Runtuhnya Pendar Sepak Bola Eropa Timur

Foto: Twitter @edwardlemon3

Eropa Timur pernah jadi lawan sepadan (bahkan lebih unggul) bagi kekuatan sepak bola dari sisi Barat. Kini kedigdayaannya telah tiada. Langkah terjauhnya di Piala Eropa 2020 kali ini hanya diwakili Ukraina dan Ceko di perempat final.

Andai Uni Soviet masih utuh, mereka tak perlu repot memanggil Yuri Zhirkov yang sudah berumur 37 tahun karena punya Andriy Yarmolenko dan Ruslan Malinovskiy.

Jika Yugoslavia masih berdiri tegak di atas 7 bangsa, Luka Modric punya lebih banyak opsi untuk menyodorkan bola, apakah kepada Ivan Perisic, Edin Dzeko, Goran Pandev, atau Sergej Milinkovic-Savic.

Apabila Milan Skriniar dan Patrik Schick sama-sama berseragam Cekoslowakia, bayangkan kejutan-kejutan yang akan lahir dari permainannya.

Perandaian itu sepintas indah di lapangan, dan akan menimbulkan kerepotan terhadap skuad solid Italia, Inggris, Jerman, dan Portugal di Piala Eropa 2020. Mari bangun dari mimpi karena Uni Soviet, Cekoslowakia, dan Yugoslavia yang dahulu adalah koloni Eropa Timur telah jadi artefak sejarah. Mereka tercerai berai dalam puluhan negara, dan sisi barat Eropa adalah penguasa sepak bola Benua Biru.

***

Di Piala Eropa 2020, Eropa Timur mengirim Kroasia, Hongaria, Rusia, Ukraina, Makedonia Utara, Ceko, Slovakia, dan Polandia sebagai perwakilan, namun tak memberikan perlawanan berarti. Dari 16 tim yang lolos ke babak kedua, hanya 3 tim Eropa Timur yang lolos. Langkah mereka terhenti usai Ukraina dan Ceko terjungkal di perempat final.

Dalam sejarahnya, persaingan Eropa Timur dan Barat di sepak bola bukan cuma soal geografis yang memisahkan. Sepak bola ikut terseret dalam partisi Timur dan Barat di Benua Eropa yang berpangkal dari peristiwa Perang Dingin, adu dua kutub ideologi komunisme Uni Soviet dan koloninya melawan kapitalisme Eropa Barat yang berkumpul dengan Amerika Serikat.

Blok Timur dan Barat terbagi oleh garis imajiner yang dinamai Eks Perdana Menteri Inggris, Winston Churchill, sebagai The Iron Curtain. Sebuah tirai besi yang membujur dari sisi utara Eropa di Stettin (Polandia) hingga Trieste (Italia), menjadi batas negara-negara dua kubu Eropa.

Sisi barat adalah negara pengikut NATO seperti Jerman Barat, Italia, Inggris, Prancis. Kemudian di sisi timur untuk Uni Soviet, Yugoslavia, dan negara penyokongnya macam Hongaria, Polandia, dan Cekoslowakia.

Saat itu, dua kubu menjadi penentu hancur tidaknya muka bumi. Satu peluru saja meletup, maka Perang Dunia III tak terelakkan.

Perang Dingin memang sudah berakhir sejak 32 tahun lalu, dan Eropa hari ini tak mengalami suhu politik terlalu tinggi. Beberapa negara eks-Komunis juga telah bergabung ke Uni Eropa dan NATO. Namun, ingatan akan tensi tinggi hasil adu ideologi selama lebih dari 4 dekade masih membekas, dan membagi Eropa dalam dua imaji: Barat dan Timur.

Orang masih terus menyebut Rusia, Ukraina, Kroasia, Hongaria, Rumania, Republik Ceko, Slovakia, sebagai negara Eropa Timur. Kemudian Inggris, Prancis, Jerman, Spanyol, Portugal sebagai Eropa Barat.

Tapi pembagian yang terlanjur melekat bukan hanya soal geografis. Setiap urusan politik, sosial-budaya, ekonomi, hingga sepak bola, melakukan generalisasi penggolongan negara di Eropa dalam dua kutub tersebut.

Pembagian ini melahirkan kasta. Barat yang dianggap lebih makmur dan beradab, mengklaim kemajuan dibanding Eropa Timur yang kerap disebut sebagai negara konservatif, ekonomi menengah, dan korup.

***

Hongaria 1953 - Foto: Tibor Erky-Nagy/Fortepan

Eropa Timur bermain bola lebih baik di era komunis, bahkan saat ekonominya tak setajir negara Kapitalis Barat. Hongaria dan Cekoslowakia masuk final Piala Dunia 1954 dan 1962, kemudian Polandia juara tiga di Piala Dunia 1974 dan 1982, lalu Soviet juara Eropa 1960 dan Ceko-Slovakia di 1976. Di level klub, Spartak Moskwa, Partizan Beograd, Red Star Beograd, dan Steaua Bukares, menjadi momok di kompetisi Eropa.

