Reyotnya Barcelona: Buruk dalam Bertahan, Messi dan Griezmann Ikut-ikutan Jadi Problem

Foto: Twitter @RonaldKoeman

Barcelona boleh meraih hasil sempurna di Liga Champions, tapi mereka kerepotan di La Liga. Sejumlah faktor menjadi pangkal dari problem di El Barca, termasuk tabrakan peran antara Lionel Messi dan Antoine Griezmann.

Melihat Barcelona pada musim 2020/21, mungkin kita semua hanya bisa garuk-garuk kepala. Mereka seolah menampakkan dua wajah di dua kompetisi berbeda, yakni di Liga Champions dan La Liga.

Di Liga Champions, Barcelona begitu digdaya. Dari tiga laga yang sudah dilalui, mereka meraih tiga kemenangan. Tidak tanggung-tanggung, Juventus juga mereka tundukkan dengan skor 0-2. Ferencvaros? Klub asal Hungaria itu mereka permak dengan skor 5-1.

Nah, jika di Liga Champions mereka tak terkalahkan, di La Liga Barcelona begitu rapuh. Bahkan, dalam lima laga terakhir La Liga, Blaugrana hanya mencatatkan satu kemenangan. Satu laga lain berakhir imbang, dan tiga laga lain berakhir dengan kekalahan.

Buntutnya, Barcelona sekarang berada di peringkat 12 klasemen sementara. Mereka tertinggal jauh dari rival-rivalnya macam Real Madrid maupun Atletico Madrid. Malah, mereka juga kalah dari Real Sociedad dan Villarreal yang merupakan kuda hitam di La Liga sejauh ini.

Start yang dicatatkan Barcelona musim ini jadi salah satu start terburuk mereka sejak musim 1991/92. Pada musim itu, Barcelona sempat terseok di awal musim. Namun, mereka sanggup bangkit dan keluar sebagai juara di akhir musim.

Lalu, apa yang menjadi penyebab buruknya penampilan Barcelona sejauh ini?

Taktik Bertahan Koeman yang Kacau

Ronald Koeman datang ke Barcelona dengan harapan. Mereka ingat bahwa dulu, Barcelona pernah berjaya saat ditangani eks pemain mereka sendiri, Pep Guardiola. Rival mereka, Madrid, juga merasakan kejayaan ketika ditangani legenda klub, Zinedine Zidane.

Belum lagi, Koeman datang ke Barcelona dengan segudang pengalaman yang ia dapat ketika melatih beberapa klub Eropa seperti Valencia, AZ Alkmaar, Southampton, dan Everton. Ia juga jadi sosok yang mampu membangkitkan Timnas Belanda dari keterpurukan.

Koeman, sebagai pelatih, sejatinya merupakan sosok yang fleksibel. Ia memang setia dengan pakem dasar 4-2-3-1, dengan double pivot andalan yang mampu jadi distributor bola sekaligus penekan lini tengah lawan. Namun, dalam sebuah tulisan di Coaches Voice, Koeman nyatanya bisa menerapkan banyak skema lain.

Ia pernah mencoba skema 3-4-1-2 saat di Southampton, serta 3-4-3 dan 3-5-2 di Everton. Formasi dasar 4-3-3 juga pernah ia coba di Timnas Belanda. Namun, semua skema dasar itu tetap merupakan pengembangan dari pakem 4-2-3-1 yang sering ia gunakan.

Dengan skema 4-2-3-1 ini, semestinya, beberapa pemain Barcelona mampu tampil maksimal, termasuk Lionel Messi, Philippe Coutinho, dan Antoine Griezmann. Terkhusus Messi, ia sejatinya bisa menjalankan lagi peran false nine, peran yang melambungkan namanya sebagai salah satu pesepak bola paling hebat sekolong jagat.

Foto: Twitter @RonaldKoeman

Namun, apa yang terjadi? Kekacauan. Dalam skema dasar 4-2-3-1 ini, Koeman mengandalkan double pivot selaku penekan, distributor bola, serta pelindung bek. Namun, kedua pivot-nya nyatanya rentan diekspos lawan.

Koeman belum berani untuk menepikan Sergio Busquets dari skuat. Padahal, area Busquets adalah yang paling rentan dieksploitasi lawan. Contoh nyata terjadi saat Barcelona melawan Real Madrid. Ketika itu, Federico Valverde dengan leluasa berlari ke area yang mestinya berada di bawah pengawasan Busquets. Hal itu berbuah gol pertama buat Madrid.

