Ralph Hasenhuettl dan Idealisme yang Membawa Southampton Meroket

Foto: Twitter @SouthamptonFC

Hasenhuettl memulai karier pelatih dari klub-klub semenjana Jerman. Namun, dari situ dia sudah punya idealismenya sendiri. Kini, idealisme yang sama berhasil membawa Southampton meroket di Premier League.

26 Oktober 2019. Papan skor Stadion St. Mary's menunjukkan angka 0 dan 9. Angka 0 menunjukkan tak ada gol yang dicetak oleh tuan rumah, Southampton. Sementara angka 9 berarti ada 9 gol yang berhasil dicetak oleh tim tamu, Leicester City.

Itu adalah kekalahan terburuk yang pernah diderita sebuah klub sebagai tuan rumah sepanjang sejarah Premier League. Bagi Southampton kekalahan setelak itu jelas amat menyakitkan dan memperburuk situasi karena saat itu mereka tengah berada di papan bawah.

Ketakutan akan degradasi pun muncul dan keraguan terhadap sang manajer, Ralph Hasenhuettl, menyeruak. Apalagi musim 2019/20 itu adalah musim penuh pertama Hasenhuettl di St Mary's Stadium.

***

Ralph Hasenhuettl tahu betul caranya berjuang sebagai seorang pelatih. Pria Austria itu tahu bahwa sebagai pemain dia tak punya nama yang sedemikian besar dan juga akan sulit baginya untuk memulai karier kepelatihan dari klub yang populer.

Hasenhuettl memulai karier sebagai pelatih di tim junior klub divisi ketiga Jerman, SpVgg Unterhaching, pada tahun 2004. Tiga tahun dia belajar menangani tim junor hingga pada tahun 2007 dia mendapat kesempatan untuk melatih tim utama.

Awalnya hanya asisten pelatih. Namun, pada Oktober 2007, Hasenhuettl resmi ditunjuk sebagai pelatih kepala. Dari situ dia menunjukkan idealisme sebagai pelatih: Menerapkan pola 4-2-2-2, menekankan pressing tinggi, dan mengedepankan permainan cepat.

Idealisme Hasenhuettl berjalan baik. Dia membawa Unterhaching finis di posisi 6 klasemen 3. Bundesliga pada musim pertamanya. Pada musim kedua, posisi Unterhaching naik ke peringkat empat, hanya terpaut satu poin dari zona play-off untuk promosi.

Sayangnya, pada musim ketiga, apa yang Hasenhuettl inginkan tak berjalan mulus. Permainan penuh pressing yang diterapkannya sejak awal musim membuat performa klub mengendur di paruh kedua. Kelelahan ditengarai jadi faktor utama. Hasenhuettl pun pada akhirnya dipecat di pengujung Februari.

Setelah satu tahun menganggur dan menghabiskan waktu dengan bermain tenis di Muenchen, Hasenhuettl dipinang VfR Aalen, juga klub 3. Bundesliga. Pada musim 2010/11 itu, dia berjuang menghindarkan Aalen dari degradasi dan ternyata berhasil. Kontraknya diperpanjang.

Pada musim penuh pertamanya, atau musim 2011/12, Hasenhuettl melakukan perubahan besar. Dia melego 14 pemain dan memboyong 8 pemain baru yang dinilainya "open-minded", demi mewujudkan idealismenya. Pola 4-2-2-2 kembali diterapkan dan Hasenhuettl juga menekankan kepada para pemainnya untuk tak ragu bermain menyerang; selalu bergerak vertikal ke depan.

Hasilnya pun tokcer. Meski di paruh pertama musim laju Aalen tak kencang, di paruh kedua mereka melaju pesat. Hasilnya Aalen berhasil duduk di peringkat dua klasemen 3. Bundesliga dan mampu mendapatkan tiket promosi otomatis ke 2. Bundesliga. Lagi-lagi, dia pun mendapatkan perpanjangan kontrak.

Pada musim pertamanya berada di 2. Bundesliga, Hasenhuettl melunak. Dia tahu bahwa bermain penuh pressing dengan kecepatan tinggi di liga yang jauh lebih kompetitif akan membuat Aalen hancur. Akhirnya, pria yang pernah bermain untuk Bayern Muenchen II itu memilih mengubah pola permainan timnya.

