Rooney

Foto: kivnl-Shutterstock

Jika Manchester United saja ditinggalkan dan perjalanan tak mentereng ditempuh, melatih Derby County tidak akan menjadi keputusan yang terlalu mengerikan bagi Wayne Rooney.

Pada mulanya adalah amukan Sir Alex Ferguson. Amukan itu tinggal dalam diri Wayne Rooney dan membentuk sebuah pengertian bahwa Sir Alex adalah ayah yang berubah rupa menjadi diktator di hadapan musuh anak-anaknya.

Sir Alex, para wartawan, dan mungkin Rooney ingat betul kejadian ini. Beberapa saat setelah bertanding melawan Bolton Wanderers pada 26 Desember 2004, Manchester United mengadakan konferensi pers. Tentu saja Sir Alex dan beberapa staf hadir di sana. 

Manusia--seberat apa pun beban hidupnya--memang gemar mencari penyakit. Alih-alih mengulik rencana United di tahun yang baru, seorang wartawan malah bertanya tentang keributan yang melibatkan Rooney dan bek Bolton, Tal Ben Haim.

Sorotan kamera menangkap Rooney mendorongkan tangannya ke wajah Haim. Akibat ulahnya tersebut, Rooney dihukum dengan tiga larangan bertanding oleh FA, dimulai dari duel melawan Middlesbrough pada 1 Januari 2005. 

Untunglah United menang 2-0 pada pertandingan melawan Bolton itu. Kalau tidak, suram benar Boxing Day "Si Iblis Merah".

Tadinya Sir Alex merespons pertanyaan itu dengan kalem. Sang manajer memaklumi Rooney tidak senang melihat Haim yang berlagak terluka parah, padahal, ya, begitu-begitu saja.

Namun, tanduk yang tersembunyi itu menyembul dari kepala Sir Alex begitu si wartawan berkata, “Saya rasa kita bisa menerima apa yang dilakukan Haim…”

Habis sudah semuanya. Siapa pun yang ada di ruangan itu sepakat bahwa di antara semua kata yang dimuntahkan Sir Alex dengan meledak-ledak, ‘fuck’ adalah kata yang paling sering mereka dengar.

“Kalian menyalibkan Rooney!” seru Sir Alex.

Lalu muncul wartawan lain, duduk paling depan pula, yang belum paham bahwa ia sedang berhadapan dengan sebenar-benarnya mara bahaya dan berkata, “Tidak ada satu orang pun yang menyalibkannya…” 

Jangan menyiram api dengan bensin. Orang-orang bule di Inggris sana rasanya harus mengingat pepatah ini baik-baik sebelum bicara dan bertindak. 

Kali ini Sir Alex tidak sekadar mengumpat dengan membabi buta. Tiba-tiba ia mengempaskan beberapa tape recorder milik wartawan yang diletakkan di meja tersebut ke dinding yang konon berjarak tiga meter dari tempat duduknya. Salah satu tape recorder yang rusak karena terbelah dua adalah milik Diana Law. Dialah yang ketika itu bertanggung jawab mengurus media United. 

Menurut Daniel Taylor, Oliver Kay, Laurie Whitwell, Andy Mitten, dan Rob Tanner yang menceritakan ulang kejadian ini di The Athletic, amukan tersebut luar biasa, bahkan jika kita menggunakan standar Sir Alex sendiri.

***

Amukan itu muncul sekitar empat bulan sejak kedatangan Rooney ke Old Trafford. Ketika itu Rooney masih hijau, butuh dua bulan lagi supaya umurnya jadi 19 tahun. Namun, semua orang tahu ada yang spesial dalam diri Rooney. Sir Alex tidak akan mungkin berkeras memilih Rooney jika ia tidak melihat potensi tersembunyi dalam diri remaja gempal berwajah garang itu. 

Rooney lebih dari sekadar bakat. Di antara banyak pemain muda bahkan bintang United, ia memiliki watak yang membuat Sir Alex bertekad untuk menggemblengnya habis-habisan.

