Porto dan Kenangan Liga Champions 2003/04

Foto: twitter @fcporto.

Mari mengingat kembali momen FC Porto menjuarai Liga Champions 2003/04. Apa-apa saja yang Jose Mourinho dan timnya lakukan pada musim itu?

Pada akhir 1996, Benfica mengirim salah satu pencari bakatnya, Toni, ke Brasil untuk memantau kompetisi untuk anak berusia 20 tahun terbesar yang digelar di Sao Paulo, Copa Sao Paulo de Futebol Junior.

Toni memilih untuk tidak berekspektasi lebih saat menjalankan tugas tersebut. Ia akan bersyukur apabila mendapatkan pemain muda dan bagus, tapi juga tidak akan kecewa apabila pulang dengan tangan hampa.

Setelah menyaksikan beberapa pertandingan, Toni terkesan dengan penampilan salah satu pemuda bernama Anderson Luis de Souza alias Deco. Usianya 19 tahun. Toni merasa anak tersebut punya potensi untuk bermain di Eropa.

Rekomendasi Toni membuat Benfica setuju mendaratkan Deco ke Portugal. Corinthians, sebagai pemilik Deco yang resmi, langsung menyetujui tawaran yang diberikan oleh Benfica mengingat harga yang ditawarkan menggiurkan.

Masalah terjadi pada awal kedatangan Deco di Portugal. Saat itu, Benfica amat sering melakukan pergantian pelatih. Bersamaan dengan kedatangannya, Benfica baru saja mengangkat Graeme Souness sebagai pelatih baru.

Deco hanya dilibatkan dalam latihan dan penampilannya saat itu tidak membuat Souness terkesan. Tepat satu bulan setelah tiba di Benfica, Deco dipinjamkan ke salah satu tim satelit mereka, Alverca.

Penampilan Deco di Alverca terbilang cukup menawan. Ia bahkan mampu mencetak 12 gol dan membawa Alverca promosi ke Primeira Liga. Namun, itu belum cukup untuk meyakinkan Souness. Pada musim panas 2008, ia dibuang oleh Souness ke klub Primeira Liga lain, Salgueiros.

Sebelum kepindahan ke Salgueiros, Toni telah mewanti-wanti Souness untuk tidak melepas Deco. Ditambah dukungan dari fan Benfica, Souness bergeming dan tetap keukeuh pada keputusan awalnya.

Meski lebih banyak absen karena berkutat dengan cedera, bakat Deco tercium juga. Salah satunya oleh pelatih FC Porto, Fernando Santos. Santos tak banyak membuang waktu. Pada musim panas 1999/00, ia resmi memboyong Deco ke Porto.

***

Lahir di lingkungan pendukung FC Porto, Jorge Costa dididik untuk mencintai klub tersebut sejak dini. Lewat kakeknya, ia belajar untuk terus menjadi pendukung sejati. Lewat ayahnya, ia tahu bahwa suporter ada untuk terus memberikan motivasi.

FC Porto menjadi klub profesional pertama Costa. Setelah melewati dua masa peminjaman, ia akhirnya berhasil menembus tim utama Porto pada musim 1992/93. Sejak saat itu, ia menjadi bek tengah utama Porto.

Costa membantu Porto mendapatkan lima gelar Primeira Liga secara beruntun dari 1994/95 hingga 1998/99. Kerikil mulai terjadi pada musim 2000/01 ketika ia hanya membawa satu gelar ke Estadio do Dragao.

Kegagalan tersebut membuat pelatih Fernando Santos dipecat. Kepergian Santos disesalkan oleh Costa, lantaran keduanya memiliki hubungan yang amat akrab. Costa bahkan dipercaya menjadi kapten tim oleh Santos meski usianya terbilang muda.

Sebagai pengganti Santos, ditunjuklah Octavio Machado. Machado bukan sosok asing bagi Porto. Ia pernah bermain selama lima musim di klub tersebut dan bahkan pernah menjadi idola masa kecil Costa.

Pada kenyataannya, hubungan Machado dan Costa justru tak baik. Keduanya kerap bersitegang karena perbedaan visi permainan. Costa bahkan tak segan menunjukkan ketidaksukaannya kepada Machado di muka umum.

Pada awal musim 2001/02, Machado menyingkirkan Costa dengan meminjamkannya ke Charlton Athletic. Kebijakan ini ditentang oleh suporter Porto dan mereka balik menyerang Machado karena ketidakmampuannya mengatur pemain dan taktik.

Karier kepelatihan Machado di Porto hanya berlangsung tujuh bulan. Januari 2002, ia digantikan oleh pelatih muda bernama Jose Mourinho. Pada awal kedatangannya, Mourinho memutuskan satu hal besar: Menjemput Costa pulang dari Charlton.

***

FC Porto mengeluarkan 3 juta euro untuk mendatangkan Dmitri Alenichev dari AS Roma. Angka tersebut sempat menjadikannya sebagai pemain termahal kedua yang pernah didatangkan oleh Porto.