Dia tak lagi kekeh menggunakan 4-2-2-2 dan menggantinya ke pola 4-5-1. Dengan pola ini Aalen dituntut bermain lebih menunggu untuk kemudian melancarkan serangan balik cepat. Kelenturannya itu membuahkan hasil cemerlang. Aalen tak hanya dibuatnya bertahan di 2. Bundesliga, tapi juga finis di posisi 9; posisi tertinggi yang pernah diraih klub sepanjang 92 tahun.

Nama Hasenhuettl pun mulai diperhitungkan di ranah sepak bola Jerman. Namun, di musim panas 2013, dia justru memutuskan mundur dari kursi pelatih Aalen. Kondisi keuangan klub yang memburuk (dengan ditinggal beberapa sponsor utama) membuat Hasenhuettl ragu proyeknya untuk musim 2013/14 akan berjalan baik. Dia memilih berhenti.

Waktu lowong saat menganggur kemudian dimanfaatkannya untuk belajar dari pelatih-pelatih top Bundesliga macam Juergen Klopp dan Luciane Favre. Hasenhuettl memilih melihat bagaimana Borussia Dortmund dan Borussia Moenchengladbach menjalani latihan dan pra-musim. Dari melihat kedua orang itu bekerja, Hasenhuettl kemudian banyak mendapatkan pelajaran berharga.

Pada Oktober 2013, dia kemudian menerima tawaran dari Ingolstadt. Lagi-lagi, Hassenhuetl melatih tim yang semenjana. Saat itu Ingolstadt berada di papan bawah 2. Bundesliga. Situasi tim juga tak seperti apa yang diharapkan olehnya.

Maka hal pertama yang dilakukan Hasenhuettl adalah menyuruh timnya berlari lebih banyak. Ayah tiga orang anak itu ingin timnya bermain lebih ngotot. Dia juga menuntut timnya mengedepankan kompaksi ketika bertahan dan bergerak cepat ketika menyerang. Pola permainan tim diubah dari 4-2-3-1 menjadi 4-4-2 atau 4-3-3.

Di musim pertamanya, prestasi Ingolstadt membaik dan mereka finis di peringkat 10 setelah di awal musim berkubang di zona degradasi. Pada musim kedua, Hasenhuettl kemudian mendatangkan pemain-pemain seperti Pascal Gross (sekarang di Brighton), Benjamin Huebner (sekarang di Hoffenheim), hingga Danny da Costa (sekarang di Frankfurt).

Transfer-transfer itu dilakukan Hasenhuettl demi memenuhi ambisinya untuk membuat Ingolstadt bermain lebih berani dalam menyerang. Hasilnya, lagi-lagi, bagus. Klub yang bermarkas di Audi Park itu dibawanya finis sebagai kampiun 2. Bundesliga pada musim 2014/15 sekaligus memastikan promosi ke Bundesliga.

Dalam wawancaranya di awal musim dengan BT Sport, Hasenhuettl menjanjikan bahwa di Bundesliga kelak timnya akan membuat kejutan. Pernyataan itu terbukti benar karena penampilan Ingolstadt pada musim pertama setelah promosi cukup impresif. Mereka finis di posisi 11.

Musim itu kemudian menjadi musim terakhir Hasenhuettl di Ingolstadt. Dia memutuskan tak memperpanjang kontrak dan kemudian hijrah ke klub promosi Bundesliga, RasenBallsport (RB) Leipzig. Di sinilah nama pria 53 tahun itu semakin dikenal, baik nama maupun filosofinya sebagai pelatih.

Foto: Twitter RB Leipzig

Pada musim pertama, Leipzig dibawanya finis di peringkat dua Bundesliga. Hasil yang amat luar biasa untuk sebuah klub promosi. Lebih lagi, Leipzig juga dibawa Hasenhuettl jadi klub atraktif yang permainannya enak ditonton. Tentu saja, dengan pola 4-2-2-2 yang mengedepankan pressing tinggi dan progresi bola cepat.