Rooney adalah orang yang sederhana. Pikirannya lempeng. Dia tidak menggunakan kehebatannya untuk mendulang permata di tempat lain. 

Pemain Inggris ini bukan pesepak bola yang menghabiskan banyak waktu untuk memilih baju dan sepatu terbaik yang akan membuatnya tampak modis. Ia tidak memiliki pesona seperti David Beckham yang membuat jenama-jenama berebut mendapatkan tanda tangannya. 

Ia tidak memiliki ambisi untuk menikah dengan superstar. Rooney bukan pesepak bola yang ingin menjadi bintang di luar lapangan. Yang diinginkannya cuma satu: Menang.

Kesederhanaan itu membuat Rooney menjadi pesepak bola yang ‘mudah’ dibentuk oleh Sir Alex. Kalaupun berkonflik, seharusnya tidak akan berjauhan dari sepak bola. 

Foto: Melinda Nagy-Shutterstock

Manajer asal Skotlandia itu tidak harus menjalin hubungan spesial dengan Rooney. Semuanya serba-transaksional, murni sebagai pelatih dan pemain. 

Sir Alex tidak perlu menjadi seorang ayah bagi Rooney. Yang dibutuhkan Rooney bukan ayah, tetapi pelatih yang mampu membentuknya sebagai pesepak bola terbaik. 

Di mata Sir Alex, Rooney tidak memerlukan orang dewasa yang menepuk-nepuk kepalanya dan menempelkan stiker bintang emas atas pekerjaan rumah yang telah diselesaikannya. Rooney adalah pesepak bola yang membutuhkan teknisi genius yang sanggup merakitnya menjadi mesin gol tercanggih.

Jika bicara tentang Rooney, Sir Alex tidak berkewajiban menjadi sahabat yang hangat. Dia tahu Rooney mencari bos mafia yang bisa melatihnya menjadi pembunuh berdarah dingin di depan gawang lawan.

***

Penampilan Rooney di United sama sekali tidak mengecewakan. Ia adalah tandem sempurna bagi Ruud van Nistelrooy. Cristiano Ronaldo saja harus mundur, apalagi Alan Smith.

Satu-satunya persoalan yang membuat Sir Alex pening, lalu naik darah adalah Rooney belum siap menanggung privilese. Kemarin ditahbiskan sebagai pahlawan dengan mencetak gol kemenangan, hari ini ia menjadi cecunguk yang membuat departemen media United kelimpungan karena kedapatan bercinta dengan wanita lain saat sang istri hamil.

Ketidakmatangan itu tidak membuat Sir Alex meninggalkan Rooney, setidaknya sebelum pekan-pekan terakhirnya menjabat sebagai manajer United. Komitmen itu dipegang karena dia melihat Rooney sebagai pemain yang tidak takut apa pun. 

Roy Keane boleh menjadi pemain yang sanggup membuat kawan-kawannya bergidik ngeri. Namun, dengan tegas Rooney berkata, “Saya tidak takut Roy Keane. Tidak ada satu orang pun yang saya takuti.” 

Tidak satu orang pun ditakutinya menandakan bahwa kepada Sir Alex pun dia tak takut. Orang yang tidak takut pada Sir Alex adalah spesial. Di balik senyum khas bapak-bapak yang sesekali muncul dan ingatan panjangnya akan kawan-kawan lamanya, Sir Alex adalah sosok yang mengerikan. Dengan seenak udel ia akan mendepak orang-orang, termasuk pemain, yang dianggapnya merusak tim. Jaap Stam, David Beckham, Keane, dan Jim Leighton adalah buktinya.

Bertingkah sedikit saja Rooney bisa didepak. Namun, Rooney tetap dengan lempengnya menentang argumen Sir Alex. Dalam wawancara kepada Ben Fisher untuk The Guardian, Rooney bercerita bahwa mereka kerap berselisih. 

Rooney tahu bahwa Sir Alex adalah orang yang lantang mengkritik sebagus apa pun performa si pemain. Sudah tahu begitu, Rooney bukannya diam sehingga persoalan tidak tambah panjang. Setiap kali tidak setuju, ia akan selalu menjawab. Yang namanya Sir Alex tentu saja tak akan mudah menyerah saat ditentang orang lain. Ya, sudah, begitu terus sampai akhir zaman.

