Pusing Bersama Liverpool

Foto: @LFC

Liverpool punya banyak sekali masalah musim ini yang membuat mereka menjadi begitu buruk, begitu payah.

Saya menenggak cukup banyak alkohol pekan ini, tapi rasa pusing yang saya dapatkan tak pernah sekuat saat saya menonton Liverpool.

Dua pekan beruntun saya menonton Liverpool kalah, dua pekan beruntun pula saya merasa pusing bukan kepalang. Pusing karena tim ini tiba-tiba terlihat medioker sekali, terlihat seperti tim yang linglung. Tak ada kejelasan di sana, tak ada kekukuhan saat bertahan, tak ada keganasan saat menyerang. Saya mual menontonnya.

Saya memang pernah menyaksikan Liverpool yang lebih jelek dari ini, tapi mengingat tim ini terus berada di jalur yang benar sejak 2017, apa yang mereka pertontonkan di musim ini––terutama di dua pekan terakhir––benar-benar membuat saya heran. Saking herannya, saya bertanya-tanya “apa lagi yang salah?”. Saya sudah punya beberapa catatan soal apa kekurangan tim, tetapi rasanya catatan itu bisa bertambah terus tiap pekannya.

Dan daripada saya hanya menyimpan catatan itu sendiri, yang mana hanya akan membuat kepala saya makin pusing tiap kali membacanya, lebih baik saya tuliskan saja di sini. Setidaknya bukan hanya saya saja yang pusing, tapi juga pendukung-pendukung Liverpool lainnya di luar sana.

Begini. Secara taktik, Liverpool-nya Jürgen Klopp bertumpu pada 3 hal: pressing, transisi yang cepat, dan kemampuan pemain dalam menemukan serta mengokupasi ruang kosong. Di musim ini, tak ada satu pun dari tiga aspek itu yang bisa berjalan baik. Semua menurun jika kita bandingkan dengan musim lalu. Liverpool menukik.

Bukan Mesin Pressing Lagi

Musim lalu, Liverpool adalah tim dengan angka PPDA (passes allowed per defensive action) paling rendah. Angka PPDA yang rendah menunjukkan intensnya pressing Liverpool. Untuk menyederhanakannya, PPDA adalah metrik yang bisa mengukur intensitas pressing sebuah tim. Statistik ini mengukur seberapa banyak umpan yang dilepaskan lawan sebelum sebuah tim melakukan aksi defensif untuk merebut bola. Makin kecil angka PPDA, makin intens pressing yang dilakukan.

Dalam kasus Liverpool, PPDA mereka musim lalu ada di angka 9,9. Tak ada tim Premier League yang lebih intens dari mereka dalam menekan lawan. Namun, musim ini, catatan Liverpool jauh menurun. Angka PPDA mereka ada di angka 11,5. Ini artinya lawan-lawan Liverpool bisa melepaskan 11,5 umpan sebelum akhirnya bola direbut berkat tekanan atau aksi defensif.

The Reds musim ini lebih “melonggarkan” diri dan hasilnya yang mereka dapat amat buruk. Dengan mengendurkan pressing, Liverpool membiarkan lawan-lawannya lebih leluasa untuk menyerang. Hasilnya, dari 12 pertandingan yang sudah mereka jalani sejauh ini, Virgil van Dijk cs. sudah kebobolan 15 gol dari xGA (expected goal against) 17,1. Padahal, dalam bermusim-musim terakhir, Liverpool terkenal dengan pertahanannya yang apik.

Sebagai perbandingan, musim lalu Liverpool hanya kebobolan 26 gol sepanjang musim dari xGA 37,3. Jumlah kebobolan jika dikurangi dengan angka harapan kebobolan itu sendiri nilainya lebih dari +10. Sementara musim ini cuma +2. Tak cuma itu, musim ini gawang Alisson menerima tembakan tepat sasaran sebanyak 4,17 per 90 menit. Musim lalu? Cuma 2,82.

Menurunnya intensitas pressing memang membuat Liverpool acap bertahan dalam mode mid-block. Dalam situasi ini, lini pertahanan akan menjadi narrow atau condong ke sisi tertentu, tempat awal serangan lawan berasal. Liverpool lebih nyaman jika tidak diserang lewat tengah dan ingin mengunci lawannya di sisi tepi lewat keunggulan jumlah (overload). Namun, mereka akan celaka jika lawan bisa melakukan dua hal.

Pertama, jika lawan mampu melakukan switch (memindahkan bola dari satu sisi ke sisi yang lain) dengan cepat. Kedua, jika lawan mampu memenangi duel di sisi tepi untuk kemudian melepaskan umpan silang ke tengah. Kasus pertama bisa dilihat dari gol pertama Arsenal saat keduanya bertemu musim ini, kasus kedua bisa dilihat dari banyak gol yang masuk ke gawang Alisson.

