Pirlo dan Nyonya yang 100 Persen Sempurna

Foto: Twitter @juventusfc

Sepak bola adalah persoalan menjejak pada realitas, terlebih untuk Juventus yang berlaga di level tertinggi.

Suatu pagi yang cerah pada Juli 2020, Andrea Pirlo berjalan melewati seorang nyonya yang 100 persen sempurna.

Jika Pirlo adalah lakon dalam cerpen 'On Seeing the 100% Perfect Girl on One Beautiful April Morning' karangan Haruki Murakami, kaki dashinya mungkin bakal berubah seperti itu. 

Cerpen itu adalah cerita yang serba-nanggung, seperti di awang-awang, dan begitu terbuka untuk diinterpretasikan.

Menurut tokoh aku dalam cerpen tadi, wajah si perempuan tersebut biasa saja. Pakaian yang dikenakannya juga tidak istimewa. Katanya, "Rambutnya masih menyisakan jejak ranjang seolah tak disisir merata." Dia juga tidak terlalu muda, si aku memperkirakan usianya sekitar 30 tahunan.

Tidak ada yang tahu pasti mengapa aku menganggapnya sebagai perempuan 100 persen sempurna. Bahkan si aku juga tidak tahu jawabannya. Ia juga tak mengingat segala sesuatu tentang perempuan itu dengan mutlak. Tak ada yang betul-betul ia yakini.

Satu-satunya yang ia ketahui dengan mantap adalah perempuan itu bukan dan tidak akan pernah menjadi perempuan tercantik di dunia. Jatuh cinta pada pandangan pertama memang perkara paling absurd yang bisa terjadi pada manusia.

Alur cerita itu berlanjut pada fragmen saat si aku tidak punya keberanian atau memang tidak mau saja menyapa si perempuan yang dilihatnya sepintas itu. Alih-alih menghampirinya, ia malah membuat cerita sendiri. Di dalam kepalanya. Di dalam imajinasinya.

Cerita itu lebih tepat disebut aneh ketimbang indah. Si aku membayangkan ia dan perempuan tersebut tak sengaja berjumpa di ujung jalan. Keduanya tak mencolok, gambaran pas anak muda saat itu.

Mereka kesepian, tetapi percaya sepenuh hati bahwa di dunia ini ada pasangan hidup yang 100% sempurna untuk mereka. Bagi mereka, keberadaan pasangan tersebut adalah mukjizat dan mereka percaya pada mukjizat seperti itu.

Keduanya lantas berbincang dan saling mengusir kesepian masing-masing. Mereka seketika itu juga merasa bahwa mereka memang ditakdirkan untuk bersama.

Yang menjadi masalah utama dalam cerita itu sebenarnya bukan pertanyaan apa mungkin impian seseorang terkabul begitu saja dengan mudahnya. Persoalan terbesarnya adalah hal-hal menyenangkan tersebut tidak terjadi di dunia nyata, tetapi hanya dalam imajinasi si aku.

***

Pirlo bertemu kembali dengan Nyonya Tuanya. Tanpa pengalaman sebagai juru taktik, ia diangkat sebagai pelatih Juventus. Modal Pirlo adalah pengalaman sebagai pemain, kejatuhan dan kebangkitan, penerimaan dan penolakan, nilai 107 pada ujian lisensi kepelatihan, dan kepercayaan bahwa Juventus adalah pribadi yang sempurna untuknya.

Juventus adalah tempat yang membukakan pintu begitu pintu San Siro tertutup untuknya. Barangkali ketika Adriano Galliani menyodorkan pena mewah kepadanya di ruang direksi pada pertengahan 2011, ia menyangka perjalanannya sebagai pesepak bola sudah pungkas.

Datang sebagai pemain bebas transfer bukan berarti menandakan Pirlo tiba di Juventus sebagai pemain murahan. Ia ikut mengantar Juventus meraih tujuh mahkota juara meski tak ada gelar juara Liga Champions yang mereka rengkuh bersama.

Di mana pun ia bermain, pundak Pirlo tangguh untuk memanggul gelar maestro. Para penggemar sepak bola Italia mafhum, Pirlo gemar mempertontonkan permainan yang tak tertebak.

Dia mahir melepaskan diri dari kepungan lawan hanya dengan satu sentuhan. Pirlo bisa mengumpan ke arah berlawanan dari sudut pandangnya dengan akurat. Ia pun andal ketika harus menembak ke arah gawang dari jarak yang menurut orang-orang tidak masuk akal. Perkara itu tidak mustahil buat Pirlo karena sebagai pemain, ia memahami sepak bola sampai ke tahapan mikroskopis.

Pemahaman itu membuat orang-orang yakin bahwa setelah gantung sepatu sebagai pemain, Pirlo akan kembali ke lapangan bola sebagai pelatih. Pirlo pernah berkata bahwa ia emoh menjadi pelatih. Akan tetapi, bukankah kita juga sering begitu? Lain di mulut lain di hati. Pirlo memeram sepak bola dalam kepalanya, lalu membentuk sebuhul pengertian tentang sepak bola yang diinginkannya.

