Piala Eropa 2020, Orban, dan Politik Kebencian

Suporter Hongaria di Piala Eropa 2020. Foto: @thecasualultra.

Kelakuan Hongaria menyeret Euro 2020 ke dalam adu ideologi politik yang menentukan masa depan Uni Eropa.

Viktor Orban sejatinya tak pernah absen dalam setiap laga Timnas Hongaria. Perdana Menteri Hongaria yang berkuasa 1 dekade ini menjadikan stadion dan pertandingan timnas sebagai tempat untuk menghapus jarak antara pemimpin dan publiknya. Bahkan untuk pertandingan tandang, Orban tak jarang menomorduakan tugas pemerintahan dan terbang menemani para ‘Magyarok’.

Namun, untuk laga pemungkas Grup F Piala Eropa 2020, antara Hongaria dan Jerman, yang amat penting pada Kamis (24/6) lalu, Orban urung hadir. Kunjungannya mendadak batal sehari sebelum laga. Orban merasa kedatangannya ke Jerman bakal membuatnya dipermalukan.

Sehari menjelang kedatangan delegasi Hongaria, setiap sudut Muenchen mulai dari lampu Stadion Allianz Arena, transportasi publik, balai kota, hingga mural di tembok bangunan, dengan sengaja menampilkan warna pelangi.

Pemerintah dan rakyat Jerman kesuh dengan keputusan Parlemen Hongaria sepekan sebelumnya yang mengesahkan UU Anti-Propaganda LGBT. Bahkan seorang suporter Jerman berlari ke hadapan para pemain Hongaria saat lagu kebangsaan berkumandang.

Kanselir Jerman, Angela Merkel, sampai mengutuk pemerintahan Orban melakukan cara berpolitik yang tak beradab. Kepala pemerintahan anggota Uni Eropa lain macam Belanda, Swedia, Prancis, dan Irlandia, ikut mengutuk kebijakan rezim Orban.

Negara-negara ini murka karena Hongaria dianggap tak sejalan dengan nilai Uni Eropa. Pada Maret lalu, Parlemen Uni Eropa mengesahkan legislasi ‘LGBTIQ Freedom Zone’ untuk memastikan kawasan ini adalah ruang aman bagi semua orientasi seksual. Keputusan ini punya kekuatan hukum mengikat terhadap 27 negara anggota Uni Eropa, tak terkecuali Hongaria.

Mendapat pengeroyokan, pejabat Hongaria malah balik sewot. Menteri Kehakiman Hongaria Judit Varga berdalih UU tersebut menghindarkan anak-anak dari propaganda berbau seksual, dan justru memuji kebijakannya sebagai “nilai yang seharusnya dianut orang Eropa”. Komisi Uni Eropa tengah menggodok sanksi hukum, tapi Orban tampaknya memberontak dan tetap akan meloloskan legislasi.

Viktor Orban. Foto: Wikimedia Commons.

Sejak kembali berkuasa tahun 2010, Orban bersama Partai Fidesz-nya membawa Hongaria menjadi negara konservatif. Hongaria sebelumnya dikuasai kelompok tengah-kiri pada kurun 2002-2008, selalu menuruti kehendak Uni Eropa. Konservatisme ala Orban mengubah Hongaria menjadi anggota bengal yang selalu memberontak. Orban tak henti mengkritik demokrasi liberal ala Eropa, menolak imigran, dan mendebat kebebasan pers.

Orban dan Hongaria adalah anak baru yang dikucilkan pergaulan. Parlemen Uni Eropa terdiri dari 9 penggolongan ideologi: kelompok kiri, sosialis-demokrat, partai hijau, liberal, independen (tengah), tengah-kanan, konservatif, populis, dan nasionalis kanan. Parlemen Uni Eropa lebih condong ke kiri karena dikuasai partai sosialis-demokrat, dan hijau, dan kelompok tengah. Kelompok tengah dan kiri ini bertumpu pada kepemimpinan negara utama seperti Jerman, Prancis, dan Belanda.

Namun, Orban tahu jika dia dan kepentingannya tak selamanya menyusuri jalan kesendirian. Kelompok konservatif, populis, dan nasionalis sayap kanan, punya potensi tersembunyi yang kelak bakal punya kesamaan agenda dengan rezim Hongaria.

Ia menyebut taktik diplomasinya dengan nama “Strategi Tarian Burung Merak”. Terkadang Hongaria bersikap tenang guna memahami situasi atau meluluhkan lawan politik. Namun, di balik ketenangannya, Hongaria kukuh pada keyakinannya dengan pembangkangan. Kebijakan Uni Eropa bilang A, Hongaria akan menerapkan sebaliknya di dalam negeri.

Di bawah Orban, Hongaria menjadi salah satu negara pertama di Eropa yang membangun tembok di perbatasan untuk menghalau imigran. Kebijakan bertentangan dengan gagasan Merkel yang akan membuat Uni Eropa saling berbagi ruang bagi para pencari suaka dari Timur Tengah dan Afrika.