Alenichev menghabiskan awal kariernya di banyak klub Rusia. Sejak kecil, ia rutin menyaksikan Spartak Moskva dan sejak itu ia menahbiskan diri sebagai pendukung klub yang didirikan oleh serikat pekerja perusahaan negara tersebut.

Namun demikian, ia gagal menembus tim junior Spartak dan terpaksa berlabuh ke klub kecil demi menimba ilmu sepak bola. Potensi Alenichev dicium oleh rival Spartak, Lokomotiv Moskva dan menawarinya kesempatan bergabung.

Di Lokomotiv, Alenichev memulai debut profesional. Seiring dengan usia yang kian matang dan penampilan yang memikat, Spartak mulai tertarik. Pada musim panas 1998, Alenichev resmi hijrah ke Spartak.

Dari dua pelatih, Fernando Santos dan Octavio Machado, peran Alenichev tak lebih dari sekadar penghangat bangku cadangan. Minimnya kesempatan bermain sempat membuatnya berkeinginan untuk hijrah ke klub lain.

Keinginan tersebut mendadak hilang saat Porto mengumumkan Jose Mourinho sebagai pelatih baru pada pertengahan musim 2001/02. Meski tidak pernah bekerja sama sebelumnya, Alenichev yakin dengan prospek yang dibawa oleh Mourinho.

Oleh Mourinho, Alenichev hampir selalu dipilih untuk menjadi yang pertama dimasukkan sebagai pemain pengganti. Saat itu, Mourinho cukup sering mengubah pola dari 4-3-3 menjadi 4-4-2. Alenichev, yang mampu bermain di banyak posisi di lini tengah, kembali bergairah.

***

Deco, Jorge Costa, dan Dmitri Alenichev sepakat bahwa Jose Mourinho berbeda dengan banyak pelatih yang mereka kenal.

Pada awal kedatangannya, Mourinho menerapkan metode latihan yang mengharuskan pemain melahap sesi taktik, fisik, dan transisi secara bersamaan. Menurut Jonathan Wilson, latihan itu dimaksudkan agar pemain siap secara fisik dan mental.

Di atas lapangan, Porto menggunakan pressing hingga sepertiga akhir pertahanan lawan sebagai pendekatan. Cara tersebut diikuti oleh jarang antarlini yang rapat dan kecepatan untuk merebut bola dari lawan.

Gaya tersebut membuat banyak lawan kalang kabut. Hasilnya, Porto berhasil menutup musim 2002/03 dengan tiga gelar juara, Primeira Liga, Taca de Portugal, dan Piala UEFA.

Gelar juara Primeira Liga 2002/03 membuat FC Porto memulai Liga Champions 2003/04 dari fase grup. Mereka tergabung di Grup F bersama juara La Liga, Real Madrid, dan peringkat tiga Ligue 1, Olympique Marseille. Satu tim lain di grup ini adalah FK Partizan dari Serbia.

Porto memulai pertandingan pertama di fase grup dengan satu poin setelah bermain imbang 1-1 dengan Partizan. Hasil ini membuat mereka harus memenangi pertandingan kedua. Masalahnya, pada pertandingan kedua, mereka menjamu Madrid.

Laga pun dimulai. Sempat unggul cepat melalui Costinha pada menit ketujuh, Porto harus pulang dengan tangan hampa setelah dibalas tiga gol lewat Ivan Helguera (28’), Santiago Solari (37’), dan Zinedine Zidane (67’).

Satu poin dari dua pertandingan sempat membuat mental pemain Porto lemas dan tak lagi percaya diri. “Dua hasil buruk membuat kami tidak percaya diri. Kami gagal memulai kompetisi ini dengan hasil baik,” kata Jorge Costa, yang menjadi kapten tim saat itu.

Pernyataan Costa soal mental Porto yang lemah ternyata menjadi titik balik. Pada tiga pertandingan berikutnya, mereka berhasil menutup seluruh pertandingan dengan kemenangan. Tambahan sembilan poin membuat mereka lolos ke fase 16 besar.

Porto maju ke fase 16 besar dengan status runner up grup di bawah Madrid. Pada fase ini, mereka akan bertemu Manchester United yang lolos dengan label juara Grup E dan memetik lima kemenangan di fase grup.

Pertandingan pertama kedua kesebelasan dilakukan di Estadio do Dragao. Baru 14 menit laga berjalan, United unggul melalui gol Quinton Fortune. United nyaris menggandakan keunggulan setelah Ruud van Nistelrooy berdiri bebas di kotak penalti. Peluang tersebut gagal menjadi gol setelah sundulan van Nistelrooy tak mengarah ke gawang.

Setelah beberapa peluang gagal, Porto akhirnya menyamakan kedudukan melalui gol Benni McCarthy. Jose Mourinho menjadi satu-satunya orang yang tak bersorak atas terjadinya gol ini.

Dalam beberapa rekaman tampak bagaimana ia bersandar di bench dengan tatapan dingin.