Klopp harus memastikan timnya kembali menekan secara unit. Intenskan pressing, rapatkan jarak antarlini. Memang ini akan berisiko dalam hal transisi (yang juga akan dibahas nanti), tapi cara ini adalah cara terbaik yang bisa mereka lakukan. Setidaknya Liverpool bisa meminimalkan kemungkinan gerombolan pemain lawan memasuki sepertiga akhir pertahanan mereka.

Memang perlu adaptasi untuk melakukan ini, terutama dengan pola 4-4-2 dan ketiadaan Sadio Mane. Formasi 4-4-2 yang bisa menjadi 4-2-4 saat melakukan pressing, butuh kecermatan lebih karena bergantung pada ketepatan momen. Jika saja pressing yang dilakukan dalam mode ini terlewat, dua pivot akan terekspos.

Sementara ketiadaan Mane, yang biasanya cerdik dalam melakukan momen pressing, bisa ditambal dengan terus menerus mengajarkan Darwin Nunez perihal bagaimana melakukan pressing dengan benar dan ini bukan hanya soal cara atau metode, tapi juga soal momentum. Sebab, momentum itulah yang jadi kunci buat Liverpool untuk menghukum lawan-lawannya.

Transisi Makin Buruk

Ini dua sisi koin. Bertahan dan menyerang. Kita bahas yang pertama dulu, karena ini sudah jadi masalah menahun Liverpool. Dengan tingginya garis pertahanan dan intensnya pemain bergerak ke depan buat melancarkan pressing, Liverpool akan rentan jika lawan berhasil merebut bola untuk kemudian melancarkan serangan via transisi. Banyak gol lawan berasal dari situasi ini.

Biasanya, untuk mengantisipasi hal tersebut, ada dua hal yang Liverpool lakukan. Pertama dengan menerapkan offside trap. Liverpool jagonya soal ini. Namun, itu musim lalu. Musim ini lain cerita. Jika musim lalu mereka bisa menjebak lawannya ke posisi offside sebanyak 3,79 kali per 90 menit, musim ini catatan mereka menurun ke angka 1,58. Lebih dari setengahnya.

Kedua dengan mengandalkan gelandang-gelandang mereka. Jordan Henderson, Fabinho, dan Thiago akan diinstruksikan untuk menutup ruang dan memutus aliran bola lawan. Namun, kita tahu, ketiganya tak melulu bisa tampil bersama musim ini. Satu atau dua orang bisa saja cedera dan absen. Pun, soal penurunan di catatan statistik. Dalam hal recovery (keberhasilan merebut penguasaan bola dari lawan), misalnya, catatan Fabinho dan Henderson menurun.

Ketika offside trap sudah tak bisa lagi menjadi senjata karena menurunnya intensitas pressing dan makin mundurnya garis pertahanan, serta tiga gelandang yang tak selalu bisa diandalkan untuk jadi perebut bola, transisi bertahan akan jadi musuh utama Liverpool musim ini. Tak heran kalau sejauh ini Liverpool sudah kebobolan tiga gol via serangan balik, jumlah terbanyak ketiga di Premier League.

Klopp sebenarnya sudah coba mengantisipasi itu semua dengan mengubah ke pola 4-4-2 yang akan membuat Liverpool punya dua pivot, alih-alih satu (Fabinho, dalam pola 4-3-3). Dengan adanya dua orang yang stay di tengah, situasi akan lebih terkendali ketika mendapat serangan balik. Namun, realitas tidak semudah yang diperkirakan. Sektor tengah memang berhasil ditutup, tapi sisi sayap jadi rentan dieksploitasi jika full-back tak berhasil mendapat bantuan.

Untuk urusan transisi menyerang, Liverpool juga mengalami penurunan. Kita bisa melihatnya lewat statistik high turnover atau proses sebuah tim memulai serangan pada jarak <40 meter dari gawang lawan setelah berhasil merebut bola. Musim ini, angka high turnover Liverpool ada di angka 111, tapi yang berujung dengan tembakan hanya 16. Persentasenya 14%.

Padahal, musim lalu, Liverpool berhasil melepas 71 tembakan dari 443 proses high turnover. Persentasenya 16%. Bahkan dari 71 tembakan itu, tujuh di antaranya berhasil menghasilkan gol. Ini, sekali lagi, memang dipengaruhi oleh intensitas pressing yang menurun. Namun, bukan hanya itu saja. Artinya eksekusi serangan balik atau transisi menyerang Liverpool juga memburuk.