Orban sama sekali tak minder melihat lawan politik yang ia hadapi sekelas Merkel. “Orban suka bermanuver di antara kekuatan besar,” kata jurnalis senior Hongaria, András Pethő, kepada The New Yorker. Alih-alih, Orban makin getol merangkul simpati kelompok konservatif. Misalnya kunjungan belasungkawa saat insiden penembakan Charlie Hebdo. Sepulangnya, Orban menyebar poster bertuliskan ‘Hormati Tradisi Kami’ ke seantero Hongaria.

Meski berperangai bengal, Orban tak pernah ngambek, sampai-sampai punya niat keluar dari Uni Eropa. Orban masih mau untuk beradu argumen secara tatap muka dengan para politisi kawasan. Ia tak pernah absen untuk menghadiri setiap agenda yang tergelar di kantor Parlemen Uni Eropa di Strasbourg, Prancis, meski harus dirajam hujatan sana-sini.

Kelompok konservatif, populis, dan nasionalis kanan-tengah, cenderung menguat menjelang Pemilu Parlemen Eropa 2019. Partai sejenis di Belanda, Italia, dan kawasan Skandinavia meraup suara signifikan, tetapi belum mampu merengkuh puncak kekuasaan. Orban sebagai satu-satunya penguasa konservatif, kemudian menjadi simbol bagi kelompok kanan untuk menancapkan pengaruhnya di Uni Eropa.

Orban perlahan mulai menuai apa yang ia tanam. Misalnya saat agenda parlemen September 2018, Orban dan kelompok kanan membuat gaduh sidang. Saat itu kelompok kiri di Parlemen Eropa tengah membeberkan data pelanggaran kebebasan sipil di Hongaria, termasuk kebijakan imigrasi yang diskriminatif.

Mereka yang mendukung Orban langsung mendebat argumen kelompok progresif. Nigel Farage, politisi konservatif asal Inggris, menganggap data pelanggaran sipil Hongaria adalah tudingan tak berdasar. “Mari bergabung ke klub Brexit. Kamu pasti menyukainya,” ucap Farage kepada Orban yang hanya dibalas senyuman.

Namun, Orban tak membawa Hongaria mengikuti langkah Inggris keluar dari Uni Eropa. Di dalam otaknya, masih tersimpan obsesi untuk memimpin Eropa.

Perangai dan sikap politisi adalah cerminan dari pemilihnya. Partai Fidesz mendapat 52 persen suara di Pemilu 2019. “Kemenangan ini menunjukkan bahwa rakyat Hongaria memberi tugas kepada kami untuk menghentikan imigrasi di seluruh Eropa,” ucap Orban dalam pidato kemenangan. Sorak sorai menggelegar di Budapest. “Kita harus lindungi budaya asli bangsa!” teriak Orban disambut riuh simpatisannya.

Orban-lah yang mengubah kecenderungan rakyat Hongaria yang mengagumi gagasan politik kanan. Namanya mencuat ketika berpidato di hadapan 250 ribu orang di Heroes Square, Budapest, pada tahun 1989. Pidatonya yang menuntut pemilu, pembubaran rezim komunis, dan penarikan tentara Uni Soviet menjadi pondasi karismanya sebagai tokoh nasional.

Pemilu pertama, Partai Fidesz memenangi 22 kursi di parlemen, termasuk satu jatah untuk Orban. Tahun 1998, ia menjadi perdana menteri di usia 35 tahun dan menjadi yang termuda di Eropa. Kekuasaannya hanya berlangsung satu periode usai kalah dari Partai Sosialis pada tahun 2002.

Partai Sosialis tak becus menjalankan amanah. Tumpukan utang begitu mencekik. Hongaria begitu terdampak saat krisis Euro menghujam tahun 2008. Orban memanfaatkan situasi krisis. Ia berusaha menumbuhkan kebanggaan bagi Bangsa Hongaria yang mencatat sejarah kekalahan demi kekalahan. Tahun 2010, narasi nasionalisme membawanya kembali ke kursi perdana menteri.

Periode 10 tahun kekuasaan tanpa guncangan menjadi bukti legitimasi Orban yang berhasil merasuk ke hati sebagian besar rakyat Hongaria. Orban berusaha hadir dalam kehidupan sehari-hari, dan salah satu rutinitas orang Hongaria adalah sepak bola.

Hongaria memang tak ada di persaingan sepak bola dunia di lebih dari 5 dekade. Namun, di medio 1930-50, semua tim akan menunduk hormat di hadapan Hongaria yang dikomandoi Ferenc Puskás. Mereka meraih medali emas Olimpiade 1952, dan menaklukkan Inggris di tanah kelahiran sepak bola, dan masuk final Piala Dunia 1954.

Talenta genius tidak lahir tiba-tiba. Sepak bola telah menjadi identitas dan harga diri Hongaria sejak awal abad 20. Bubarnya ‘The Mighty Magyars’ bukan karena Hongaria kehilangan talenta, melainkan kelakuan rezim komunis yang tak mampu mengurusnya.

Orban mendaku sebagai pecinta sepak bola garis keras. Ia tercatat hobi main sepak bola di kampungnya, Felcsút, dan berkelakar sering menonton pertandingan sepak bola sampai 6 kali setiap hari. Orban Hongaria seharusnya tak menanggalkan kecintaan pada sepak bola.

