Rahasia Moncernya Pelatih-pelatih Jerman: Bukan Hanya die Akademie

Ilustrasi: Arif Utama

Yang dituai sepak bola Jerman hari ini adalah gabungan dari banyak unsur: die Akademie, sistem dan pola pikir yang tertata dengan baik, dan keinginan untuk saling membantu.

Yang kita lihat malam itu adalah pemandangan kontras: RB Leipzig vs Liverpool.

Leipzig adalah tim bau kencur. Usianya bahkan tak lebih tua dari adikmu. Mau bagaimana lagi, baru pada 2009 mereka berdiri. Liverpool, sementara itu, adalah tim bersejarah yang berusia lebih dari seabad. Sudah puluhan trofi mayor mereka raih. Leipzig? Nihil.

Namun, ada sedikit hal yang membuat mereka mirip. Di pinggir lapangan Puskas Arena hari itu, Julian Nagelsmann dan Juergen Klopp yang sama-sama dari Jerman sibuk memberi instruksi untuk tim masing-masing. Nagelsmann adalah pelatih Leipzig, sedangkan Klopp juru taktik Liverpool.

Kedua sosok itu sama-sama punya status sebagai lulusan Hennes-Weisweiler-Akademie, sebuah tempat yang konon jadi rahasia di balik banyaknya pelatih-pelatih Jerman berkualitas saat ini. Orang-orang Jerman lebih mengenalnya sebagai die Akademie.

Semuanya bermula sejak jauh sekali. Enam belas tahun sebelum mendirikan liga profesional, pada 1947 tepatnya, Hennes-Weisweiler-Akademie berdiri. Di tempat ini, siapa pun boleh mendaftar tanpa terkecuali. Namun, tak semuanya bakal diterima.


Pada tiap tahunnya, Akademie cuma menerima 24 orang dari ribuan pendaftar. Yang kita lihat dari sana adalah proses masuk yang sulit dan ketat. Akan tetapi, yang mesti mereka jalani selama pendidikan berlangsung nanti bakal jauh lebih berat lagi.

Sekolah kepelatihan yang terletak di selatan Koeln itu tak hanya mencakup aspek taktis dan teknis sepak bola. Mereka yang tergabung juga akan menjalani aspek sepak bola lain secara lebih luas: Nutrisi, kebugaran, statistik, dan banyak bidang lain.

Dalam standar UEFA, siapa pun yang hendak mendapatkan lisensi UEFA Pro mesti menempuh pendidikan kepelatihan minimal 240 jam. Sebagian besar negara mengekor aturan ini. Di Inggris, tiap peserta akan mengikuti pendidikan selama 256 jam.

Akan tetapi, Akademie tak seperti itu. Di sini pendidikan kepelatihan akan berlangsung selama 815 jam. Semuanya tampak kian berat mengingat tak semua peserta akan lulus. Ada proses panjang lain yang wajib diikuti pada masa-masa akhir pendidikan.

Pertama, mereka mesti magang di salah satu klub Bundesliga. Kedua, wajib menyusun makalah 15 halaman terkait filosofi sepak bola. Setelah semua proses ini selesai, mereka baru bisa dinyatakan lulus dan mendapat gelar Fussball-lehrer (guru sepak bola) atau setara lisensi UEFA Pro.

***

Orang-orang menganggap Christian Heidel sinting ketika menunjuk Domenico Tedesco sebagai pelatih Schalke pada 2017. Schalke dalam kondisi terpuruk kala itu. Di sisi lain, Tedesco tak ubahnya seorang bocah di dunia kepelatihan sepak bola.

Usianya baru 31 tahun. Pengalamannya di level senior lebih minim lagi: Cuma pernah melatih tim Bundesliga 2, Erzgebirge Aue (tim mana pula ini?). Tedesco juga tak ada latar belakang sepak bola sama sekali , ia seorang lulusan magister manajemen inovasi.

Namun, Heidel berpandangan begini: Selama kamu punya potensi, tak masalah berapa pertandingan yang sudah kamu pimpin. Tedesco memiliki semua potensi yang Heidel maksud itu. Apalagi, dia adalah lulusan terbaik Akademie angkatan 2013.

Pola pandang demikian penting mengingat sebagian pelatih di Jerman tak punya latar belakang sepak bola seperti Tedesco. Roger Schmidt, lulusan Akademie yang pernah melatih Bayer Leverkusen, adalah sarjana teknik. Kalaupun pernah menjadi pesepak bola, beberapa pelatih punya karier yang pendek karena cedera.

“Sama sekali tidak penting apakah seorang pelatih telah memainkan 300 pertandingan Bundesliga atau belum,” tutur Heidel, yang kala itu menjabat direktur olahraga Schalke — kini dia bekerja untuk Mainz — kepada New York Times.