Ada beberapa hal yang bisa dicatat setelah melihat transisi menyerang Liverpool musim ini. Pertama adalah keburu-buruan dalam melepaskan bola ke depan, kedua pengambilan keputusan yang buruk, terutama dari para pemain muda seperti Harvey Elliott, Fabio Carvalho, sampai Darwin Nunez, dan terakhir ada pada penyelesaian akhir yang tak akurat.

Penurunan Individu

Mudah melihat aspek terakhir ini. Pilar-pilar penting Liverpool seperti Mohamed Salah, Van Dijk, sampai Trent Alexander-Arnold tidak berada dalam performa terbaik di 12 laga awal Premier League musim ini. Pun sebenarnya dengan beberapa pelapis yang juga belum bisa konsisten menunjukkan performa terbaik ketika dipercaya tampil untuk menggantikan pilar-pilar inti.

Untuk kasus Salah, ini menarik. Klopp boleh dibilang melakukan kesalahan ketika lebih banyak membuat Salah bermain lebih melebar di awal musim ini. Idenya mungkin jelas, dengan Luis Diaz di sisi kiri dan Salah di kanan, Klopp ingin membuat dua sayapnya bergerak dari flank agar half-space bisa diisi oleh gelandang atau full-back. Dengan memulai pergerakan dari flank, ruang yang didapatkan pun diharapkan lebih banyak dan terbuka. Sayangnya, ide ini tak berjalan.

Menempatkan Salah jauh dari gawang atau kotak penalti justru meredam kebuasannya. Salah harus menghadapi pertahanan berlapis yang bikin ia kesulitan dapat ruang tembak. Pergerakannya yang liat pun terbatasi. Jadilah keran golnya pampat. Catatan xG per 90 miliknya musim ini menurun ke angka 0,42 dari 0,77 musim lalu. Justru ketika bermain di tengah dalam formasi 4-4-2 atau 4-2-3-1 Salah mampu kembali berbahaya.

Untuk Van Dijk, ia memang belum tampil kembali ke performa terbaiknya sejak sembuh dari cedera parah musim lalu. Van Dijk mudah terlihat panik musim ini, yang terlihat dari jumlah sapuan bola yang meningkat. Per 90 menit, ia menyapu bola 4 kali musim ini, berbanding 3,21 kali musim lalu. Sementara, jumlah tekel dan intersepnya justru menurun. Ini menunjukkan ia harus kembali fokus dalam pembacaan permainan yang selama ini jadi kelebihannya.

Soal Alexander-Arnold, ia memang acap jadi sasaran tembak lawan. Sisi kanan yang dihuninya jadi tempat favorit untuk dieksploitasi. Namun, ini jelas bukan hanya kesalahannya semata. Ada kesalahan kolektif di sini. Sebagai full-back yang agresif maju ke depan, Alexander-Arnold butuh rekan yang bisa menutup celah yang ia tinggalkan. Jordan Henderson yang biasanya mendapat peran ini.

Namun, terbatasnya pilihan di skuad membuat Klopp acap menurunkan Harvey Elliott di posisi gelandang kanan. Sialnya, Elliott tak punya kecakapan defensif sebaik Henderson dan sering terlambat turun. Pun Henderson sendiri sebenarnya juga tampil mulai menurun seiring usia yang makin bertambah. Jadilah Alexander-Arnold tak punya perisai sebaik musim-musim sebelumnya.

Buruknya lagi, penurunan performa Alexander-Arnold dalam aspek defensif juga terbawa ke aspek ofensif. Secara kuantitas maupun kualitas, umpan-umpannya menurun. Musim ini pemain berusia 23 tahun itu hanya melepas 2,56 umpan kunci per 90 menit berbanding 2,84 pada musim lalu. Untuk kualitas, angka xAG (angka harapan umpan berbuah gol) per 90 menit miliknya juga turun dari 0,41 ke 0,20 musim ini.

***

Di luar hal-hal teknis di atas, ada masalah non-teknis yang menghantui Liverpool musim ini, seperti mental yang tak lagi se-monster musim-musim sebelumnya plus badai cedera. Yang jelas, PR Klopp begitu banyak. Masalah sudah kadung menumpuk dan ia kudu segera membereskannya. Juara memang sudah tak mungkin, tapi upaya untuk lolos ke Liga Champions harus terus digelorakan.

Mengubah pola ke 4-4-2 (flat, diamond, ofensif) memang bisa dicoba, tapi Liverpool jelas butuh lebih banyak perbaikan dari sekadar otak-atik formasi saja. Ini sudah terbukti dari bagaimana Liverpool bisa tetap kalah bahkan setelah menggunakan formasi baru. Sebab, masalah sudah mengakar dan tim ini jelas butuh perbaikan (atau bisa juga perombakan) besar.