Renaisans Mini di Artemio Franchi

Pemain-pemain Fiorentina jelang pertandingan melawan Inter, Rabu (22/9/2021) dini hari WIB.

Pada tahun ketiga kepemilikan Rocco Commisso, Fiorentina akhirnya bisa tampil menjanjikan. Di bawah asuhan pelatih Vincenzo Italiano, renaisans mini terjadi di Artemio Franchi.

Jika Fiorentina kadang tampak tergesa-gesa, itu karena mereka dipimpin oleh seseorang yang terbiasa ingin memiliki segalanya.

Rocco Commisso hijrah dari Calabria ke Pennsylvania ketika usianya baru 12 tahun. Commisso dan keluarganya pindah bukan karena mereka kaya raya. Sebaliknya, mereka melihat Amerika sebagai tempat untuk mengubah peruntungan. Setengah abad sudah berlalu sejak kepindahan itu dan kini Commisso telah menjadi seorang miliarder.

Tak satu sen pun uang yang dihasilkan Commisso itu berasal dari sepak bola. Dia memulai karier di Pfizer, lalu pindah ke Chase Manhattan Bank, kemudian ke Royal Bank of Canada, dan akhirnya ke Cablevision. Pada 1995, Commisso mendirikan perusahaan TV kabel yang membuatnya jadi miliarder seperti sekarang, Mediacom.

Commisso adalah potret ideal Mimpi Amerika. Datang dari negeri yang jauh, lalu membangun kesuksesan besar dari bawah. Akan tetapi, di lubuk hati yang terdalam, dia tetaplah bocah Italia, dan bukan bocah Italia namanya jika tidak mencintai sepak bola.

Pada awal 1970-an, ketika masih duduk di bangku kuliah, Commisso sempat hampir masuk ke dalam skuad Olimpiade Amerika Serikat. Dia dipanggil mengikuti seleksi mewakili Columbia University tetapi akhirnya tidak masuk dalam daftar final. Meskipun setelah itu hidupnya seperti jauh dari lapangan hijau, hati Commisso tak pernah berpaling.

Ketika Major League Soccer baru berdiri pada 1990-an, Commisso sempat ditawari untuk memiliki satu waralaba di Toronto, Kanada. Akan tetapi, tawaran itu ditolaknya. Commisso mencintai sepak bola dan dia ingin mengurusi langsung klub-klub yang dimilikinya. Setelah itu dia sibuk membesarkan Mediacom dan kesempatan kedua baru datang pada 2017.

New York Cosmos berada di ambang kebangkrutan ketika itu dan Commisso muncul sebagai penyelamat. Cosmos yang dimiliki Commisso itu memang bukan Cosmos yang dahulu pernah jadi tempat bernaung Pele dan Franz Beckenbauer. Akan tetapi, bagi Commisso, Cosmos adalah Cosmos, sebuah institusi penting bagi sejarah persepakbolaan Negeri Paman Sam.

Maka, pada 2017 itulah Commisso memulai kiprah sebagai pemilik klub sepak bola. Dua tahun berselang, kesempatan baginya kembali datang. Kesempatan yang datang pada 2019 ini lebih spesial karena melibatkan sebuah klub besar dari negeri asal Commisso: Fiorentina.

Sampai saat itu Fiorentina telah dipimpin Andrea dan Diego Della Valle selama 17 tahun. Pada 2002, Della Valle bersaudara menyelamatkan Fiorentina dari kebangkrutan dengan mengambil alih kepemilikan dari pengusaha film Vittorio Cecchi Gori. Di bawah ampuan Della Valle bersaudara, Fiorentina bangkit dari Serie C hingga akhirnya kembali jadi peserta reguler Serie A.

Namun, setelah 17 tahun, Della Valle bersaudara tak lagi memiliki sumber daya untuk memajukan klub. Beberapa kali Fiorentina menunjukkan performa mengesankan tetapi pada akhirnya mereka lebih kerap mengecewakan. Mereka terlalu mudah kehilangan pemain kunci dan semua berujung pada inkonsistensi. Pada musim terakhir Della Valle bersaudara sebagai pemilik, Fiorentina finis di urutan ke-16 Serie A.

Melihat itu, Commisso bergerak cepat. Ya, dia pernah menolak tawaran MLS untuk memimpin klub di Kanada karena ingin terlibat secara langsung. Pria kelahiran 1949 itu pun tahu bahwa, sebagai pemilik Fiorentina, dia takkan bisa selalu berada di Italia. Namun, Italia bukanlah Kanada. Italia adalah kampung halaman Commisso dan, pada musim panas 2019, dia resmi jadi pemilik Fiorentina.