Dari situ, kita bisa melihat bahwa kecepatan dan kesadaran Busquets akan posisi lawan sudah tidak lagi sebaik dulu. Memang, rataan aksi tekel per laga dan intersepnya di Barcelona masih terbilang tinggi, yakni 1,6 kali dan 1,7 kali. Namun, ketika menghadapi lawan yang lebih kuat, Busquets kerepotan.

Selain itu, masalah juga kerap muncul di sisi sayap. Keleluasaan yang diberikan Koeman kepada para full-back untuk maju membantu serangan, terkadang menjadi bumerang. Contohnya terjadi pada laga lawan Atletico Madrid. Ketika itu, Yannick Carrasco mampu mengeksploitasi ruang kosong di sayap, sebelum akhirnya mampu mencetak gol.

Lawan sering menjadikan kekosongan di sayap ini sebagai titik serangan. Per WhoScored menunjukkan bahwa Atletico banyak menekan dari sayap saat menghadapi Barcelona, dengan jumlah 39% dari kiri dan 41% dari kanan. Eksploitasi pivot dan sayap inilah yang kerap membuat Barcelona kesulitan dalam bertahan.

Itu baru aspek pertahanan. Mari lanjut ke aspek penyerangan.

Tabrakan Peran Antara Messi dan Griezmann


Dalam tulisan Dermot Corrigan di laman The Athletic, disebutkan bahwa impak Messi dalam laga-laga besar sudah hilang. Secara tidak sadar, Messi menjadi satu dari problem Barcelona saat ini.

Apa yang menyebabkan Messi musim ini begitu bermasalah? Selain isu-isu yang membelitnya di luar lapangan, semisal dirinya yang akan pergi pada musim panas kemarin atau hubungannya yang kurang baik dengan Josep Maria Bartomeu, Messi juga kurang mendapatkan dukungan di atas lapangan.

Messi sadar bahwa kini ia sudah tua. Ia memilih untuk menjadi kreator serangan. Ia lebih senang ditempatkan di belakang penyerang dengan posisi no.10, dan membiarkan rekan-rekannya mengakhiri serangan. Sialnya, rekan-rekannya justru tidak bisa memaksimalkan kesempatan yang Messi buat.

Selain itu, Messi juga kerap bertabrakan peran dengan Griezmann. Mereka berdua sama-sama sering turun ke area sepertiga akhir untuk menjemput bola, tak ada yang diam di kotak penalti.

Heatmap Messi dan Griezmann pada laga melawan Atletico menujukkan keduanya malah tak ada yang intens berada di dalam (atau masuk ke) kotak penalti.

Heatmap Messi pada laga melawan Atletico. Foto: WhoScored.
Heatmap Griezmann pada laga melawan Atletico. Foto: WhoScored.

Alhasil, serangan-serangan Barcelona lebih banyak berisikan tusukan-tusukan dari sayap, ketimbang kombinasi apik antara Messi dan Griezmann, seperti yang pernah Messi tontonkan saat berkombinasi dengan Luis Suarez.

Awalnya, mungkin keberadaan Griezmann, Fati, Messi, dan Coutinho di lini depan akan membuat lini serang Barcelona eksplosif. Nyatanya tidak. Dalam beberapa laga, serangan mereka mampat.

Hal ini merupakan buah dari tabrakan pemain dengan kecenderungan menjalankan peran no.10 dalam satu tim. Tabrakan ini, merupakan salah satu buah dari kegagalan Koeman dalam menerapkan taktiknya.

***

Koeman memang pernah mengalami masa jaya di Barcelona sebagai pemain, yang membuatnya menjadi legenda di sana. Sama seperti Zidane yang juga pernah mempersembahkan trofi Liga Champions buat Madrid ketika masih jadi pemain.

Namun, menjadi pelatih tentu berbeda dengan menjadi pemain. Fleksibilitas dalam berpikir perlu disertai dengan kejelasan dalam memberikan peran kepada para pemain. Selain itu, ia juga harus berani melakukan revolusi di dalam skuat. Itu yang berhasil dilakukan Guardiola, sehingga Barcelona menjadi jaya ketika berada dalam asuhannya.

Jika ketidakjelasan masih menyelimuti instruksi yang diberikan Koeman, serta ia tidak berani melakukan revolusi, jangan heran jika Barcelona akan melalui perjalanan sulit musim ini.