Puzzle Pogba

Foto: Twitter @ManUtd.

Ralf Rangnick mengaku mengagumi Paul Pogba. Namun, untuk langsung memainkan Pogba ke dalam skema yang ia inginkan tidaklah mudah. Ketidakseimbangan komposisi gelandang United betul-betul merepotkan Rangnick.

Salah satu misteri terbesar Manchester United, selain mencari tahu apakah mereka—menurut bahasa David de Gea—betul-betul dikutuk atau tidak, adalah bagaimana memaksimalkan Paul Pogba.

Pogba, 28 tahun, datang bak raja pada 2016. Kedatangannya seolah-olah menorehkan cerita bahwa bocah yang dahulu terlupakan dan kudu mencari nama di Italia pulang untuk menuntaskan urusannya yang belum selesai.

Hampir enam tahun setelah kepulangannya, urusan itu tetap belum betul-betul selesai. Pogba datang dengan reputasi sebagai salah satu gelandang terbaik dunia. Dia berada dalam trek yang tepat untuk memenangi Ballon d’Or jika melihat apa yang ia lakukan di Juventus.

United adalah tanah berbeda. Jika membandingkan klub tersebut dari urusan perencanaan dan team-building, mereka akan terlihat seperti amatiran di hadapan Juventus pada era Pogba. Meski begitu, tetap saja ada harapan.

Persoalannya, United tidak pernah benar-benar bisa menjaga harapan itu. Keberadaan Pogba dan beberapa nama besar tak diikuti dengan membangun tim yang betul-betul kohesif. Alhasil, United mirip seperti puzzle acak-acakan yang sulit untuk mencari pertautannya satu sama lain.

Kedatangan Ralf Rangnick sebagai pelatih interim kembali memunculkan pertanyaan bagaimana ia akan memainkan Pogba. Bahkan sejak belum bertemu Pogba di sesi latihan, pelatih asal Jerman itu sudah menunjukkan antusiasmenya. Ia sudah punya rencana untuk Pogba.

Sepanjang kariernya bersama United, Pogba pernah bermain dalam berbagai posisi dan role. Ia pernah menjadi gelandang jangkar dalam formasi 4-2-3-1 (bukan posisi terbaik untuknya, sejujurnya), gelandang tengah, atau sebagai false winger sebelah kiri.

Sebagai false winger, Pogba tidak benar-benar menyisir sisi tepi. Sebaliknya, posisinya biasanya agak menjorok ke dalam, berdiri di antara area tengah dan era tepi. Manakala ia bergerak masuk, biasanya ada permutasi posisi dari gelandang serang tengah atau penyerang tengah untuk mengisi pos yang ditinggalkan Pogba.

Pada sejumlah pertandingan di era Ole Gunnar Solskjaer, opsi ini terbilang berhasil. Namun, Rangnick memilih untuk memasang penyerang sayap sungguhan di formasinya. Terlebih, United tidak kekurangan awak di pos tersebut.

Yang Rangnick ingin lakukan adalah kembali memasang Pogba sebagai gelandang tengah. Menurutnya, Pogba lebih baik bermain sebagai “nomor 8” ketimbang “nomor 6” yang posisinya lebih dekat dengan pertahanan.

Dalam beberapa pertandingan terakhir, Rangnick memilih bermain dengan 4-3-3 sebagai formasi dasar. Meski demikian, tersebut bisa berubah sesuai dengan situasi pertandingan atau fase dalam pertandingan. Misalnya saja, ketika hendak mempertahankan keunggulan, Rangnick pernah mengubah formasi timnya menjadi 4-4-2 atau 4-4-2 berlian demi memberikan kerapatan ketika tidak sedang menguasai bola.

Lewat penjelasannya kepada Manchester Evening News, Rangnick mengatakan bahwa dengan formasi 4-3-3 tersebut, ia bisa bermain dengan dua “nomor 8” kembar. Biasanya, kedua pemain yang ia tempatkan ke dalam peran tersebut adalah Bruno Fernandes dan Fred; keduanya mendapatkan kebebasan bergerak dengan tugas berbeda: Yang satu untuk membantu serangan, yang lainnya sebagai perebut bola.

Jika keadaan tidak memungkinkan, Rangnick biasanya mengubah formasi menjadi 4-2-3-1 dengan Bruno bermain sebagai “nomor 10” dan posisi Fred mundur ke belakang. Alasan memainkan Bruno sebagai “nomor 8” adalah supaya ia bisa memberikan pengaruh lebih luas kepada permainan ketimbang sebagai “nomor 10”. Posisinya terhimpit di belakang penyerang dan cuma bisa memberi pengaruh di sepertiga akhir lapangan.

Secara teori, Pogba semestinya bisa dimainkan sebagai salah satu “nomor 8” dalam formasi 4-3-3 Rangnick. Namun, untuk menerapkannya, artinya Rangnick harus mengorbankan satu orang “nomor 8” yang bisa bekerja sebagai perebut bola.

Pogba adalah pemain kelas wahid; ia punya teknik bagus. Olah bolanya mumpuni dan ia tidak gampang di-pressing oleh lawan. Meski begitu, selalu ada risiko dari cara bermainnya. Selalu ada kemungkinan Pogba kehilangan bola, oleh karena itu menempatkannya jauh dari kotak penalti lawan lebih baik ketimbang menempatkannya di depan kotak penalti.

Maka, tidak ada posisi yang lebih ideal untuknya ketimbang sebagai gelandang tengah dengan peran sebagai “nomor 8” ketimbang sebagai salah satu gelandang jangkar. Kemampuan Pogba dalam memberi operan dan mengolah (atau menahan) bola memungkinkannya menjadi pemain yang krusial ketika menghadapi lawan yang bertahan rapat.

Jika ia bermain sebagai “nomor 8” bersama Bruno, United memiliki dua gelandang ofensif dengan tipe yang berbeda. Yang satu lebih direct, sementara yang satu bisa bermain lebih sabar, menunggu, dan lebih teliti mencari celah untuk diincar. Selain itu, Pogba juga bisa menjadi opsi untuk masuk dari second line dan menyambut umpan tarik untuk menyelesaikan peluang—seperti yang ia perlihatkan ketika mencetak gol ke gawang Burnley (9/2/2022).

Yang jadi soal, United membutuhkan keseimbangan ketika memainkan dua “nomor 8” seperti Bruno dan Pogba. Untuk menopang keduanya, United memerlukan seorang holding midfielder mumpuni yang bisa tampil apik ketika menghadapi lawan yang bermain intens.

Sejauh ini, Rangnick masih mengandalkan Scott McTominay sebagai gelandang jangkar tunggal ketika bermain dengan 4-3-3. Yang perlu diingat, McTominay bukanlah gelandang bertahan murni dan tidak piawai mengemban peran sebagai holding midfielder.

Lagi-lagi, ketidakpiawaian United dalam membangun skuad—yang berujung pada ketidakseimbangan komposisi di lini tengah mereka—menjadi kriptonite untuk mereka sendiri. Ini juga yang membuat Rangnick akhirnya memilih untuk mengambil langkah pragmatis.

Pada laga melawan Brighton and Hove Albion, Rabu (16/2/2022) dini hari WIB, Rangnick memilih formasi 4-2-3-1 untuk mencegah lawan kembali menghantam mereka lewat serangan balik. Sadar bahwa McTominay sulit untuk bermain sendirian sebagai jangkar menghadapi lawan yang ulet, ia memasang Fred sebagai tandemnya.

Pogba? Ya, mau tidak mau duduk di bangku cadangan dan baru bermain pada babak kedua ketika Brighton sudah bermain dengan 10 orang.