Pada babak kedua, Porto terus menggempur United. Beberapa peluang bahkan didapatkan oleh Maniche dan Carlos Alberto meski belum menjebol gawang United. Pada menit ke-78, lewat sebuah umpan jauh, McCarthy menambah keunggulan Porto melalui sundulan. Skor 2-1 menjadi penutup pertandingan.

Pertandingan kedua menjadi percobaan untuk Porto. Porto tidak hanya dituntut untuk mengamankan kemenangan, tapi juga tenang meladeni permainan keras United. Kondisi tersebut membuat Porto canggung hingga akhirnya Paul Scholes membawa United unggul 1-0.

Tertinggal satu gol pada babak pertama ternyata tidak membuat semangat Porto runtuh. Tensi tinggi ganti mereka tunjukkan. Menjelang laga berakhir, Porto mendapatkan tendangan bebas di daerah permainan United.

Tendangan bebas diambil oleh McCarthy. Tembakan McCarthy yang tidak terlalu kencang justru gagal ditangkap oleh kiper United, Tim Howard. Bola liar kemudian disambar oleh Costinha yang berdiri bebas tanpa pengawalan.

“Saat pertandingan selesai, saya langsung terbayang wajah suporter yang mendatangi kami. Saya lupa rasa dan bagaimana beratnya pertandingan tersebut saat kami berpesta bersama,” kata Costinha.

“Hasil yang kami dapatkan di Old Trafford membuat kami yakin bisa melaju sejauh mungkin,” imbuh Costinha.

Pada perempat final, Porto bertemu Olympique Lyon. Meski berstatus juara Prancis, Lyon tidak cukup kompeten untuk mengalahkan Porto. Skor 4-2 untuk Porto menjadi agregat pertemuan kedua klub.

Porto bertemu Deportivo La Coruna pada semifinal. Meski sama-sama berstatus kuda hitam, Deportivo jauh lebih difavoritkan untuk lolos ke partai puncak, mengingat keberhasilan mereka mengalahkan Juventus dan AC Milan pada babak sebelumnya.

Di Estadio do Dragao, kedua tim hanya mampu bermain imbang 0-0. Skor ini cukup disesalkan oleh Porto mengingat mereka terus menekan Super Depor. Pertemuan kedua dijadwalkan bakal digelar di Estadio Riazor, dua pekan berikutnya.

Deportivo memulai pertemuan kedua dengan lebih banyak menekan. Namun, tak ada peluang yang berhasil dikonversi menjadi gol oleh penyerang tunggal mereka, Walter Pandiani. Skor 0-0 menutup babak pertama.

Memasuki babak kedua, giliran Porto yang bermain lebih menyerang. Pilihan tersebut berbuah manis saat Deco dilanggar oleh Cesar Martin di dalam kotak penalti. Derlei sebagai eksekutor tidak menyia-nyiakan peluang tersebut dan memanfaatkannya menjadi gol.

Skor 0-1 bertahan hingga peluit akhir dan membuat Porto lolos ke partai puncak. Di final, mereka menghadapi AS Monaco, yang lolos pada keesokan harinya setelah mengalahkan Chelsea dengan kemenangan agregat 5-3.

“Sekarang, tidak ada pilihan bagi kami selain memenangi pertandingan. Seluruh daya dan tenaga harus kami curahkan demi menjadi juara,” kata Deco dalam sebuah sesi wawancara sebelum laga.

Selain komentar tersebut, satu hal yang diingat oleh Deco dari final Liga Champions 2003/04 adalah bagaimana Mourinho tak sedikit pun berbicara taktik di ruang ganti. “Mourinho terus meminta kami bertarung semaksimal mungkin,” terang Deco.

Pertarungan yang dimaksud Deco dibuktikan di atas lapangan. Dari susunan pemain, tiga gelandang tengah yang diturunkan oleh bertipikal petarung, Maniche, Costinha, dan Pedro Mendes. Di depan, Mourinho menurunkan duet Derlei dan Alberto yang sama-sama punya kemampuan menjelajah.

Porto langsung tancap gas saat peluit tanda dimulainya pertandingan ditiup. Mereka bermain dengan tensi tinggi dan membuat permainan Monaco tidak berkembang. Laga baru berjalan 23 menit saat kunci permainan Monaco, Ludovic Giuly, mengakhiri pertandingan karena cedera.

Tanpa Giuly, Porto kian dominan. Pada menit ke-39, Alberto membawa Porto unggul setelah sepakannya ke ujung gawang Monaco tidak mampu dihalau oleh Flavio Roma. Gol ini menjadi satu-satunya gol di babak pertama.

Memasuki babak kedua, Monaco mulai mengerahkan seluruh tenaga untuk menekan Porto. Keputusan ini menjadi blunder saat serangan balik Porto pada menit ke-71 diselesaikan Deco lewat sebuah gol.

Empat menit kemudian, lewat proses yang tak jauh berbeda, Alenichev menambah keunggulan Porto. Skor 3-0 untuk kemenangan Porto menjadi penutup pertandingan ini. Gelar ini pun menjadi gelar kedua Porto di Liga Champions, setelah terakhir kali merengkuhnya pada 1986/87.