Masalahnya, pantaskah dia langsung memegang kemudi kapal sebesar Juventus? Sebagai mantan pemain, rasanya agak mustahil Pirlo tidak mendambakan melatih Juventus. 

Selain itu, Pirlo juga bukan pemain yang asal menendang. Pirlo pemain cerdas. Cocok benar ia berdiri di pinggir lapangan, mengenakan mantel panjang sambil berseru "Calma calma" kepada para pemainnya.

Pertanyaannya serupa dengan pertanyaan dalam cerpen garapan Murakami tadi: Apa mungkin impian seseorang terkabul begitu saja dengan mudahnya?

Sepak bola Pirlo adalah sepak bola yang bertumpu pada fungsi pemain, bukan posisi. Sebenarnya ide itu tidak kepalang baru di era sepak bola modern, tetapi tetap saja memesona. Dalam tesisnya, Pirlo bicara soal memanipulasi ruang dan waktu.

Semua orang tahu bahwa ukuran lapangan dan durasi permainan sepak bola di mana-mana selalu begitu. Kalaupun ada perpanjangan waktu, ya, tidak mungkin laga digelar sampai keesokan harinya.

Sepak bola bukan olahraga seperti tenis yang satu pertandingannya sah-sah saja digelar selama beberapa hari. Ambil contoh pertemuan antara John Isner dan Nicolas Mahut pada Wimbledon 2010. Laga itu berlangsung selama 11 jam 5 menit yang dibagi dalam tiga hari.

Sepak bola benar-benar dibatasi ruang dan waktu. Itu berarti ide Pirlo untuk memanipulasi ruang dan waktu bicara tentang persoalan abstrak di dalam kepala. Membesar dan mengecilnya ruang, bertambah dan berkurangnya waktu, tergantung pada cara pemain mengeksploitasi keduanya.

Untuk mewujudkan konsep itu Pirlo membutuhkan fleksibilitas dan pergerakan pemain. Ini bicara perkara imajinasi.

Itulah sebabnya meski di atas kertas Aaron Ramsey adalah gelandang tengah yang bergerak di sektor kiri, perannya berubah saat berlaga melawan Sampdoria di laga pertama Pirlo sebagai pelatih. Pirlo meminta Ramsey mengimajinasikan dirinya sebagai pemain nomor 10. Peduli setan apa pun posisinya.

Yang terlihat di laga itu adalah Ramsey bertanding dengan kebebasan yang memenjarakan pergerakan lawan. Ia bisa turun untuk meminta bola, mengeksploitasi ruang antar-lini, dan menempel garis pertahanan lawan ketika para penyerang Juventus turun.

Masalahnya, sepak bola tidak hanya bicara tentang apa yang ada di dalam kepala. Sepak bola adalah persoalan menumpahkan isi kepalamu ke atas lapangan. Penampilan hebat di laga pertama, melawan tim yang dalam hitung-hitungan levelnya ada di bawahmu pula, tidak menjamin bahwa kamu bakal selalu melakoni musim dengan harum semerbak.

Kekacauan mulai terlihat sejak laga kedua. Laga melawan AS Roma berakhir imbang 2-2. Awalnya kebanyakan orang menganggap hasil tersebut sebagai turbulensi biasa. Dalam rangkaian laganya memang ada kemenangan atas Dynamo Kyiv, Spezia, Ferencvaros, dan Cagliari. Namun, Juventus juga menelan hasil imbang melawan Crotone, Verona, Lazio, dan Benevento, serta kekalahan 0-2 dari Barcelona.

Apa boleh bikin, pertanyaan apakah Pirlo benar-benar pantas melatih Juventus mulai beranak-pinak.


Karena lebih percaya role (peran) ketimbang posisi, Pirlo belum atau mungkin tidak akan pernah punya formasi saklek untuk timnya. Skema yang digunakan di setiap pertandingan dari pekan ke pekan hampir selalu berubah.

Di satu sisi, situasi itu menggoda untuk dimaklumi karena Juventus juga tak kalis dari badai cedera: Mulai dari Cristiano Ronaldo yang sempat absen karena COVID-19, Matthijs de Ligt yang masih dalam pemulihan, hingga para pemain yang entah bagaimana belum sinkron dengan taktik Pirlo.

Masalahnya, Juventus adalah tim yang berlaga di pentas tertinggi. Benar bahwa Pirlo belum memiliki pengalaman. Akan tetapi, ia ditunjuk sebagai pelatih untuk membawa Juventus tidak hanya menang atas Sampdoria atau Ferencvaros, tetapi juga Lazio dan Barcelona.

Badai cedera memang jadi persoalan. Namun, seluruh tim yang berlaga di Serie A dan Liga Champions musim ini ada di dalam badai yang sama. Yang membedakan adalah kapal yang mereka gunakan: Ada yang kapal yang siap menghadapi badai, ada kapal yang oleng diserang badai. Lantas, tugas Pirlo adalah memastikan kapal yang dikemudikannya tidak karam diterjang badai.

