Rapuhnya Juventus vs Agresifnya Atalanta

Foto: @Championsleague.

Juventus yang sedang naik turun performanya akan kedatangan Atalanta yang tak terkalahkan di enam laga terakhir Serie A. Siapa yang akan menang?

Atalanta merupakan salah satu tim Serie A yang penampilannya relatif konsisten dalam beberapa musim terakhir. Mereka cukup rajin berada di papan atas menggeser pamor tim-tim besar lainnya yang cenderung menurun belakangan ini, semisal AS Roma dan Lazio.

Salah satu faktor yang membuat penampilan Atalanta melejit adalah gaya mainnya yang ofensif dan cukup agresif, membuat mereka atraktif di mata penonton netral. La Dea seakan meresapi ungkapan "Lu kebobolan satu, tapi cetak tiga gol, you still win the game" dari coach yang kesohor itu.

Maka, tak heran bila banyak gol yang tercipta ketika Atalanta bertanding. Musim lalu, Atalanta yang finis di posisi ketiga menjadi tim yang paling banyak membuat gol di Serie A dengan torehan 90. Namun, mereka juga menjadi yang paling banyak kebobolan (dengan jumlah 47) di antara klub-klub yang berada di posisi lima besar.

Pada musim ini, Atalanta tak nge-gas sejak awal. Mereka cuma meraih satu kemenangan dari tiga pertandingan awal Serie A. Gol yang dibuat Martin De Roon dan kolega juga cuma tiga dalam tiga laga tersebut. Tentu, itu menjadi sebuah penurunan. Pasalnya, musim lalu mereka sukses meraih tiga kemenangan dalam tiga laga perdana. Selain itu, mereka sukses mencetak 13 gol dalam tiga laga itu.

Namun, Atalanta memperbaiki performa mereka. Setelah menelan kekalahan dari AC Milan pada giornata ketujuh, tim besutan Gian Piero Gasperini tersebut melaju. Mereka meraih empat kemenangan dan dua hasil imbang dalam enam pertandingan terakhir.

Catatan tak terkalahkan dalam enam pertandingan itu menjadi modal bagus untuk menghadapi Juventus, Minggu (28/11/2021) dini hari WIB.

***

Ketika Andrea Pirlo datang, ada keraguan dan optimisme bercampur menjadi satu. Keraguan muncul karena Pirlo belum punya pengalaman menangani tim senior di klub mana pun. Sementara optimisme muncul karena Pirlo merupakan salah satu jebolan terbaik dari Coverciano, akademi kepelatihan Italia.

Keinginan Pirlo untuk menitikberatkan taktik pada role pemain, alih-alih posisi, juga membuat penasaran. Namun, kenyataannya, untuk mempraktikkan hal tersebut kepada para pemain Juventus bukan hal mudah. Hasilnya, Bianconeri tampil inkonsisten sepanjang musim.

Juventus akhirnya harus menunggu hingga giornata terakhir untuk memastikan tempat di Liga Champions 2021/22. Inkonsistensi performa itu juga yang  membuat manajemen melakukan perubahan. Manajemen akhirnya memberhentikan Pirlo dan menunjuk kembali Massimiliano Allegri.

Allegri adalah sosok penting buat Juventus karena pernah membawa mereka menjadi juara liga lima musim beruntun. Namun, bukan berarti dia tanpa kelemahan. Untuk banyak pendukung Juventus, kelemahannya jelas: Allegri seringkali bersikap pragmatis dan menitikberatkan permainan tim pada kemampuan teknis.

Hal ini terlihat ketika Juventus takluk 0-4 pada laga melawan Chelsea, Rabu (24/11) dini hari WIB, di matchday V Liga Champions. Allegri bikin geleng-geleng kepala karena memasang empat gelandang tengah sekaligus, yakni Weston McKennie, Adrien Rabiot, Manuel Locatelli, dan Rodrigo Bentancur, di starting XI.

Niatnya boleh jadi untuk membuat lini tengah Juventus menjadi lebih padat. Namun, kenyataannya, Chelsea tetap saja bisa menggelontorkan empat gol. Lewat pergerakan tanpa bola, kedisiplinan di ruang sempit, dan kemampuan melakukan switch play, Chelsea masih bisa melewati pertahanan Juventus.

Hasil tersebut juga memperlihatkan bahwa Juventus musim ini bukanlah Juventus yang bisa digdaya di Serie A. Allegri pun mendapatkan sorotan karena beragam keputusannya dalam menerapkan taktik dan susunan pemain. 

Kini, Juventus tersendat di urutan kedelapan klasemen dan sudah menelan 4 kekalahan dari 13 laga. Allegri sendiri sempat mengatakan bahwa Juventus harus mengakui bahwa kini mereka adalah tim papan tengah. Sungguh suram.

