Retorika Hansi Flick di Balik Kejayaan Bayern Muenchen

Ilustrasi: Arif Utama.

Hansi Flick memiliki apa yang tidak dipunyai oleh Niko Kovac, Carlo Ancelotti, atau Pep Guardiola sekalipun: Cara beretorika dan berkomunikasi.

Ketika Hansi Flick ditunjuk sebagai pengganti Niko Kovac pada pengujung 2019, Bayern Muenchen sedang karam: Thomas Mueller resah karena mulai hilang tempat, Jerome Boateng hampir pasti hengkang pada Januari, lalu ada kecemberuan soal rumor gaji tinggi Lucas Hernandez, dan seterusnya.

Sederet masalah itu benar-benar menggambarkan Bayern sebagai FC Hollywood. Semua kian parah karena, di sisi lain, Kovac seperti tak punya kuasa. Media-media Jerman pernah bercerita bahwa para pemain senior mulai bersekongkol untuk mencari cara menyingkirkan si pelatih.

Namun, kita tahu bahwa takkan ada asap bila tiada api.

Salah satu rumornya, sejumlah pemain tak senang dengan pendekatan taktik yang Kovac terapkan pada laga-laga krusial. Laga melawan Liverpool di Liga Champions dua musim lalu, misalnya.

Para pemain merasa Bayern harus bermain lebih berani. Oleh Kovac, dalam dua leg Bayern bermain terlalu dalam. Pada leg pertama yang skornya 0–0 mereka tak punya peluang sama sekali. Leg kedua lebih parah. Bayern bukan cuma jarang menyerang tetapi juga kalah 1–3. Bayern tersingkir.

Perkara taktik itu beriringan dengan perangai Kovac yang buruk. Suatu kali para pemain melihat sang pelatih berbicara dalam bahasa Kroasia dengan beberapa staf. Para pemain curiga, Kovac sengaja menggunakannya karena tengah bicara hal-hal negatif soal mereka.

Ini bukan tanpa dasar. Pada 2018, Kovac pernah menyemprot Mats Hummels dan menyebutnya terlalu lamban. Hubungan keduanya memanas. Bahkan ketika Hummels hengkang, Kovac masih saja menggunakan nada-nada negatif dengan menyebut Hummels tak berani bersaing.

“Adanya kompetisi berarti pemain yang lebih baik yang bakal bermain. Mats tampaknya berpikir untuk pergi saja,” tutur dia.

Niko Kovac. Foto: Twitter @TheFFF84.

Gelar Bundesliga dan DFB-Pokal menyelamatkan musim Kovac. Namun, pada 2019–20, masalah membesar. Puncaknya adalah yang kamu baca pada paragraf awal. Kovac pun dipecat tak lama setelah kekalahan 1-5 dari Eintracht Frankfurt di Bundesliga.

Yang lantas menggantikan? Hansi Flick, yang sebelumnya menjabat asisten pelatih.

Dunia belum mengenal Flick kala itu. Bukan hal aneh sebab ia memang asing di level klub. Setelah menangani tim amatir Victoria Bammental dan Hoffenheim, karier kepelatihan Flick lebih banyak dihabiskan sebagai asisten. Yang pertama di Redbull Salzburg, berikutnya Timnas Jerman.

Para petinggi Bayern bahkan tak merencanakan Flick untuk solusi jangka panjang. Tadinya cuma untuk beberapa laga. Karena hasilnya ciamik, Flick diberi kesempatan sampai akhir musim. Kontrak itu akhirnya ditambah hingga 2023 karena yang Flick beri jauh melampaui ekspektasi.

Sebetulnya tak ada hal yang benar-benar revolusioner dari Flick. Orang-orang mengira dialah yang mengubah posisi Alphonso Davies menjadi bek sayap. Padahal, posisi itu sudah beberapa kali Davies emban di bawah Kovac.

Soal posisi David Alaba yang digeser ke pos bek tengah juga begitu. Hal serupa berlaku untuk Joshua Kimmich yang meninggalkan bek kanan untuk menjadi gelandang, posisi aslinya.

Yang Flick bawa lebih ke soal pendekatan bermain. Meski masih mengandalkan 4–2–3–1, Flick mengubah Bayern menjadi mesin pressing. Tiada lagi permainan reaktif ala Kovac. Bayern kini jadi tim yang proaktif sekaligus intens, dan semua itu seolah tergambar lewat lagak Flick di pinggir lapangan.

Ambil contoh laga melawan Barcelona musim lalu.

Kendati Bayern sudah unggul 5–2 hingga menit 60-an, sorot mata Flick begitu tajam. Bahkan ketika Robert Lewandowski dan Philippe Coutinho menambah keunggulan Die Roten menjadi 8–2, Flick seakan tak puas. Matanya masih intens menatap lapangan dan terus-menerus meminta anak asuhnya menekan.

Itulah mengapa, musim lalu, Bayern menjadi tim dengan intensitas pressing tertinggi kedua setelah Liverpool-nya Juergen Klopp.

Lewat cara itu Bayern menaklukkan Bundesliga, DFB-Pokal, dan Liga Champions. Musim berikutnya, gelar Bayern di bawah Flick bertambah lewat Piala Super Jerman, Piala Super Eropa, dan Piala Dunia Antarklub yang baru saja diraih Jumat (12/2/2020) dini hari WIB. Sextuple.

Walau begitu, intensitas pressing bukan satu-satunya hal spesial dari Flick.