Hasenhuettl juga beruntung karena di Leipzig dia punya pemain-pemain bagus seperti Emil Forsberg, Timo Werner, dan Naby Keita untuk menyempurnakan idealismenya itu. Pun dia juga dibantu oleh Ralf Rangnick sebagai Direktur Olahraga klub. Kebetulan Rangnick juga punya filosofi counter-pressing sebagai seorang pelatih. Cocok.

Hanya saja kemudian prestasi Leipzig meredup dengan hanya finis di posisi 6 pada musim 2017/18. Namun, hal tersebut juga ditengarai terjadi karena ada friksi dalam internal tim. Hasenhuettl tak kerasan di klub karena banyak rumor yang mengatakan bahwa Rangnick menginginkan Julian Nagelsman untuk menjadi pelatih Leipzig.

Hasenhuettl kemudian meminta manajemen memutus kontraknya dan dia pun berhenti dari Leipzig. Rumor kemudian berkata benar, Nagelsman adalah pelatih Leipzig berikutnya. Dan lima bulan setelah hijrah dari Leipzig, Hasenhuettl memilih melanjutkan petualangan di tanah Inggris. Dia menerima pinangan Southampton.

***

Satu tahun lebih sejak kekalahan telak dari Leicester di Oktober 2019 itu, Southampton berubah wajah. Mereka bukan lagi klub yang berkubang di papan bawah Premier League, tapi adalah klub yang tengah berjuang menembus empat besar.

Dan tentu saja, tak ada lagi yang meragukan sosok Hasenhuettl. Meski cuma mampu membawa Southampton finis di peringkat 16 pada musim 2018/19, dia mampu membawa The Saints finis di posisi 11 satu musim setelahnya. Dan di musim ini, rasanya Southampton bisa finis lebih tinggi.

Hasenhuettl juga masih bekerja dengan idealisme yang tinggi. Pola 4-2-2-2 yang diusungnya sejak di Unterhaching masih digunakan dan sudah jauh lebih sempurna. Dengan pola itu, Hasenhuettl mampu membuat skuad pas-pasan yang dimiliki Southampton menjadi tim yang amat menakutkan.

Pola 4-2-2-2 itu sendiri disempurnakannya pada musim ini setelah di musim pertama dan kedua dia masih mencoba beberapa formasi seperti 3-4-2-1 atau 4-3-3 karena masih beradaptasi dan fokus pada perbaikan pertahanan tim. Namun kini, dengan 4-2-2-2, Southampton sudah sama baiknya dalam menyerang dan bertahan.

Grafis: Twenty3

Lalu, dengan pola itu pula, idealismenya dalam melakukan pressing dan melancarkan serangan cepat semakin melambung. Berdasarkan data StatsBomb yang dihimpun The Athletic, Southampton hanya butuh waktu setidaknya 10 detik atau kurang untuk melepaskan tembakan setelah merebut bola dari lawan.

Hasenhuettl meminta para pemainnya untuk bisa merebut bola dengan cepat dan kemudian melancarkan serangan dengan sama cepatnya. Tengok saja bagaimana Southampton menjadi tim dengan PPDA (Passes allowed per Defensive Action) tertinggi kedua di Premier League dengan angka 8,94.

Itu artinya, ada aksi defensif (tekel, intersep, pelanggaran) yang dilakukan Southampton dalam setiap 8,94 umpan yang dilepaskan lawan di area lapangannya (setengah lapangan bagian lawan). Tak perlu heran juga kalau Southampton adalah tim dengan jumlah tekel tertinggi di Premier League dengan angka 266 atau rata-rata 19 per laga.

Grafis: Premier League

Selain itu, Oriol Romeu yang merupakan jangkar di lini tengah Southampton juga merupakan pemain dengan jumlah tekel terbanyak di Premier League dengan angka 51. Hasenhuettl memang menginginkan klubnya mampu merebut bola dari lawan secepat mungkin untuk menghindari serangan lawan.