***

Federico Chiesa bergerak membawa bola dari sisi kanan pertahanan Atalanta. Ia lalu merangsek ke tengah dan memberikan bola kepada Dejan Kulusevski yang berada di depan kotak penalti.

Usai bola diberikan, Chiesa tak menghentikan larinya. Anak dari Enrico Chiesa itu masuk ke ruang yang kosong di dalam kotak penalti Atalanta. Melihat hal tersebut, Kulusevski tak berpikir panjang dan memberikan bola kembali kepada Chiesa.

Karena tinggal berhadapan dengan kiper Pierluigi Gollini, Chiesa langsung menceploskan bola ke gawang. Gol tersebut menjadi penanda kemenangan Juventus atas Atalanta di final Coppa Italia, 19 Mei 2021. Itu merupakan kemenangan perdana Juventus atas Atalanta usai tiga laga sebelumnya tak bisa menang.

Namun, situasi kini berbalik menjadi tak menguntungkan kembali untuk Juventus. Kekalahan dari Chelsea itu mengekspos banyak kelemahan La Vecchia Signora.

Gol-gol yang tercipta ke gawang Juventus kala itu membuktikan minimnya koordinasi di lini belakang. Gol Reece James, misalnya, Alex Sandro yang berada di posisi lebar malah berdiri terlalu dalam. Ia terlalu lekat dengan Matthijs de Ligt yang sudah mengawal pemain Chelsea. Sialnya lagi, Federico Chiesa juga telat untuk mundur dan menutup pergerakan James. Akhirnya, Wojciech Szczesny harus memungut bola dari gawangnya.

Selain koordinasi, Juventus juga rentan menghadapi serangan cepat dari lawan. Sebanyak 13 persen gawang Juventus kebobolan melalui skema serangan balik. Tidak adanya gelandang bertahan yang mumpuni menjadi salah satu penyebab rapuhnya lini belakang Juventus.

Apesnya, Atalanta yang akan menjadi lawan punya lini kedua yang sangat ciamik. Ruslan Malinovskyi dan Mario Pasalic punya umpan-umpan ciamik yang bisa dimanfaatkan oleh Duvan Zapata atau Luis Muriel. Bukan kebetulan pula, Pasalic menjadi pemegang top assist sementara bersama Nicolo Barella di Serie A dengan catatan lima kali.

Pergerakan Zapata yang dinamis juga bisa merusak koordinasi pertahanan Juventus yang buruk itu. Fbref mencatat, Zapata lebih banyak memegang bola di sepertiga pertahanan lawan dengan rata-rata 27,4 per 90 menit ketimbang di dalam kotak penalti yang cuma 10,4.

Atalanta memang apik saat memberikan tekanan ke pertahanan lawan. Namun, lini belakang mereka juga sangat rentan dibobol oleh lawan.

Kepergian Cristian Romero belum bisa digantikan oleh pemain lain. Musim lalu, Romero mencatatkan rata-rata intersep terbanyak Atalanta dengan 3,1 per laga. Rata-rata sapuan bek berusia 23 tahun itu juga di angka 2,2, terbaik nomor dua setelah Berat Djimisti.

Merih Demiral, yang digadang-gadang sebagai pengganti Romero, belum memperlihatkan performa yang baik. Pemain asal Turki itu cuma mencatat 2,46 intersep per 90 menit. Apesnya, Demiral kerap melakukan kesalahan individu yang membuat gawang Atalanta terancam.

Laga lawan Lazio di giornata ke-11 lalu menjadi contohnya. Demiral gagal melakukan intersep yang membuat Ciro Immobile berdiri bebas di dalam kotak penalti.

Beruntung bagi Atalanta, Juventus tak memiliki penyelesai peluang yang baik. Boro-boro menyelesaikan peluang, mendapatkan peluang saja mereka juga kesulitan. Hal ini dikarenakan tak adanya pemain kreatif di lini tengah Juventus.

Mereka terlalu mengandalkan Chiesa atau Juan Cuadrado dari sisi tepi untuk mengancam gawang lawan. Paulo Dybala memang bisa menjadi kreator di tengah. Namun, penggawa asal Argentina itu cenderung tak konsisten karena memiliki masalah dengan kebugaran.

***

Pertahanan rapuh dari kedua kesebelasan mengindikasikan pertarungan akan dihiasi dengan banyak gol. Apalagi, terakhir kali laga Juventus vs Atalanta berakhir tanpa gol terjadi sudah sangat lama, yakni pada musim 1996/97.

Untuk penonton netral, duel dua tim dengan pertahanan rapuh jelas bakal menghibur karena potensi akan terjadinya banyak gol itu tadi. Namun, ini tentu bukan hal menyenangkan buat pendukung masing-masing kesebelasan. Pertanyaannya sekarang: Tim mana yang bakal lebih banyak kebobolan?