Keberanian Rooney tidak hanya terlihat dari kegigihannya berargumen melawan Sir Alex. Ia tidak takut untuk dibentuk menjadi seseorang yang bukan dirinya. Dalam kolomnya di The Times, Rooney menjelaskan bahwa sebenarnya peran naturalnya bukan pemain nomor 9.

Rooney muak ketika diganjar sebagai pemain terbaik dalam laga United melawan AC Milan. Saat itu, ia mencetak dua gol dengan perannya sebagai pemain nomor 9.

Peran itu membuatnya tidak bisa terlibat banyak dalam permainan. Kalau boleh memilih, ia lebih suka bermain sebagai pemain nomor 10, persis ketika bertandem dengan Ruud van Nistelrooy.

Berlaga sebagai pemain nomor 9 adalah keberanian untuk dipandang sebagai pemain malas, egois, dan minta dilayani melulu. Namun, Rooney tahu bahwa itulah yang dibutuhkan timnya. Suatu waktu Sir Alex pernah menilainya sebagai pemain yang bekerja terlalu keras. Rooney tak paham, ia pikir itu yang diinginkan pelatihnya.

Anggapan itu keliru. Timnya tidak butuh pemain yang berlari dari ujung ke ujung selama 90 menit, tetapi pemain yang dapat memanfaatkan peluang. Dalam sepak bola, peluang tidak selalu muncul dalam 90 menit. 

Rooney dengan ketajamannya dibutuhkan untuk memecah kebuntuan atau merebut kemenangan di menit-menit akhir. Itulah sebabnya, Sir Alex menuntut penyerangnya bersiaga di dalam kotak. Siapa tahu keadaan berbalik pada menit 90+2? Sepak bola mengenal waktu itu dengan nama The Fergie Time.

Keberanian untuk tidak memedulikan diri sendiri mengganjar Rooney dengan keabadian. Hingga kini, ia tercatat sebagai pencetak gol terbanyak bagi Manchester United: 253 gol dalam 13 musim.

***

15 Januari 2021, Rooney diangkat sebagai pelatih tetap Derby County. Meragukan perjalanan barunya dapat selaras dengan nama besarnya sebagai pemain adalah perkara lazim. 

Namun, selama yang melakoni perjalanan itu adalah Rooney, rasanya tidak ada yang perlu amat ditakutkan. Rooney meninggalkan Manchester United sambil menenteng cerita tak sedap. Hubungannya dengan Sir Alex justru merenggang begitu sang bos besar hendak meninggalkan Old Trafford. 

Ia tidak disertakan dalam daftar pemain--bahkan di daftar cadangan--pada laga perpisahan Sir Alex di Old Trafford. Spekulasi yang beredar, hubungan Rooney dan para petinggi United memanas, terlebih begitu muncul desas-desus David Moyes yang bakal menjadi suksesor Sir Alex.  


Tidak ada yang tahu selain Rooney sendiri apa yang berkecamuk dalam kepalanya saat Sir Alex berpidato entah di hadapan berapa ribu penonton di Old Trafford. Barangkali di hari itu orang-orang melihat Rooney sebagai anak yang dikhianati dan ditinggalkan ayahnya sendiri. Namun, mereka lupa Rooney tidak datang ke Old Trafford untuk mencari figur ayah. 

Ketika merasa tidak punya apa-apa lagi di sana, Rooney angkat kaki. Jika Manchester United saja ditinggalkan dan perjalanan tak mentereng ditempuh, melatih Derby County tidak akan menjadi keputusan yang terlalu mengerikan. 

Tidak ada satu pun yang dapat memastikan bakal seperti apa karier Rooney sebagai pelatih. Namun, pada akhirnya kita semua akan menyadari bahwa Rooney yang berdiri di Pride Park sama dengan Rooney yang berlaga di Old Trafford, Rooney yang tidak takut akan apa pun.