Revolusi Leicester

Twitter @Leicester City

Terlalu naif untuk membandingkan Leicester sekarang dengan Leicester saat juara pada periode 2015/16. Namun, bukan mustahil bagi mereka untuk kembali berjaya di musim ini.

Setelah sekian purnama, Leicester City kembali memuncaki klasemen Premier League. Dini hari tadi mereka memang sudah tergusur Tottenham Hotspur dan Chelsea yang main lebih dulu. Namun, tetap saja start cemerlang Leicester pada musim ini layak diberi aplaus. Mereka berhasil mengumpulkan 18 poin dari 6 kali menang, termasuk kemenangan atas Manchester City dan Arsenal.

Tentu saja Brendan Rodgers punya andil besar dalam pencapaian ini. Dia masuk di tengah musim 2019/20 dan sukses membenahi performa Leicester yang amburadul. Leicester dibawanya finis di peringkat kelima pada akhir musim. FYI, itu jadi pencapaian terbaik mereka usai menjadi juara Premier League lima musim silam. 

Rodgers adalah tipe pelatih adaptif. Tak ada pakem identik yang rutin dia pakai, berbeda dengan Juergen Klopp dengan format 4-3-3 atau formasi tiga bek yang jadi favorit Antonio Conte. Rodgers lebih suka berusaha memaksimalkan SDM yang dipunyai timya ketimbang memaksakan idealismenya.

Lihat bagaimana Rodgers intens mengaplikasikan format 4-4-1-1 semasa menukangi Swansea, kemudian beralih ke 4-4-2 berlian kala hengkang ke Liverpool. Kala itu Luis Suarez dan Daniel Sturridge rutin mengisi barisan terdepan, sedangkan Raheem Sterling diplot sebagai penyerang lubang.

Periode pertamanya di Leicester juga unik. Rodgers 'cuma' meneruskan pola 4-1-4-1 dan 4-2-3-1 yang sebelumnya diadopsi Claude Puel serta Claudio Ranieri. Alasannya, ya, memang format itu yang paling cocok buat karakteristik pemain Leicester.


Terlalu naif untuk membandingkan Leicester sekarang dengan skuat Leicester saat juara pada musim 2015/16. Kini tinggal Jamie Vardy satu-satunya kartu as yang mereka punya. N'Golo Kante sudah hengkang ke Chelsea, pun dengan Riyad Mahrez yang hijrah ke Manchester City.

Rodgers tahu betul soal itu. Makanya dia tak mengadopsi mentah-mentah skema permainan Leicester di rezim Ranieri yang begitu direct. Rodgers cenderung menekankan penguasaan bola ketimbang menggunakan metode serangan balik. 

Dari 18 gol yang dibuat Leicester di Premier League musim ini, tak ada satupun yang berasal dari serangan balik. Sepuluh gol di antaranya bahkan berawal dari skema open-play, padahal Leicester menjadi tim kedua dengan gol counter attack terbanyak di Premier League musim lalu alias cuma kalah dari Liverpool.

Dengan pendekatan ball possession, artinya Rodgers membutuhkan pemain yang punya kemampuan olah bola ciamik. Tak terkecuali pemain belakang. Makanya Leicester berani menebus Wesley Fofana dari Saint-Etiene sebesar 30 juta poundsterling musim panas lalu. Pemain 19 tahun itu diplot sebagai alternatif Çaglar Söyüncü yang performanya lagi naik-turun serta Jonny Evans yang kian uzur.

Ada juga Timothy Castagne yang digaet dari Atalanta. Full-back Belgia itu bahkan sudah memproduksi 1 gol dan 2 assist sejauh ini. Not bad-lah buat menggantikan Ricardo Pereira yang tengah mengalami cedera panjang.

Perlu diingat bahwa Rodgers memang hobi melibatkan full-back saat membangun serangan. Lihat saja bagaimana dia membebaskan pergerakan Perreira dan Ben Chilwell di musim lalu. Meski sama-sama ofensif, keduanya punya karakteristik berbeda. Pereira dioptimalkan via kemampuan dribelnya, sementara Chilwell lebih aktif dalam melepaskan umpan silang. Hasilnya tokcer. Keduanya berhasil mengemas 6 gol dan 5 assist bila dikalkulasi.

Oke, Leicester memang sudah ditinggal pergi Chilwell ke Chelsea. Namun, bukan berarti mereka tak punya stok full-back potensial. Masih ada James Justin. Penggawa Inggris U-21 itu malah sudah menyumbang 1 gol sejauh ini. 

Tak hanya pemain muda, personel veteran juga diberikan tempat oleh Rodgers. Adalah Christian Fuchs yang dimaksud. Full-back kiri Leicester saat menjuarai Premier League itu kini intens mengisi pos bek tengah. Kemampuannya dalam mengolah bola jadi pertimbangan bagi Rodgers, terlebih Söyüncü masih kudu absen lantaran cedera. 

