Raiola, si Antagonis Sepak Bola

Foto: Twitter @MinoRaiola

Raiola tidak pernah menyebut bahwa ia bukan pencinta uang. Ia selalu berbicara terang-terangan bahwa urusan utamanya adalah saldo di rekeningnya dan rekening pemain.

Mino Raiola telanjur menjadi sebentuk antagonis. Yang namanya antagonis, ia diciptakan untuk menjadi jahat dan lawan tokoh utama. Tak peduli setangguh apa pun si antagonis, orang-orang berharap kekalahannya di akhir cerita. 

Hal tersulit ketika menulis Raiola adalah menghindari jebakan moral. Mengabadikan Raiola dalam kata-kata, kita bisa menggunakan standar baik dan buruk tentang aksinya sebagai agen pemain. Kita dapat mengangkat komentar aneh bin ajaibnya yang beredar dari satu wawancara ke wawancara lain untuk mengadili.

Namun, kita lupa bahwa antagonis adalah protagonis bagi pihaknya. Selicik apa pun antagonis, ia bertindak untuk kebutuhan orang yang diwakilinya.

Dari sana kita perlu memeriksa ulang: Label antagonis kita sematkan karena dia memang jahat atau karena dia berdiri pada kepentingan yang berlawanan dengan kepentingan kita.

***
Raiola mengawalinya dari satu meja makan ke meja makan lain di restoran piza milik keluarganya. Meski berdarah Italia, keluarga Raiola sudah tinggal di Harlem, Belanda, sejak 1968.

Ayah Raiola bekerja dengan sangat keras. Dalam sehari ia bisa sibuk selama 18-20 jam mengurus restoran bernama Napoli itu. Raiola kecil sering mengikuti ayahnya bekerja dan mencari tahu apa yang bisa ia lakukan.

Kepada Simon Kuper, Raiola bercerita bahwa menghabiskan masa remaja sebagai pelayan restoran membuatnya peka dan telaten dalam mengantisipasi kebutuhan orang lain, bahkan yang terkesan remeh sekali pun. Pengalaman sebagai pelayan mengganjar Raiola dengan pengertian bahwa tidak ada satu kebutuhan pun yang kelewat sepele bagi orang lain.

Raiola  yang menemukan kedamaian saat mencuci piring itu jeli untuk melihat pembeli yang membutuhkan minuman energi saat cuaca panas. Ia tak pernah menahan diri untuk bertanya mereka ingin duduk di mana. Raiola sanggup membaca baik atau buruknya suasana hati lewat wajah pembeli. Berkat ‘bakatnya’ tersebut, Raiola kerap mengubah pembeli menjadi pelanggan.

Foto: Wikipedia

Agen pemain dan pelayan restoran bukan pekerjaan yang sama. Namun, kedua pekerjaan ini memiliki napas yang serupa: Melayani supaya pelanggan (pemain) bisa 100 persen menikmati apa yang menjadi bagian mereka.

Bagian konsumen restoran piza bukan mengurus piring kotor, tetapi melahap piza. Bagian pesepak bola bukan mempelajari kontrak selama berjam-jam, tetapi bertanding dan merengkuh gelar juara. 

Dibenci atau disukai publik, dihormati atau dicaci klub, Raiola hanya bekerja untuk menyelesaikan segala macam urusan di luar teknis sepak bola yang tidak mampu dikerjakan oleh kliennya.

***
Zlatan Ibrahimovic juga pernah frustrasi. Oleh seorang teman yang berprofesi sebagai jurnalis, Thijs Slegers, ia disarankan untuk menemui Raiola. Salah besar jika kamu mengira Slegers memberi saran itu dengan keyakinan 100 persen. Ia ragu bukan main.

"Raiola itu mafioso," kata Slegers. 

"Mafioso tampaknya bagus," jawaban yang sungguh Zlatan.

