Plus-Minus Juventus

Ilustrasi: Arif Utama.

Kemenangan atas Fiorentina menjadi oase dari tandusnya ladang poin mereka musim ini. Apa betul Juventus sudah bangkit?

“Kami berada dalam situasi yang buruk, kami harus menerima kenyataan bahwa sekarang kami adalah tim papan tengah.”

Massimiliano Allegri mengatakannya kepada DAZN sepekan lalu. Juventus-nya lagi-lagi keok, dan kali ini giliran Hellas Verona penjagalnya. Pengakuan Allegri memang rada menyedihkan. Tak terbayang betapa daifnya raja Serie A itu sekarang. Sudah 4 kali Juventus takluk hingga pekan ke-12. Jumlah ini setara dengan total kekalahan mereka saat menyabet Scudetto pada musim 2018/19.

Untungnya Juventus buru-buru bangun. Kemenangan atas Fiorentina pada pertandingan terakhir menjadi oase dari tandusnya ladang mereka musim ini. Itulah tiga poin pertama dari 15 hari tanpa kemenangan di Serie A. Pertanyaannya, apa betul Juventus sudah bangkit?

Well, soal kemenangan atas Fiorentina, sebenarnya Juventus tidak meraihnya dengan mulus. Mereka diuntungkan karena La Viola harus bermain dengan 10 pemain pada 27 menit terakhir. Lesakan penentu Juventus pun baru lahir pada menit ke-90+1 lewat aksi Juan Cuadrado. 

Mereka melepaskan 13 tembakan dengan xG 0,98. Tak buruk, sih. Akan tetapi, jika melihat xG dari lesakan Cuadrado yang hanya 0,06, bisa diketahui betapa kecilnya angka harapan gol dari peluang yang mereka ciptakan--menunjukkan bahwa kualitas peluang mereka tak begitu bagus.

Kalau bukan kualitas peluang yang buruk, ya, penyelesaian akhir yang medioker. Ini terlihat dari catatan lain: Juventus baru mengumpulkan 16 gol atau terendah kedelapan di liga. Sementara, Understat mencatat xG Juventus ada di angka 20. Artinya, mereka defisit 4 gol dari ekspektasi yang seharusnya. Tak ada tim Serie A yang lebih buruk dari itu.

Alvaro Morata salah satu yang paling bertanggung jawab. Baru sepasang gol yang ia buat dari nilai harapan golnya yang mencapai 3. Dejan Kulusevski juga sama. Jumlah golnya defisit 1,5 dari ekspektasi. Itulah mengapa Allegri jarang memasangnya sebagai starter.

Beruntung Juventus punya Federico Chiesa yang bisa mengakomodir pakem 4-4-2 milik Allegri. Ia piawai mengemban tugas menyisir lapangan. Termasuk menopang Adrien Rabiot di tepi kiri. Saat melawan Fiorentina lalu, Chiesa melakukan empat sentuhan di sisi kanan sepertiga area lawan. Dua tembakannya juga berasal dari sana.

Namun, Allegri tak bisa selamanya bergantung dengan determinasi Chiesa. Lagipula muluk-muluk untuk berharap ia bisa semoncer di Timnas Italia. Di sana Chiesa terbantu dengan penyuplai ulung seperti Jorginho dan Marco Verratti.

Sementara apa yang dimiliki Juventus tidak demikian. Weston McKennie dan Manuel Locatelli bukanlah gelandang pendikte. Rodrigo Bentancur dan Arthur yang paling ideal sebenarnya. Akan tetapi, keduanya belum mendapatkan kepercayaan penuh dari Allegri. Lebih-lebih lagi Arthur yang gagal menunjukkan kualitasnya sejak musim lalu.

Minimnya kreativitas lini tengah memaksa Paulo Dybala turun lebih dalam dan aktif melepaskan umpan. Bila dirata-rata, ia mencatatkan 36 per laga. Jumlah itu masih lebih banyak dari Bentancur (26,9) dan McKennie (24,6). Ini tentu memengaruhi agresivitas Dybala di garda terdepan. Makin sulit lagi karena Morata juga tak tajam-tajam amat.

Di satu sisi, Allegri paham timnya tak cukup kapabel untuk menguasai permainan lewat umpan-umpan pendek. Hanya 50,9% rata-rata persentase penguasaan bola Juventus (peringkat ke-10 di Serie A).

Sebagai gantinya, ia memaksimalkan serangan cepat sebagai senjata. Toh, Allegri punya Chiesa dan Cuadrado yang mahir soal transisi. Gol Chiesa ke gawang Chelsea, dan lesakan Kean saat melawan Roma, plus aksi Cuadrado ke gawang Fiorentina menjadi buktinya. Well, sudah semestinya Allegri paham mengapa ia masih setia dengan pakem 4-4-2 dan bukan 4-3-3 atau 4-2-3-1 sebagaimana idealnya dengan susunan pemain Juventus sekarang.


Sebagus-bagusnya lini depan Juventus, bakalan mubazir juga kalau pertahanan mereka keropos. Ini bukan penyakit baru. Mereka sudah mengalaminya sejak beberapa tahun ke belakang.

Sebagai gambaran, expected goals against (angka kemungkinan kebobolan) Juventus di musim 2019/20 menyentuh 1,2 per laga. Jumlah itu mengalami eskalasi dibanding dua periode sebelumnya yang hanya 0,8. Sebelas dua belas dengan musim ini. Nilai kemungkinan bobol Juventus menyentuh 14,41 atau 1,2 bila dirata-rata per laga.

Rapuhnya pertahanan menjadi petaka bagi Juventus. Sampelnya, ya laga versus Udinese di giornata pertama. Kemenangan mereka raib setelah Le Zebrette mengejar 2 gol di babak kedua. Sementara kekalahan dari Sassuolo ditentukan dari gol menit akhir. Garis pertahanan Juventus yang terlalu tinggi sukses dimanfaatkan oleh Maxime Lopez. Aplaus buat Domenico Berardi yang jeli melihat ruang yang hanya dijaga McKennie. 

Aib pertahanan Juventus juga terlihat saat melawan Spezia. Skemanya mirip dengan gol Lopez: Via long ball. Diawali dari umpan jauh Giulio Maggiore kepada Janis Antiste. Di sana striker 19 tahun itu hanya berhadapan dengan Leonardo Bonucci dan De Ligt yang sudah telat langkah. Antiste malah punya alternatif untuk memberikan umpan kepada Daniele Verde yang berdiri bebas di tengah.

Foto: Juventus vs Sassuolo

Ini bukan semata salah Bonucci ataupun Giorgio Chiellini sebagai bek sentral. Ketiadaan gelandang bertahan mumpuni penyebabnya. Setidaknya seorang regista yang mampu menempatkan diri di depan bek tengah dan mendikte permainan dari belakang semacam Andrea Pirlo atau Miralem Pjanic.

Celakanya lagi, Juventus tak hanya kerepotan mengantisipasi skema direct, tetapi juga bola mati. Sudah empat kali mereka kebobolan dari set-piece. Hanya Cagliari, Genoa, dan Verona yang mencatatkan lebih banyak.

[Baca Juga: Ilusi Max Allegri]

Barangkali terlalu dini untuk menilai progres Juventus-nya Allegri saat ini. Kemenangan atas Fiorentina belum cukup untuk membuktikan bahwa mereka sudah bangkit dari keterpurukan. Banyak PR yang harus Allegri selesaikan. Dan bila Juventus mampu mengalahkan Lazio pada giornata selanjutnya, kita bisa kembali berbicara soal ini.