***

Commisso punya ambisi besar di Fiorentina. Dia tak cuma ingin membuat tim ini kembali disegani, tetapi juga mengubah Fiorentina menjadi klub yang lebih modern. Salah satu target utamanya adalah membangun stadion serta markas latihan baru. Inilah yang membuat Fiorentina kadang tampak tergesa-gesa. Berulang kali Commisso mengeluhkan birokrasi Italia dan, dalam dua musim pertama, empat pergantian pelatih sudah terjadi.

Performa Fiorentina dalam dua tahun pertama kepemilikan Commisso memang belum memuaskan. Pada musim 2019/20 dan 2020/21, Fiorentina cuma bisa mengakhiri musim di posisi 13 dan 10. Awalnya Vincenzo Montella ditunjuk karena pernah membawa La Viola tampil menjanjikan. Akan tetapi, Montella ternyata sudah tak seperti dulu dan akhirnya digantikan oleh Beppe Iachini. 

Iachini bertahan sampai 2020, tetapi performa buruk membuatnya harus angkat kaki dan digantikan pahlawan dari masa lalu lainnya, Cesare Prandelli. Namun, lagi-lagi nostalgia tak membuahkan hasil untuk tim yang bermarkas di Stadio Artemio Franchi itu. Prandelli mengundurkan diri dan Iachini kembali ditunjuk jadi nakhoda klub di ujung musim 2020/21.

Menjelang musim 2021/22, Commisso memutuskan bahwa Fiorentina harus berprogres. Mereka tak bisa terus-terusan berharap pada Iachini. Itulah mengapa, mereka memutuskan untuk mengontrak Gennaro Gattuso. Penunjukan Gattuso itu masuk akal. Sebagai pelatih, dia sudah berhasil membawa Napoli juara Coppa Italia. Dia dipandang sebagai sosok yang mampu menaikkan level Fiorentina.

Akan tetapi, harapan tinggal harapan. Hanya 23 hari lamanya Gattuso bertahan sebagai pelatih Fiorentina. Pramusim saja ketika itu belum dimulai karena Piala Eropa masih digelar, tetapi Gattuso dan Fiorentina sudah berpisah jalan. Alasannya, Gattuso merasa Fiorentina tak mampu menghadirkan pemain-pemain yang dia inginkan.

Permasalahan dengan Gattuso itu sempat membuat kamp Fiorentina panik. Mereka memang bisa dengan cepat mengidentifikasi para kandidat pengganti, tetapi ada ketidakyakinan dalam pendekatan mereka. Menurut jurnalis RAI Sport, Sara Meini, Fiorentina sempat menjalin kontak dengan Paulo Fonseca dan Rafael Benitez. Padahal, di saat bersamaan mereka sudah hampir sukses menggaet Vincenzo Italiano dari Spezia.

Beruntung, Fiorentina akhirnya tetap bertahan dengan Italiano karena, ternyata, pelatih berusia 44 tahun itu sejauh ini mampu memberikan harapan baru bagi publik sepak bola Firenze.

Spezia memang cuma finis di posisi ke-15 musim lalu. Tak cuma itu, mereka pun jadi salah satu tim Serie A dengan pertahanan terburuk karena kebobolan sampai 72 kali. Namun, bagi klub seperti Spezia yang benar-benar baru pertama kali tampil di Serie A, itu bukan hal buruk. Bisa bertahan saja sudah merupakan prestasi bagi mereka dan keberhasilan itu tak bisa dipisahkan dari kepiawaian Italiano meracik strategi.

Italiano adalah sosok yang membawa Spezia promosi ke Serie A untuk pertama kalinya dan dia melakukan itu lewat cara bermain yang modern. Pressing adalah senjata utama Spezia tetapi cara mereka melakukan pressing tidak seperti, katakanlah, Liverpool atau Manchester City. Ada saat-saat di mana Spezia tampak seperti memarkir bus, tetapi di saat yang tepat mereka akan menekan lawan sampai mereka membuat kesalahan. Kesalahan itu kemudian dieksploitasi dan, hasilnya, 52 gol tercipta. Musim lalu, Spezia menjadi klub di luar 10 besar dengan produktivitas paling tinggi.

Apa yang ditampilkan Spezia musim lalu kembali terlihat di Fiorentina musim ini, tentunya dengan standar yang lebih baik karena La Viola punya pemain-pemain yang lebih baik pula. Sejak pertandingan pertama, Fiorentina sudah terlihat seperti tim yang direncanakan dengan baik.