Lagi pula, catatan bertahan Fuchs cukup ciamik. Menyitat Whoscored, dio mengemas rata-rata 2,5 tekel per laga, tertinggi di antara seluruh pemain Leicester.

Sementara pada pos gelandang, opsi Rodgers relatif melimpah. Ada Wilfried Ndidi dan Nampalys Mendy yang bisa jadi alternatif saat berhadapan dengan lawan agresif. Kemudian Youri Tielemans dan Dennis Praet sebagai pilihan andai bersua musuh dengan garis pertahanan rendah. 

Sebagai gelandang progresif, keduanya bakal memudahkan tugas James Maddison sebagai kreator tim. Selain itu Rodgers juga memiliki beberapa pilihan sebagai tandem Vardy di sisi tepi. Ada Harvey Banes, Ayoze Perez, dan rekrutan anyar, Cengiz Uender.

Itulah mengapa para pemain Leicester tak begitu kagok saat Rodgers beralih ke skema 3-4-2-1. Alih-alih kalang-kabut, performa Kasper Schmeichel dkk. justru menanjak dengan pakem 3 bek itu. Setelah menaklukkan Arsenal, mereka menghajar Leeds United 4-1. Terakhir Wolverhampton Wanderers yang mereka tumpas 1-0.

Pertahanan jadi sektor yang mengalami eskalasi secara signifikan. Nyatanya Leicester cuma sekali kemasukan dari 3 duel terakhir Premier League 2020/21, padahal gawang mereka sebelumnya sudah 8 kali bobol pada 5 pertandingan awal.

Cukup masuk akal, sih. Format 3 bek ini akan berubah ke pakem 5 bek dalam mode bertahan. Belum lagi dengan kehadiran gelandang defensif macam Ndidi atau Mendy yang aktif melindungi backfour. Dengan begitu, tim lawan relatif kesulitan dalam membongkar pertahanan mereka.

Arsenal, misalnya, gagal memaksimalkan Dani Ceballos sebagai kreator dari lini tengah. Pemain pinjaman Real Madrid itu tercatat kehilangan penguasaan bola sebanyak 5 kali sepanjang pertandingan.

Hal yang sama juga dialami Leeds. Mobilitas Patrick Bamford tak cukup untuk mendongkrak permainan tim asuhan Marcelo Bielsa tersebut. Bahkan, winger Leeds, Jack Harrison, sampai 9 kali kehilangan penguasaan bola.

Tak hanya lini belakang Leicester yang makin kuat. Area ofensif mereka juga terkatrol dengan format dasar 3-4-2-1 ini. Pakem ini kian mengakomodasi bek sayap mereka untuk membantu serangan. Dengan begitu, dua pemain yang berada di belakang penyerang utama bakal semakin cair. Tambahan wing-back di sisi tepi bisa memberikan celah bagi mereka buat masuk ke jantung pertahanan lawan.

Belum lagi dengan kehadiran gelandang serbabisa macam Tielemans yang jeli dalam memanfaatkan peluang dari lini kedua. Golnya ke gawang Leeds lalu bisa menjadi acuan. Eks AS Monaco itu dengan cepat menyambar bola rebound hasil sundulan Vardy.

Itu tak ujug-ujug muncul. Momentum tersebut terkait erat dengan pemosisian Tielemans yang progresif. Kendati beroperasi sebagai gelandang tengah, dia diutus untuk aktif bergerak ke depan. Peran ini berbeda dengan Mendy yang aktif bermain lebih dalam.

Lantas, apakah Rodgers sudah tidak menerapkan serangan cepat yang jadi ciri khas Leicester? Enggak juga. Toh, pakem tiga bek ini justru bikin lini depan Leicester makin cair.

Lihat saja gol-gol Vardy ke gawang Arsenal dan Leeds. Semuanya lahir dari kecepatan 'penyerang kedua'. Di sinilah Rodgers menggunakan spesialiasi Uender dan Barnes: Betul, dua pemain yang unggul soal kecepatan. Demi mendongkrak kreativitas, Rodgers biasanya memilih Dennis Praet atau Maddison untuk mengisi satu slot di belakang Vardy.

Leicester bakal diadang Liverpool pada Senin (23/11). Kabar baiknya, sang juara bertahan itu sedang rimpuh sekarang. Tak ada Virgil van Dijk, Trent Alexander-Arnold, Joe Gomez, dan Jordan Henderson. Mohamed Salah juga positif COVID-19 dan harus absen dalam laga besok.

Dengan kondisi begini, mestinya Leicester bisa mencuri tiga angka di Anfield dan mengakhiri catatan buruk mereka atas Liverpool sejak 2017. Dan tentu saja, kembali merebut puncak klasemen Premier League dari tangan Tottenham.