Selama 20 tahun usai keruntuhan Soviet, baru dua kali klub Hongaria lolos ke kompetisi Eropa. Mereka sama sekali tak mengharapkan timnas yang terus-terusan kalah. Atas nama kecintaan, Orban mengeluarkan anggaran jorjoran untuk membangun kembali kejayaan sepak bola Hongaria.

Untuk menjadikan sepak bola isu yang penting, Orban mendirikan Puskás Akademia di Felcsút, kampung halamannya yang berada di pinggiran Budapest, beserta stadion megah bernama Pancho Arena.

Stadion itulah tempat Orban menghabiskan akhir pekan dan menjadi ruang pertemuan para elite. Cukong-cukong kelas kakap Hongaria rela datang ke Pancho Arena bukan untuk menonton sepak bola, tapi berusaha mencuri perhatian untuk lobi-lobi. Orban meminta para konglomerat untuk mau mendanai sepak bola.

Lewat kebijakan pajak dan pemaksaan terhadap para pelaku bisnis, pemerintah Hongaria berhasil menghimpun dana tidak kurang dari 2 miliar euro untuk merevitalisasi 32 stadion, memperbaiki federasi, dan liga.

Viktor Orban. Foto: Wikimedia Commons.

Namun, investasi jorjoran tak menuai apa pun. Orban memang sempat ikut bungah ketika dua pemain berkebangsaan Hongaria tampil di semifinal Liga Champions. Namun, klub dan timnasnya tak pernah benar-benar masuk hitungan. Orban mengambil jalan singkat untuk membuat Hongaria sejajar dengan negara Eropa lainnya: Menjadi salah satu tuan rumah Euro 2020. Budapest berhasil masuk salah satu tuan rumah dalam format baru penyelenggaraan Piala Eropa yang tidak berpusat di satu negara.

Pemilihan Hongaria sebagai tuan rumah Euro 2020 dikhawatirkan bakal penuh kelakuan rasialis oknum suporter Hongaria. Federasi Sepak Bola mereka pernah mendapat denda dari UEFA pada tahun 2017 usai suporternya kedapatan meneriakkan umpatan homofobia kepada Cristiano Ronaldo.

Sepak bola juga yang menjadi pertunjukan watak orang Hongaria era Orban. Suporter Hongaria tampak belum siap untuk menjadi bagian dari komunitas sepak bola Eropa yang menganut paham kesetaraan ras dan gender. Tirakat berlutut, goresan lipstik di wajah untuk mengecam kekerasan terhadap perempuan, hingga dukungan terhadap kelompok LGBT, sudah jamak hadir di lapangan. Namun, Hongaria belum siap menerima itu.

Tak perlu menunggu Piala Eropa mulai untuk memunculkan kelakuan oknum suporter Hongaria. Saat menjamu Irlandia pada laga persahabatan awal Juni lalu, suporter Hongaria meneriaki pemain Irlandia yang tengah berlutut guna solidaritas melawan rasialisme.

Kelakuan oknum suporter Hongaria itu malah mendapat pembelaan dari Orban. “Jangan memprovokasi tuan rumah jika kamu datang sebagai tamu,” tegas Orban. Ia juga ikut nyinyir kepada orang-orang yang bersolidaritas anti-rasialisme dengan mengatakan bahwa orang Hongaria hanya berlutut di hadapan Tuhan, negara, dan kekasihnya. Federasi Sepak Bola Hongaria juga menegaskan bahwa pemainnya tak akan berlutut di gelaran Piala Eropa 2020.

Ketika Piala Eropa 2020 bergulir, suporter Hongaria melakukan parade. Suporter berkaos hitam ini melakukan long march menuju Puskas Arena sambil membentangkan bendera penolakan terhadap seremoni berlutut, serta ujaran kebencian terhadap LGBT. Di dalam stadion, oknum suporter ini terus melakukan provokasi berbau rasialis. Ronaldo kembali diteraiki “Dasar Cristiano homo!” saat pertandingan Portugal melawan Hongaria, persis seperti tahun 2017 lalu.

Sorot dan kritik tengah menyasar Hongaria, beserta anggapan miring dan rasa khawatir untuk tidak memberi Orban kesempatan menyelenggarakan turnamen olahraga antar-negara. Sejatinya, Orban sadar dengan nyinyiran itu. Namun, ia terus melaju.

Terakhir, Orban mengajukan Budapest bakal menggantikan London sebagai tuan rumah semifinal dan final Euro 2020. Inggris mendadak mengalami kenaikan jumlah kasus COVID-19. UEFA sejauh ini masih tetap menjadikan Stadion Wembley untuk laga pemungkas.

Orban merasa telah berhasil membuat stadion penuh kembali, sekaligus citra aman dari COVID-19 usai berhasil menjadi negara dengan vaksinasi terbaik kedua di Eropa. Melihat angka penularan yang berhasil diredam, Budapest tampaknya relatif aman dari COVID-19. Namun, bagaimana dengan epidemi rasialisme?