Sepak bola Italiano adalah sepak bola menyerang. Selain melakukan pressing di saat dan area yang tepat, anak-anak asuh Italiano juga diminta untuk membangun serangan dari belakang. Pria kelahiran Karlsruhe, Jerman, itu secara spesifik meminta para bek tengahnya untuk turut menjadi playmaker.

Perubahan yang dilakukan Italiano sudah terlihat sejak di bursa transfer. Pemain-pemain yang tak sesuai dengan gaya bermainnya, termasuk kapten tim German Pezzella, disingkirkan. Sebagai gantinya, Italiano meminta direktur olahraga Daniele Prade mendatangkan Igor dari SPAL dan Matija Nastasic dari Schalke. Lucas Torreira juga belakangan didatangkan dari Arsenal untuk meremajakan lini tengah.

Menurut catatan Viola Nation, ada 42 pemain yang dilepas Fiorentina musim ini, baik secara permanen maupun pinjaman. Sebagai gantinya, ada 12 nama yang didatangkan. Tidak semua pemain yang terlibat dalam mercato itu merupakan pemain tim utama, tetapi memang tak sedikit pemain tim utama yang disingkirkan, mulai dari Pezzella tadi sampai Franck Ribery, Pol Lirola, Borja Valero, Valentin Eysseric. Pesannya singkat dan sederhana: Italiano ingin Fiorentina lebih energik.

Hasilnya sudah terlihat sejak pertandingan pekan pertama. Memang, Fiorentina kalah 1-3 dari Roma pada pekan tersebut. Namun, mereka mampu menyulitkan Roma dalam membangun serangan. Pressing ala Italiano tadi telah bekerja dengan baik di sebagian besar laga tetapi Roma memang lebih klinis dalam menyelesaikan peluang.

Usai kekalahan dari Roma, Fiorentina melaju tak terhentikan pada tiga laga berikut dengan meraih kemenangan atas Torino, Atalanta, dan Genoa. Sayangnya, pada laga pekan kelima, Rabu (22/9/2021) dini hari WIB, Fiorentina kembali harus menelan kekalahan, kali ini dari juara bertahan Internazionale.

Seperti halnya pada pertandingan melawan Roma, Fiorentina mampu membuat Inter kelabakan, terutama di babak pertama. Namun, konsentrasi, disiplin, dan tidak klinisnya penyelesaian akhir kembali membuat Fiorentina terkapar.

Pada babak pertama Fiorentina sangat dominan dan mestinya bisa mencetak lebih dari satu gol. Lalu, pada awal babak kedua, Fiorentina kehilangan konsentrasi dan kebobolan dua gol cepat. Setelah itu mereka gagal menjaga disiplin dan mendapat kartu merah kedua musim ini. Inter pun akhirnya mencetak gol ketiganya setelah Fiorentina bermain dengan sepuluh orang.

Dua kekalahan tersebut menunjukkan bahwa jalan Italiano dan Fiorentina masih sangat panjang. Ada hal-hal yang masih harus diselesaikan dan dicari solusinya. Akan tetapi, dari semua pertandingan yang telah dijalani, harus diakui bahwa Fiorentina adalah tim yang menjanjikan.

Italiano adalah pelatih yang berani. Dia berani bermain terbuka melawan tim yang di atas kertas lebih kuat. Selain itu, dia juga berani memilih pemain yang dirasanya lebih cocok untuk pertandingan tertentu. Sebagai gambaran, saat menghadapi Inter, Italiano menurunkan Marco Benassi sebagai bek kanan dan Nastasic sebagai bek tengah.

Biasanya, yang mengisi pos bek kanan adalah Lorenzo Venutti atau Alvaro Odriozola. Sedangkan, rekan Igor di sentral pertahanan biasanya adalah Lucas Martinez Quarta. Namun, khusus di laga melawan Inter, Italiano memilih komposisi yang bisa memainkan pakem semi-tiga bek di belakang untuk menegasi permainan Inter. Hasil akhirnya memang mengecewakan tetapi pada babak pertama Fiorentina amat sangat mengesankan.

Artinya, renaisans mini itu nyata adanya di Fiorentina dan para pendukung, juga Presiden Commisso, punya alasan untuk berharap banyak dari Italiano. Namun, di sisi lain, keberanian Italiano itu juga menyimpan risiko. Harus diakui, kualitas pemain Fiorentina masih di bawah Roma dan Inter, sehingga kemungkinan mereka kalah melawan tim yang lebih kuat akan selalu besar. Italiano perlu mencari keseimbangan dalam pendekatannya dan semua itu butuh waktu. Di situasi macam ini, rasanya Commisso tak perlu lagi bersikap tergesa-gesa dalam memimpin Fiorentina.