Revival Iago Aspas

@aspas10

Semua manusia punya kenangan pahit, semua. Iago Aspas salah satunya.

Pertandingan lawan Chelsea pada 27 April 2014 menjadi salah satu plot terburuk buat pendukung Liverpool. 

Kekalahan itu memupuskan gelar Premier League di depan mata. Steven Gerrard yang paling diingat. Gara-gara dia terpeleset, Chelsea sukses mencetak gol pembuka lewat Demba Ba.

Namun, Gerrard bukan satu-satunya biang kekalahan The Reds. Ada Iago Aspas yang juga jadi objek penderita. Brendan Rodgers memasukkan Aspas buat menambah daya gedor timnya. Apes, yang terjadi justru kebalikannya.

Semua dimulai dari eksekusi sepak pojok Aspas di injury time. Di sana para pemain Liverpool sudah memenuhi kotak penalti Chelsea.

Entah apa yang dipikiran Aspas, bukannya melepaskan umpan ke kotak penalti, dia malah menyodorkan bola ke Willian. Dengan cepat winger kriwil itu meneruskan bola ke Fernando Torres. Keduanya berlari tanpa adangan berarti.

Plung! Sepakan pelan Willian masuk ke gawang Simon Mignolet. Liverpool pun kalah 0-2 di Anfield. Ironisnya, gol-gol Chelsea lahir dari kesalahan pemain mereka sendiri.

Seburuk-buruknya blunder Gerrard, publik Liverpool masih bisa memaafkannya karena dia orang Merseyside asli dan sudah mengabdi di Liverpool selama belasan tahun.

Aspas tidak seperti Gerrard. Di Liverpool ia bukan siapa-siapa. Pemain Spanyol itu baru saja didatangkan dari Celta Vigo dan minim kontribusi pula. Lengkap sudah cerita sergut Aspas di Liverpool.

“Itu adalah pertandingan terakhirku dan kami kalah,” curhat Aspas kepada Sid Lowe pada 2017.

“Sebenarnya itu merupakan musim yang hebat bagi Liverpool--salah satu yang terbaik--meskipun aku ingin memainkan peran yang lebih besar. Namun, tendangan sepak pojok itu adalah kenangan terakhirku, jadi itulah citra abadi mereka tentang diriku."


Edisi 2013/14 itu beneran jadi momen terakhirnya bersama Liverpool. Aspas direntalkan ke Sevilla pada Juli 2014.

Blunder itu tidak bisa disebut sebagai alasan tunggal yang membuat Liverpool membuang Aspas. Faktanya performa pemain kelahiran Moana itu memang jauh dari kata ciamik. Cuma sebiji gol dibuat Aspas dalam 15 laga di lintas kompetisi. Itu pun saat Liverpool bersua klub sekelas Oldham Athletic di FA Cup.

Aspas memang kesulitan untuk beradaptasi di Inggris, khususnya soal bahasa. Belum lagi dengan cedera paha yang memaksanya menepi sebulan lebih.

"Dalam sepak bola Anda, tidak bisa selamanya hidup di masa lalu. Segalanya terus bergerak, hari berganti memberi Anda kesempatan untuk bangkit lagi," ucap Aspas.

***

Malam itu Aspas tak bisa tidur nyenyak. Dia gelisah, besok pagi adalah hari yang ditunggu-tunggunya. Untuk bocah Moana sepertinya, memakai seragam Celta Vigo adalah impian masuk akal. Mereka merupakan tim terbesar di Galicia, selain Deportivo La Coruna.

Makanya Aspas begitu antusias mengikuti seleksi pemain junior Celta. Segala cara dia lakukan, termasuk pemalsuan umur.

Seleksi hanya dibuka untuk pemain kelahiran 1986. Sementara, tahun lahir Aspas yang tercantum di kartu keluarganya adalah 1987. Artinya, ujian itu bukan untuk pemain seumurannya. Untungnya paman Aspas memberinya siasat untuk melancungkan usianya.

"Saya tidak bisa berhenti menangis. Saya yakin mereka tidak akan membiarkan saya mencoba. Kemudian paman saya mengatakan kepada saya: 'Bilang kamu kelahiran 1986, gitu aja.' Dan syukurlah saya melakukannya”, ujar Aspas.

Siasat Aspas berjalan mulus. Pihak Celta tak mengendus kebohongannya karena permainannya setara, bahkan lebih bagus ketimbang bocah-bocah yang berada setahun di atasnya.

Sore itu juga Aspas dihubungi manajemen klub. Dia diterima menjadi anggota akademi. Lantas gimana soal pemalsuan umur? Oh, itu tak jadi perkara. Yang penting Celta berhasil menemukan salah satu bakat terbaiknya.

***

Meski diiringi kegagalannya bersama Liverpool, Aspas masih tetap berlari. Kecintaannya kepada Celta membuatnya bangkit. Aspas memilih pulang ke Balaidos setelah semusim di Sevilla karena sedari awal Celta adalah rumahnya. Celta adalah tempatnya mengabdi sebelum merantau ke Inggris. 