Itu bukan kali pertama Heidel menunjuk sosok tak berpengalaman. Bertahun-tahun lalu, dia juga pernah mengorbitkan Juergen Klopp di Mainz. Di klub yang sama, Heidel juga menunjuk Thomas Tuchel. Keduanya juga lulusan Akademie yang kini membesut dua klub top Eropa.

Belakangan, sejumlah klub Jerman lain mulai mengambil pendekatan serupa. Ada Julian Nagelsmann yang mencuat di Hoffenheim sebelum kemunculan Tedesco. Bayern Muenchen bahkan tak segan memberi kontrak panjang untuk Hansi Flick yang notabene lebih sering berkutat sebagai asisten.

Menurut Heidel, kecenderungan ini berakar pada performa buruk Jerman di Piala Eropa 2000. Tak lama setelah turnamen itu, Jerman merombak total sistem sepak bola mereka. Salah satunya adalah ‘memaksa’ tiap klub memiliki akademi sepak bola sendiri.

Heidel menganggap bahwa perubahan sistem ini tak hanya membantu Jerman melahirkan pemain-pemain berbakat  yang lebih dari sedekade kemudian menghasilkan gelar Piala Dunia 2014, tetapi juga membantu mereka menemukan para pelatih berkualitas.

Secara khusus Heidel menilai bahwa para pelatih yang muncul setelah era itu punya pola pikir yang teramat cerdas. Soal ini, dua sosok yang paling mencuri perhatiannya adalah Nagelsmann dan Tedesco tadi. Heidel bahkan sudah mulai mengikuti keduanya sejak belum melatih klub profesional.

Kita tahu Heidel tak asal kata begitu melihat bagaimana mereka memimpin tim yang dilatih. Dalam sebuah wawancara, Naldo yang pernah dilatih Tedesco bilang bahwa sosok berdarah Jerman-Italia itu punya cara berbeda dalam mendekati pemain.

Pada banyak momen, Tedesco akan melibatkan mereka dalam mengambil keputusan. Cara ini sendiri Tedesco lakukan agar para pemain patuh terhadap keputusannya. Sebuah kebijakan yang menurut Naldo cemerlang, terlebih beberapa pemain Schalke waktu itu lebih tua dari Tedesco.

Hal demikian juga tergambar dari pendekatan taktiknya. Namun, jika bicara soal taktik, Nagelsmann sedikit terdepan. Di usia yang begitu muda dia berhasil membawa Hoffenheim lolos ke Liga Champions. Saat melatih RB Leipzig, dia bahkan sukses menembus babak semifinal.

Yang spesial dari Nagelsmann adalah kemampuannya beradaptasi dan membaca situasi dalam situasi di lapangan. Jika mesti mengubah hingga 5 kali formasi bisa membawanya memenangi pertandingan, Nagelsmann tak segan melakukannya.

Itulah kenapa Leipzig asuhannya jadi tim yang paling sering mengganti formasi di Bundesliga musim lalu, yakni sembilan kali. Pada musim 2020–21, setidaknya sudah tujuh skema berbeda yang Nagelsmann terapkan di Bundesliga.

“Saya tak menyukai formasi tertentu karena itu cuma angka,” kata Nagelsmann. “Tentu itu cara termudah untuk mengidentifikasi hal yang terjadi di lapangan, tetapi saat pertandingan dimulai, banyak hal di luar dugaan yang bisa terjadi.”

Terlepas dari kecerdasan mereka sendiri, sosok-sosok seperti Nagelsmann juga berutang pada uluran tangan sosok lain. Menariknya, ini seperti terjadi secara turun-temurun.

Nagelsmann, yang terpaksa pensiun dini akibat cedera, diajak oleh Tuchel untuk bekerja sebagai scout di Augsburg II pada 2007. Tuchel, di sisi lain, juga sempat mengalami cedera sebelum Ralf Rangnick memintanya menangani tim junior VfB Stuttgart pada 2000.

Rangnick jugalah yang menginspirasi gaya sepak bola yang dimainkan Nagelsmann dan Klopp hingga saat ini. Tak salah jika kemudian orang-orang menjulukinya sebagai profesor sepak bola Jerman (Baca juga artikel tentang Ralf Rangnick).

“Ralf Rangnick mengembangkan sesuatu yang berbeda di Jerman: Semuanya tentang menekan lawan dan tekanan balik,” kata Klopp.

Maka, kalau suatu saat orang-orang bertanya apa rahasia moncernya pelatih-pelatih Jerman saat ini, jawabannya bukan hanya die Akademie, apalagi sekadar sikap Uber Alles.

Yang mereka tuai hari ini adalah gabungan dari banyak unsur: die Akademie, sistem dan pola pikir yang tertata dengan baik, dan keinginan untuk saling membantu.