Pertemuan pertama Zlatan dan Raiola terjadi di sebuah hotel bintang lima asal Jepang, Okura Hotel. Bukan Zlatan namanya kalau tidak pamer. Ia berdandan parlente dengan wardrobe yang membikin silau.

Raiola peduli setan. Ia datang dengan kaus oblong, celana denim, dan statistik 25 laga 5 gol Zlatan di Ajax yang membuat kemewahan itu sama noraknya dengan bacotan orang kaya baru.

Zlatan ingat betul pertanyaan Raiola: Kamu mau jadi pemain terhebat di dunia atau pemain kaya raya yang setiap hari memamerkan barang-barang mewah?

Ketika Zlatan menjawab bahwa ia ingin jadi pemain terbaik di dunia, Raiola tidak merespons dengan senyuman basa-basi. Ia langsung memberi tahu Zlatan apa yang harus dilakukannya sesegera mungkin. 

“Jual barang-barang mewahmu, termasuk koleksi mobilmu. Berlatihlah jauh lebih keras daripada sekarang. Untuk menjadi pemain terhebat di dunia, kamu harus bekerja seperti Nedved."

Pada awal 1990-an, Raiola bertemu dengan Zdenek Zeman. Pelatih ambisius ini berkata bahwa ia membutuhkan pemain yang kuat berlari sejauh 17 kilometer pada setiap pertandingan. Ia memerlukan pemain yang memiliki kualitas dribble seperti Diego Maradona dan bersedia lebih keras berlatih daripada siapa pun

Raiola memperkenalkan Pavel Nedved. Pemain ini mempunyai seluruh kualitas yang dibutuhkan Zeman. Yang tidak dimiliki Nedved cuma satu: Kepercayaan diri. Namun, Nedved tak berhenti sampai di minder. Setiap usai latihan, ia selalu berlatih sendirian di kebun belakang rumahnya.

Pada 1996, Raiola mengunci transfer Nedved ke Lazio yang dilatih Zeman. Menurut Raiola, transfer ini ibarat pertemuan dua ekstrimis lapangan hijau, yang satu pemain, yang satunya lagi pelatih. Sama-sama orang Ceko pula.

Keberhasilan Raiola mengantarkan Nedved ke Lazio membuktikan satu hal. Sebagai agen, Raiola tahu apa yang dibutuhkan pemain seperti Nedved dan pelatih seperti Zeman. 

Raiola tidak berhenti sampai di tahu. Ia mencari cara untuk membuat kedua orang tersebut sama-sama dapat merengkuh apa yang mereka butuhkan. Ia meminta Nedved menjadi sosok yang dibutuhkan oleh Lazio asuhan Zeman. Caranya, ya, dengan berlatih dan bertanding mati-matian.

Begitu pula dengan ceritanya soal Zlatan. Raiola tidak sekadar mencarikan klub papan atas yang siap membentuk Zlatan. Ia juga meminta Zlatan untuk membuat dirinya pantas diperebutkan dan dikontrak oleh klub seperti itu.

Perjalanan Zlatan bersama Raiola berlanjut dari satu klub hebat ke klub hebat lainnya. Bahkan ketika Barcelona tidak memperlakukan Zlatan dengan pantas, Raiola menemukan AC Milan yang sedang mendamba striker ganas sepertinya.

Kemampuan demikian bukan perkara simsalabim. Raiola mengasah kualitas itu sejak bekerja di restoran piza keluarganya. Ia kerap mengobrol dengan para pembeli soal piza yang mereka sukai. Obrolan tersebut diolahnya menjadi menu baru yang membuat pembeli tadi datang sebagai pelanggan.

Ketika mengajak pembeli mengobrol, Raiola sedang mencari tahu apa yang mereka butuhkan dengan cara menyenangkan. Kebiasaan itu terus dilakukannya saat bekerja sebagai agen pemain. 