Sepak bola modern harus berterima kasih pada warisan yang dipersembahkan orang-orang komunis Eropa Timur. Ketika kita melihat teknik tinggi pemain mendribel bola, semuanya adalah gaya pesepak bola dari wilayah Kaukasus. Ketelitian para pelatih mengatur siasat dan taktik memakai rujukan buku 'Tactics of Football' karya pelatih pertama Uni Soviet, Boris Arkadiev.

Yang paling mutakhir adalah Lev Yashin Best Men Goalkeeper dan Puskas Award, dua anugrah prestis FIFA, menarik saripati keagungan dua pemain sepak bola yang lahir dari kawasan ini. Hampir semua inspirasi sepak bola modern adalah Eropa Timur, termasuk kata inspirasi itu sendiri.

Besarnya sepak bola tak lepas dari sistem totalitarian Komunis. Dalam nalar komunis totaliter yang menjangkiti Eropa Timur saat itu, sepak bola adalah budaya hura-hura kelompok borjuis yang harus musnah dari ujung kaki hingga kepala. Tapi pemerintah Uni Soviet dan Yugoslavia memilih mengkhianati dogmanya dan menjadikan sepak bola sebagai corong propaganda.

Kemauan dan niatan baik pemimpin diktator Eropa Timur zaman itu begitu mengagumkan. Joseph Stalin memasukkan klub sepak bola seperti CDSA Moskwa sebagai bagian dari Angkatan Bersenjata, dan menempatkan Dynamo Moskwa di naungan Dinas Rahasia Soviet (KGB), menunjukkan perhatian Partai Komunis bagi sepak bola.

Dengan banyak pemimpin kepala batu dan tangan besi dalam satu kubu, tensi antara Stalin dan Tito berada di lapangan. Jonathan Wilson dalam bukunya ‘Behind the Curtain: Travels in Eastern Europe Football’ mengungkap, rezim Komunis tak pernah mau menganggap sepele pertandingan timnas. Jika yang bertemu adalah Uni Soviet dan Yugoslavia, perkaranya lebih tidak sepele lagi.

Saat Yugoslavia menang 3-1 melawan Soviet, koran di seantero Balkan langsung menampilkan tajuk utama “TITO 3 - 1 STALIN”. Stalin murka, lalu membubarkan CDSA Moskwa dan menghukum seumur hidup tiga pemainnya yakni Konstantin Kryzhevsky, Anatoly Bashashkin, dan Konstantin Beskov.

Sepak bola memang menjadi hajat hidup yang mengerikan pada saat itu, meski kengeriannya mau tidak mau diakui sebagai pemicu lahirnya talenta agung. Mereka amat percaya diri untuk tampil ke luar negeri, terutama ketika menyambangi Eropa Barat.

Pegiat sepak bola Eropa Barat sejatinya senang-senang saja menghadapi musuh politiknya dari timur di lapangan sepak bola. Mereka pikir, akan jadi tontonan menarik jika tim atau negara dari kedua kubu terus bertemu. Piala Dunia dan Olimpiade telah menunjukkan keseruannya.

Pada tahun 50-an, Eropa bercita-cita membangun federasi sepak bola kawasan. Federasi Prancis sebagai inisiator saat itu tak mau kalau yang bermain hanya tim-tim dari Barat. Pertemuan di Basel pada 1954 menjadi cikal bakal terbentuknya UEFA, punya nyali mengundang negara-negara Eropa Timur untuk datang dan duduk satu meja.

Namun, persamuhan antara negara Barat dan Timur bukan seremoni ramah tamah penuh canda tawa. FIFA tahu persis bagaimana delegasi Eropa Timur terus berulah dalam setiap pertemuan sepanjang tahun 50an. Melihat tensi politik yang mengotori FIFA, UEFA tak patah arang.

Tim dari blok Komunis ikut serta dalam Piala Eropa pertama di Prancis tahun 1960. Saat itu Perang Dingin cukup mendidih karena Perang Vietnam. Diplomasi pemimpin politik dari kedua kubu berlangsung sengit, sampai beberapa ogah bertemu. Tapi kompetisi tetap berlanjut.

Benar saja, Eropa Timur begitu digdaya pada Piala Eropa pertama. Laga final mempertemukan Uni Soviet dan Yugoslavia, dan perebutan juara 3 dimenangkan Cekoslowakia 2-0 atas tuan rumah Prancis. Dalam tujuh edisi Piala Eropa selanjutnya sampai edisi 1988 sesaat sebelum keruntuhan Uni Soviet, Eropa Timur bersaing dengan dua titel juara, dan hanya Piala Eropa 1984 yang tidak memiliki wakil Eropa Timur di semi final.

Bubarnya komunisme bukan hanya keruntuhan pemerintah otoriter yang menghidupi obsesi terhadap sepak bola, tapi juga soal ketersediaan dana. Tak ada lagi anggaran jorjoran untuk membangun tim. Belum lagi tercerai berainya Yugoslavia menjadi 7 negara ikut menghapus sepak bola Balkan dari peta persaingan.

Fasilitas olah raga mereka teronggok ketika komunis kolaps. Klub dibeli oleh oligarki yang gemar membeli pemain bintang, alih-alih memupuk talenta baru. Berbeda dengan rezim Komunis (walau berani tega-tegaan) masih cenderung merawat talenta muda.