Pirlo rasanya tidak memiliki masalah untuk merancang atau mengonsep sepak bola yang diinginkan. Persoalan utama adalah bagaimana menerjemahkan ide tersebut dalam pertandingan. Ambil contoh pada laga melawan Barcelona. Pemain-pemain Juventus memang ada dalam posisinya, tetapi mereka seperti bermain tanpa pola permainan.

Tidak ada penggawa yang benar-benar berlaga sebagai playmaker. Bek kanan Juventus, Juan Cuadrado, tidak memotori serangan ke Alvaro Morata secara konsisten. Begitu pula dengan Dejan Kulusevki. Terkadang dribelnya terlihat menjanjikan untuk membuka serangan, terkadang, ya, begitu-begitu saja.

Di laga itu Barcelona dan Juventus pada dasarnya sama-sama bertarung dengan menggunakan formasi 4-2-3-1 dan mendorong bek sayap ke depan untuk membentuk skema lima penyerang. Idenya sama, eksekusinya berbeda. Barcelona merespons Cuadrado yang terus-menerus maju dengan mengutus Jordi Alba melakukan hal yang sama ke arah berlawanan sehingga menimbulkan duel individu.

Sayap kiri Juventus, Federico Chiesa, bermain melebar dan mengharapkan umpan silang demi menjawab situasi tersebut. Sayangnya, permainan gelandang tengah Juventus, Rodrigo Bentancur, tidak terhubung dengan Chiesa.

Akibatnya bukan hanya Chiesa terisolasi dari permainan Juventus. Para pemain Juventus juga seperti sibuk dengan posisinya masing-masing, tetapi tidak sanggup membentuk pola permainan yang utuh. Bukankah ini berlawanan dengan ide dasar Pirlo?

Barcelona sebenarnya juga menerapkan ide yang sama dengan Juventus. Pembedanya adalah keterhubungan antara pemain. Barcelona memiliki Lionel Messi yang dapat melepas umpan silang kepada Ousmane Dembele. Umpan tersebut tidak sia-sia karena berhasil dikonversi Dembele menjadi gol pada menit 14.

Mengutip Corriere della Sera, ringkihnya permainan Juventus bukan cuma efek cedera dan absennya para pemain pilar. Katanya, para pemain bingung dengan taktik dan konsep yang dibawa Pirlo.

Komunikasi disebut-sebut sebagai persoalan utama. Pirlo tidak memimpin secara terbuka, dalam artian, ia tidak mengajak timnya berbicara mengenai taktik. Kalau ini benar-benar terjadi, Pirlo bisa kena getahnya sendiri. Mengungkit-ungkit predikat berikut memang menyebalkan, tetapi mau bagaimana lagi, Pirlo memang pelatih baru.

Situasi Juventus jauh membaik di laga melawan Kyiv. Mereka menang 3-0. Chiesa yang embuh-embuhan saat bertanding melawan Barcelona bahkan tampil memukau lewat masing-masing satu gol dan assist.

Namun, pertanyaan untuk Pirlo belum terjawab semuanya. Suara yang menganggap permainan Juventus membaik karena Ronaldo sudah bisa manggung kembali berseliweran di mana-mana. Entah berapa banyak yang mempertanyakan permainan Juventus membaik karena bertumpu pada taktik Pirlo atau performa individu satu dua orang pemain saja.

Pirlo memiliki tugas untuk membuktikan bahwa jawaban pertanyaan itu adalah yang pertama. Kalau tidak, ia akan seperti tokoh aku dalam cerpen Murakami tadi. Punya cerita (dalam kasus Pirlo dibaca sebagai ide) brilian, eksentrik, dan indah, tetapi hanya bercokol di dalam kepala dan imajinasi.

Jika itu yang terjadi, Juventus hanya akan menjadi tim yang memiliki mimpi, bukan visi. Pemahaman Pirlo akan Juventus hanya bakal menjadi perjumpaan tokoh aku dan si perempuan yang 100% sempurna dalam tulisan Murakami: Dangkal dan sepintas lalu.

Permainan tanpa pola yang jelas membuat ide Pirlo yang memesona jadi terasa mengada-ada. Utopis mungkin merupakan istilah yang tepat. Hidup dalam utopia memang menyenangkan. Namun, sepak bola adalah persoalan menjejak pada realitas, terlebih untuk Juventus yang berlaga di level tertinggi. 

Juventus tetap bisa menjadi nyonya yang 100 persen sempurna meski Pirlo tak 'menginjak tanah'. Namun, kesempurnaan tersebut hanya akan tinggal dalam khayalannya. 

Ngomong-ngomong, 'On Seeing the 100% Perfect Girl on One Beautiful April Morning' berakhir nelangsa. Bahkan dalam imajinasinya, si aku dan perempuan tadi tidak dapat bersama.