Ia mempelajari tujuh bahasa supaya dapat mencari tahu kebutuhan kliennya dengan cara yang personal. Raiola paham bahwa yang diinginkan kliennya bukan sekadar agen, tetapi kawan yang bisa dipercaya.

Raiola menyediakan waktu ber-FaceTime dengan sejumlah pesepak bola muda yang menjadi kliennya. Ia menata ruangan kantornya seperti dapur karena para klien tak nyaman dengan suasana resmi. Raiola pun bersedia menjadi orang pertama yang direpotkan ketika rumah Mario Balotelli kebakaran.

Begitu pula dengan keputusan Raiola untuk tinggal di Foggia selama enam bulan pada 1992, saat mengurus transfer Bryan Roy dari Ajax ke Calcio Foggia 1920. Roy masih berusia 22 tahun, tetapi terpaksa angkat kaki dari klub kota kelahirannya karena berselisih dengan sang pelatih, Louis van Gaal.

Serie A waktu itu dipandang sebagai liga terbaik Eropa. Namun, Raiola tak mau kliennya bersusah-payah sendirian. Terlebih, Roy orang Belanda asli yang pergi ke Italia dengan latar belakang tak sedap. Sementara, Raiola adalah warga negara Belanda berdarah Italia. Klop. Raiola pun memperlakukan Roy sebagai kawan baik. Ia rela repot-repot membantu Roy mengecat rumah dan memilihkan piza terbaik.

Konon sejak mengurus transfer tersebut, kiprah Raiola sebagai agen pemain semakin menjadi. Kliennya hebat-hebat. Selain Zlatan, ia memegang Pavel Nedved, Dennis Bergkamp, Gianluigi Donnarumma, Paul Pogba, Mario Balotelli, Marco Verratti, Henrikh Mkhitaryan, Matthijs de Ligt, dan Erling Braut Haaland.

***
Suporter Milan pernah marah besar pada Donnarumma. Sang penjaga gawang bahkan mendapat ancaman pembunuhan. Persoalan itu muncul jelang bursa transfer Januari 2018. Donnarumma berencana untuk hengkang dari Milan. Padahal, ia telanjur menandatangani kontrak baru pada musim 2017 dengan klausul yang tidak sederhana.

Selain duit sekitar enam juta euro setiap musim, dalam kontrak itu ditulis bahwa Milan juga harus merekrut kakak Donnarumma, Antonio, yang bermain sebagai kiper.

Masalahnya, Antonio belum pernah sekalipun diturunkan hingga awal kepelatihan Gennaro Gattuso. Antonio dianggap sebagai parasit oleh suporter Milan dan Donnarumma memiliki julukan baru: Dollar-umma.

Kejadian tak sedap ini bermula dari kegagalan Milan berlaga di Liga Champions. Raiola dikabarkan tak senang karena catatan minor itu mengurangi pemasukannya. Dari situ ia mulai berbicara di depan publik bahwa Donnarumma hanya pantas berlaga di klub level Liga Champions. Imbasnya bukan cuma Donnarumma yang dicerca, tetapi juga Raiola.

Menuding Raiola sebagai agen rakus adalah perkara jamak. Namun, pada kenyataannya ia tetap dipercaya oleh sebagian orang. Borussia Dortmund merupakan salah satunya.

Kepercayaan tersebut bermula saat Dortmund dan Henrikh Mikhitaryan bekerja sama pada 2013. Waktu itu Mkhitaryan jadi rebutan banyak klub, termasuk Liverpool. Namun, Raiola berhasil membuat kliennya tersebut menerima pinangan 30 juta euro Dortmund dan meninggalkan Shakhtar Donetsk.

Meski Raiola dikabarkan sempat melempar kursi saat rapat dengan petinggi Dortmund soal transfer Mkhitaryan ke United, kepercayaan klub tak luntur. Setahun setelah mengamuk, ia mendatangkan Immanuel Pherai ke Dortmund.

