Perugia, ia turun sampai ke lini belakang untuk menjemput bola.

Ini yang menjadi alasan AS Roma, pada Januari 2000, memboyongnya. Setelah menghabiskan setengah musim pertamanya berusaha beradaptasi dengan lingkungan dan tim baru, Nakata—seperti halnya pada hari hujan di Renato Curi dua tahun sebelumnya—baru menginjak pedal gas pada musim keduanya bersama I Lupi.

Ia memang tidak selalu tampil sebagai starter, tetapi tetap saja menjadi bagian penting dari skuad arahan Fabio Capello. Tidak jarang, Nakata menjadi opsi yang amat sepadan dengan Francesco Totti ketika ia masuk sebagai pemain pengganti. Nakata yang seperti inilah yang kemudian membuat ia abadi bagi Roma.

Sepanjang kariernya di Serie A, Nakata pernah disebut sebagai pemain yang menikam Juventus dua kali. Yang pertama, tentu saja, pada debutnya dan yang kedua adalah ketika Roma tengah bersaing dengan The Old Lady pada perebutan gelar musim 2000/01.

Football Pink, lewat salah satu penulisnya, Ash Day, pernah menceritakan bagaimana seorang pramusaji di kota Roma dengan bangganya bercerita kepada pengunjung restorannya mengenai hari di mana Nakata memorak-porandakan Delle Alpi, kandang lama Juventus.

Kata memorak-porandakan di situ barangkali terlihat berlebihan, tetapi sesungguhnya performa Nakata pada hari itu, 6 Mei 2001, memang cukup untuk membuat Juventus terdiam. Sekali lagi, magi Nakata hadir di hadapan Bianconeri pada babak kedua, tak lama setelah ia menggantikan Totti.

Pada pertandingan itu, Juventus sudah unggul 2-0 sebelum Nakata melepas jaket pemain cadangannya dan masuk ke lapangan. Lantas, semuanya berubah. Satu sepakannya dari jarak 27 meter mengoyak jala yang dikawal Edwin van der Sar, membuat Roma mempertipis skor menjadi 1-2. Setelah itu, gantian sepakannya menjadi bola rebound yang disambar Vincenzo Montella, membuat skor berubah menjadi 2-2.

Roma memang tidak meraih kemenangan hari itu. Namun, skor imbang tersebut terbukti krusial karena mereka masih bisa mempertahankan keunggulan 6 poin atas Juventus di klasemen. Setelahnya, I Lupi meraih tiga kemenangan dan dua hasil imbang pada lima laga tersisa dan keluar sebagai juara Serie A.

Musim itu bisa dikenang sebagai musim ketika Totti, Gabriel Batistuta, dan Montella bergantian menjadi pencetak gol dan daya gedor utama lini depan mereka. Totti mencetak 15 gol, Batistuta memborong 21 gol, dan Montella 16 gol. Nakata, sementara itu, hanya mencetak 3 gol. Namun, setelah hari pada bulan Mei itu, pendukung Roma tahu bahwa samurai dari negeri jauh ini layak untuk mendapatkan penghormatan tersendiri.