***

Marc Roca punya segudang alasan untuk murka. Lebih dari sebulan berlatih di Sabener Strasse, ia tak kunjung mendapat debut di Bundesliga. Kesempatan baru datang pada akhir Oktober melawan FC Koeln. Roca tampil sebagai pengganti… pada menit 90.

Tak sekalipun dia menyentuh bola di sisa pertandingan.

Media lalu bertanya soal laga itu, juga tentang kesempatan yang minim sejak bergabung dari Espanyol. Roca menjawab dengan bilang bahwa ia bakal bersabar. Lagi pula, katanya, Flick sudah menjelaskan apa yang kurang dari dirinya, dan bagaimana ia memperbaiki itu agar bisa tampil lebih banyak.

Yang Roca terima tak ubahnya sebuah kritik. Jika terucap sembarang, bukan tak mungkin masalah muncul.

Bayern sudah pernah merasakannya dalam kasus Niko Kovac dan Mats Hummels. Bertahun-tahun sebelumnya, hal serupa juga terjadi dengan Luca Toni dan Louis van Gaal, Mario Goetze dan Pep Guardiola, lalu ada Carlo Ancelotti dan Thomas Mueller.

Namun, Flick adalah sosok komunikatif yang andal dalam beretorika. Sepelik apapun opini yang mesti diucapkan, segenting apa pun situasinya, Flick punya cara terbaik untuk menyampaikannya.

Itulah mengapa, tiada sebal dalam diri Roca. Ini juga berlaku pada Lucas Hernandez dan Javi Martinez, yang musim lalu sampai sekarang masih kesulitan menembus tim inti.

Tatkala masih menjadi asisten di Timnas Jerman, Flick jugalah yang bertugas sebagai penyampai pesan. Per Mertesacker, yang sempat geram setelah mendengar ucapan Joachim Loew yang bakal menepikannya saat melawan Prancis di Piala Dunia 2014, mampu diredam oleh Flick. Semua lewat kata-kata.

Ucapan penggawa Timnas Jerman di Euro 2008 dan Piala Dunia 2010, Arne Friedrich, di New York Times tahun lalu jadi cara terbaik untuk menggambarkan kemampuan retorika Flick. Dia bilang bahwa Flick mampu menyampaikan sesuatu secara efektif.

“Dia sangat terbuka, sangat jujur, bahkan untuk opini kritis. Dia selalu mengambil waktu untuk bersama pemain. Namun, bukan cuma soal ‘kerja, kerja, kerja’. Kemampuannya sangat otentik. Itulah kekuatan terpenting yang mesti dimiliki seorang pelatih,” tutur Friedrich.

Kemampuan retorika tak hanya soal cara Flick menyampaikan hal-hal pelik. Dalam banyak kesempatan, itu juga ia andalkan untuk menginspirasi para pemain.

Jelang final Liga Champions melawan Paris Saint-Germain, misalnya, Flick mengumpulkan para pemain di ruang ganti. Ia mengucap beberapa patah kata yang menurut Jerome Boateng adalah hal paling emosional yang pernah dia dengar sepanjang karier.

“Dia bisa menemukan kata-kata tepat yang sanggup menyentuh hati kami semua para pemain. Selain itu, dia juga menunjukkan video tentang keluarga kami," kata Boateng

"Ini benar-benar menjadi momen yang akan selalu saya kenang dalam hidup,” sambung dia.

Semua itu mengingatkan kita dengan Jupp Heynckes. James Rodriguez saja tak segan untuk bilang bahwa dia menyukai caranya berkomunikasi. Bahkan saat Bayern menawarinya kontrak permanen, James ingin Heynckes bertahan sebagai syarat, sesuatu yang tak kuasa Bayern penuhi.

Perkara retorika, salah satu pelatih Die Roten paling sukses dalam sejarah itu memang jagonya. Salah satu ucapan legendaris Heynckes terjadi pada akhir musim 2011–12, tepat setelah kekalahan menyesakkan dari Chelsea pada final Liga Champions di rumah sendiri.

Sambil berapi-api dia berkata, “Dengar, jika kita tidak sadar bahwa kita harus bekerja sebagai tim, dan jika kita semua tidak bekerja lebih keras dari sebelumnya, dan jika kita tidak memiliki hasrat yang lebih besar untuk sukses, tahun depan kita tidak akan memenangi apa-apa kembali."

Bak sihir, retorika itu mampu menyulap Bayern seketika. Setelah musim mengenaskan karena cuma menjadi runner-up di tiga kompetisi sekaligus, Heynckes berhasil membawa Bayern mengunci semua gelar yang tersedia pada 2012–13. Treble winner.

Prestasi itu kembali terulang lewat sosok berbeda tujuh tahun berselang. Meski begitu, metode yang mereka gunakan relatif sama. Seperti Heynckes, Flick juga punya ucapan sihir yang mampu menyulap Bayern menjadi tim menakutkan.

Sekali saja dia berucap, para pemain tak hanya bakal mendengarkan dengan seksama, tetapi juga akan berupaya mewujudkan semua ucapan tersebut.

“Hansi selalu tahu apa yang mesti dia katakan kepada pemain, terutama di saat-saat genting. Dia tahu cara menangani pemain,” ungkap Oliver Kahn, yang per 2022 bakal menjadi CEO Bayern.

Mengingat seorang Guardiola dan Ancelotti saja kesulitan meraup semua trofi, boleh jadi hanya sosok-sosok dengan kemampuan seperti Heynckes dan Flick yang bisa membawa Bayern terbang tinggi.