Kerja sama Dortmund dan Raiola yang pantas diberi aplaus tentu saja mendatangkan Haaland. Sekali lagi, United gigi jari. Rumor di Old Trafford sudah berembus kencang, Haaland malah memilih Dortmund.

****

Sir Alex Ferguson membenci Raiola. Menurutnya, agen seperti Raiola mirip lalat tsetse yang menyebabkan penyakit tidur di Afrika. Sir Alex menganggap agen seperti Raiola hanya bekerja untuk kepentingan pribadi dan kerap merusak hubungan pemain dan pelatih.

Memaklumi kemarahan Sir Alex sah-sah saja. Namun, bukankah sepak bola modern adalah tentang industri dan uang?

Bukankah setiap klub berlomba mendatangkan pemain hebat, mengutak-atik kontrak, berjibaku di laga dan kompetisi untuk mengejar kejayaan? Bukankah uang merupakan salah satu unsur dari kejayaan tersebut? 

Pertanyaan lainnya, yang dibangun Sir Alex selama 27 tahun adalah kejayaan Manchester United atau kekuasaannya di balik panji Setan Merah? Jika Donnarumma tak menyerahkan urusan kontrak, transfer, dan manajemen kepada Raiola, adakah yang menjamin Milan bakal bersikap adil kepadanya?

Lagi pula tidak semua orang ingin menjadi pahlawan. Serupa genius yang ingin menjadi profesor di Harvard dan pengacara andal yang ingin bergabung dengan firma hukum ternama, pesepak bola hebat juga ingin bermain di klub papan atas. 

Pesepak bola profesional bukan profesi yang bisa dijalani seumur hidup. Rerata usia karier seorang pemain adalah 15 tahun. Setelahnya mereka harus mencari penghasilan sendiri. 

Seandainya saat itu Milan tak sanggup memperbaiki diri sampai terperosok ke antah-berantah dan Donnarumma diminta membusuk di sana, memangnya ada yang bersedia menanggung kebutuhan hidupnya?

Itulah sebabnya, Raiola selalu berupaya mendapatkan kontrak terbaik bagi para kliennya, termasuk untuk Donnarumma yang saat itu masih berusia 18 tahun.

Pun demikian dengan komentar-komentar Raiola seputar Paul Pogba yang membuat entah berapa banyak suporter Manchester United jengkel. Jelang laga tandang United melawan RB Leipzig di Liga Champions, misalnya. 

Raiola berkata bahwa perjalanan Pogba bersama United sudah selesai. Sang super agent dianggap merusak konsentrasi tim jelang laga akbar, padahal reputasi timmu patut dipertanyakan kalau omongan seperti itu bisa mengacaukan fokus.

Jauh sebelum laga itu, Raiola menyebut United gagal memaksimalkan potensi Pogba. Ole Gunnar Solskjaer merespons omongan tersebut dengan berkata bahwa Pogba adalah milik United, bukan Raiola.

Bukan Raiola namanya jika diam. Lewat akun Instagramnya, Raiola menyampaikan kritik terbuka kepada Solskjaer. Ia menulis bahwa Pogba adalah Pogba. Ia bukan milik Raiola maupun United. Jadi, jangan memperlakukan Pogba sebagai tahanan.

Komentar-komentar tersebut memperkuat anggapan bahwa Raiola adalah agen mata duitan. Ia melakukan segala cara supaya klien menyepakati transfer yang menguntungkannya. 

Namun, Raiola tidak pernah menyebut bahwa ia bukan pencinta uang. Ia selalu berbicara terang-terangan bahwa urusan utamanya adalah saldo di rekeningnya dan rekening pemain. 

Kawan yang jujur, orang yang bersedia mendengar saat klub terlalu sibuk mengejar trofi, dan rekan yang mempersiapkanmu dengan gigih menghadapi segala ketidakpastian di masa depan, bukankah itu semua dibutuhkan oleh seorang pesepak bola?