Kalau sebelumnya Aspas sukses membawa Celta promosi ke La Liga, misinya kali ini lebih teruk: Menuntun Celta terbang di Liga Europa.

Aspas memang tak pernah mengecewakan Celta. Dia sukses membawa mereka semifinal Liga Europa 2016/17 dan Copa del Rey 2016/17. Aspas pula yang jadi topskorer Celta lewat 26 golnya di lintas kompetisi.

Pelatih silih berganti, para pemain datang dan pergi. Akan tetapi, Aspas masih memegang peran esensial buat Celta. Striker 33 tahun itu selalu menjadi produsen gol tertinggi. Rata-rata 18 gol dibuatnya di La Liga per musimnya.

Produktivitasnya masih kentara pada musim 2020/21 ini. Di pentas liga saja, Aspas sudah mencetak 9 gol. Jumlah itu hanya kalah 2 gol dari Lionel Messi sebagai topskorer sementara. 

Meski demikian, soal kontribusi kepada tim, Aspas menjadi yang tertinggi di La Liga. Sebesar 41 persen gol Celta lahir darinya.

Aspas juga bercokol sebagai pendulang assist. Enam assist-nya mengalahkan Karim Benzema serta duo Atletico Madrid, Angel Correa dan Kieran Trippier yang baru mengumpulkan 5 assist. Atas performa ciamiknya itu, Aspas diganjar anugerah Pemain Terbaik La Liga Desember.


Spesialisasi Aspas sebagai produsen gol sekaligus kreator serangan itu sudah tampak di musim-musim sebelumnya. Ambil contoh periode 2012/13, deh, sebelum hengkang ke Liverpool.

Kala itu Paco Herrera intens memasang Aspas sebagai striker tunggal dalam wadah 4-2-3-1. Meski begitu, pada praktiknya dia juga bermain melebar demi membuka ruang untuk lini kedua yang diisi Augusto Fernandez, Mario Barmejo, dan Michael Krohn-Dehli. Hasilnya tokcer. Aspas menutup musim dengan torehan 12 gol dan 7 assist walau Celta cuma finis di posisi 17, satu setrip di atas garis degradasi.

Sementara pada musim 2016/17, Aspas mengisi posisi yang berbeda. Dia dipasang sebagai winger kanan oleh Eduardo Berizzo. Kemudian pos penyerang diisi John Guidetti.

Menariknya, Berizzo menggunakan Guidetti sebagai pemantul di depan, bukan sebagai goal getter utama. Keputusan itu didasara oleh rerata tembakannya per laga yang tak mencapai angka 1. Bandingkan dengan Aspas, yang memang didaulat sebagai pelontar utama, tembakannya mencapai 2,4 per laga.

Sekali lagi, Aspas berhasil menjawabnya dengan gol-golnya. Jumlah lesakannya mencapai 19 atau nyaris lima kali lipat dari torehan Guidetti.


Secara garis besar, nilai jual Aspas adalah ketajaman dan daya kreasinya yang mumpuni. Kualitasnya makin paripurna karena skill dribelnya juga tokcer. Itu tertuang dengan rata-rata dribelnya yang mencapai 2 di tiap pertandingan, sekaligus yang tertinggi di antara koleganya.

Ada beberapa alasan yang membuat Aspas bisa berpendar di Celta. Pertama, tipe serangan mereka relatif fluid. Pelatih Celta, Eduardo Coudet, musim ini intens memakai pakem 2 striker yang semuanya bukan penyerang murni: Aspas dan Santi Mina. Alasan kedua, Aspas memang diberi kebebasan lebih, mulai dari pergerakan sampai pengambilan keputusan.

Kondisi itu bisa dilihat dari duel lawan Cadiz di pekan ke-13 La Liga. Pergerakan Aspas lebih dinamis ketimbang Mina, partner di lini depannya. Aspas aktif menjemput bola ke tengah. 

Tak hanya itu, dia juga jadi inisiator serangan Celta dari sisi sayap. Gol pertama yang dibikin Nolito juga lahir dari gotong royongnya dengan Aspas di tepi lapangan.


Tingginya kapasitas Aspas di Celta menjadi masuk akal. Terlebih, tim Biru-Langit itu memang tak punya pemain bintang lagi selain dirinya.

Kondisi itu jauh berbeda semasa Aspas masih di Liverpool. Pada musim 2013/14 itu, The Reds sudah punya Luis Suarez, Philippe Coutinho, dan Raheem Sterling yang tajam sekaligus lihai membagi peluang. Belum lagi dengan Gerrard dan Jordan Henderson dari lini kedua.

---
Semua manusia punya kenangan pahit, semua. Iago Aspas adalah salah satunya. Lacurnya karier Aspas di Liverpool tak serta merta mengartikannya sebagai pemain yang buruk. Toh, Aspas berhasil membuktikannya bersama klub masa kecilnya, Celta, dengan cara elegen: Menyelamatkannya dari degradasi berkali-kali dan menjadi topskorer Celta sepanjang masa.