Karena itu mereka cuma mendapatkan rata-rata 9,9 tembakan per laga dari lawan. Angka itu adalah yang terbaik kelima di Premier League dan cuma kalah 0,5 dari Chelsea. Jarak antarlini yang rapat juga mempermudah Southampton melakukan aksi defensif. Terlebih karena pemain depan juga mau melakukan tekanan pada lawan.

Jarak antarlini yang rapat juga sangat membantu Southampton dalam fase menyerang. Ini memungkinkan bek tengah langsung melepaskan umpan vertikal kepada pemain depan yang biasanya sudah menunggu di ruang yang ada di depan garis pertahanan lawan (atau apa yang sering disebut Hasenhuettl sebagai Red Zone).

Foto: Twitter @Ankaman616

Kebetulan pula Southampton memiliki duet Jannik Vestergaard dan Jan Bednarek yang sama-sama bagus dalam melancarkan umpan-umpan ke depan di mana Vestegaard punya catatan 333 umpan mengarah ke depan dan Bednarek punya catatan 340. Angka milik mereka itu lebih baik dari bek tengah top Premier League seperti Harry Maguire, Ruben Dias, atau Kurt Zouma.

Dalam fase menyerang, Hasenhuettl juga membuat dua gelandang serang dalam fase 4-2-2-2 miliknya bergerak fluid. Artinya, mereka tak hanya berada di zona half-space saja, tapi juga sewaktu-waktu mampu bergerak ke flank atau bahkan menusuk ke dalam kotak penalti.

Karena itulah pemain seperti Nathan Redmond menjadi pemain dengan catatan tembakan per 90 menit tertinggi di Southampton dengan angka 2,60. Theo Walcott juga mencatatkan angka cukup tinggi yakni 2,02 dan Stuart Amstrong memiliki catatan 1,43. Ketiganya memang jagoan Hasenhuettl untuk mengisi pos gelandang serang dalam pola 4-2-2-2.

Dua gelandang serang yang fluid kemudian membuat Hasenhuettl menugaskan Danny Ings dan Che Adams sebagai striker untuk lebih rajin turun ke dalam. Twenty3 Sports bahkan menyebut duet ini sebagai "false 9 kembar". Karena memang, jika melihat aliran umpan dan pergerakan, keduanya sering menjemput bola untuk membuka ruang pada dua gelandang serang.

Grafis: Twenty3

Pressing yang efektif, cepat dalam melancarkan serangan, dan lini depan yang fluid membuat Southampton menakutkan. Itu pula yang membuat mereka berhasil mencetak 25 gol musim ini, jumlah yang sama dengan Everton dan Tottenham Hotspur yang secara posisi ada di atas mereka. 

Padahal expected goals (xG) milik Southampton cuma 16, 25. Ini menunjukkan bahwa Southampton efektif dalam menyelesaikan peluang, meski secara kualitas peluang tersebut tidaklah bagus. Selain itu, musim ini Hasenhuettl juga sudah tahu cara mencari alternatif jika permainan yang diterapkannya sedang buntu.

Yang pertama adalah dengan memanfaatkan bola mati di mana mereka memiliki seorang James-Ward Prowse. Sekadar catatan saja, Southampton adalah tim dengan jumlah gol terbanyak (8) dari situasi bola mati di Premier League musim ini.

Yang kedua adalah dengan melepaskan umpan panjang dari belakang. Kebetulan mereka punya Vestegaard yang memiliki catatan 4,2 umpan panjang sukses per laga. Umpan panjang itu kerap membuat Southampton mendapatkan ruang terbuka di pertahanan lawan, mirip-mirip seperti apa yang dilakukan Virgil van Dijk di Liverpool.

Jika ada kelemahan di Southampton-nya Hasenhuettl, maka itu adalah kedalaman skuad yang pas-pasan. Jika pemain-pemain regulernya absen, maka Southampton tak akan tampil sebagus biasanya. Terutama jika yang absen adalah pemain lini belakang dan gelandang tengah.

Apabila kedalaman skuad bisa diperbaiki di bursa transfer berikutnya, maka kita bisa melihat Southampton semakin meroket bersama idealisme Hasenhuettl. Tentunya sambil berharap dia tak pindah cepat-cepat ke Arsenal klub lain.