Saat Bayer Leverkusen Mampu Pahami Keras Kepalanya Peter Bosz

Foto: Instagram @bayer04fussball

Apakah kombinasi keduanya mampu membawa Leverkusen mengakhiri musim ini dengan lebih baik?

Dalam tulisan kami sebelumnya, kami sempat menyinggung tentang Peter Bosz. Ia adalah penganut Cruyffian yang taat. Alhasil, ia cocok menangani Ajax Amsterdam. Ia mampu membawa Ajax ke babak final Liga Europa 2016/17, berbekal pemain-pemain seperti Davy Klaassen, Matthijs de Ligt, Hakim Ziyech, serta Davinson Sanchez.

Namun, laiknya kebanyakan penganut Cruyffian, Bosz adalah sosok keras kepala. Baginya, sepak bola yang menekankan penguasaan bola dan pressing tinggi adalah kunci. Kemenangan mesti didapat dengan cara yang indah. Hal itulah yang dalam beberapa kesempatan, menjadi bumerang bagi dirinya.

Di final Liga Europa 2016/17, Ajax kalah dari Manchester United yang mampu mengalahkan mereka dari segi taktikal. Ketika Bosz menangani Borussia Dortmund, ia juga tetap keukeuh memainkan possession football berbasis high pressing, ketika Dortmund dirundung hasil negatif di Bundesliga dan Liga Champions.

Dortmund tidak mampu bertahan dengan sifat keras kepala Bosz ini. Pada 2017, mereka memutuskan untuk tidak lagi bekerja sama dengan Bosz. Sosok asal Apeldoorn itu akhirnya tetap melanjutkan karier kepelatihannya di Bundesliga dengan menangani Bayer Leverkusen.

Apakah Leverkusen mampu memahami dan memberikan ruang bagi sifat keras kepala Bosz?

***

Bosz tetap membawa sifat keras kepalanya ke Bayer Leverkusen. Namun, kali ini, Bosz sedikit melunak. Dalam balutan formasi dasar 4-3-3 yang menjadi andalannya, Bosz berusaha untuk lebih memahami para pemain. Ia ingin para pemain ditempatkan sesuai dengan kemampuannya, sehingga pemain dapat menjalani perannya dengan baik.

Pada musim 2018/19, Bosz memiliki dua pemain andalan yang menjadi pemain kreatif di lini tengah, yaitu Kai Havertz dan julian Brandt. Kedua pemain ini ditempatkan di posisi gelandang kiri dan kanan dalam formasi 4-3-3, mengapit Charles Aranguiz yang menjadi poros tunggal.

Brandt nantinya akan menerobos serta mengeksploitasi lini pertahanan lawan, sedangkan Havertz menjadi distributor bola bagi Brandt, serta bagi tiga pemain depan Leverkusen. Dengan skema ini, Bosz sukses mengangkat performa Leverkusen. Mereka sukses mengakhiri musim 2018/19 di posisi empat.

Musim 2019/20, Brandt hengkang ke Dortmund. Tugas pengatur lini serang mutlak menjadi milik Havertz. Di musim tersebut, Bosz mulai menggunakan skema dasar 4-2-3-1 sebagai variasi dari 4-3-3, untuk memaksimalkan kemampuan Havertz sebagai penyambung lini tengah dan depan.

Tentu, gaya main menguasai bola dan high pressing tetap menjadi dasar dari permainan Leverkusen. Dengan skema baru sepeninggal Brandt ini, Havertz mulai mendapatkan atensi. Ia masuk deretan 10 pemain Bundesliga dengan rataan umpan kunci terbanyak dalam satu laga, yakni 2 kali.

Di musim yang sama, Leverkusen mampu mengakhiri musim di posisi lima. Mereka turun satu peringkat dari musim sebelumnya, dan berlaga di Liga Europa. Namun, sama seperti Brandt, Havertz juga akhirnya harus pergi di musim 2020/21 untuk bergabung Chelsea. 

Meski ditinggal Havertz dan Brandt, dua pemain kreatif yang menjadi motor serangan tim, filosofi bermain Leverkusen masih tidak berubah. Bosz, dengan sifat keras kepalanya ini, tetap mampu menemukan formula yang tepat untuk Leverkusen di musim 2020/21. Tentu, Leverkusen masih menjadi tim yang gemar menguasai bola dan menekan lawan tinggi-tinggi

Per Whoscored, Leverkusen jadi tim dengan persentase rataan penguasaan bola tertinggi ketiga di Bundesliga musim ini, yakni 58,1%. Mereka juga gemar menguasai bola dengan persentase umpan sukses mencapai 83,8%. Dari sini, terlihat bahwa Leverkusen tetap senang menguasai bola lama-lama, sesuai kegemaran Bosz.

Selain itu, yang juga tidak hilang dari Leverkusen selepas kepergian Brandt dan Havertz adalah daya serangan mereka. Total, Leverkusen mencetak 19 gol musim ini di Bundesliga (tertinggi kelima), dengan rataan tembakan tertinggi kelima di Bundesliga musim ini, yakni 13,7 kali.

Apa yang membuat daya serangan Leverkusen tetap terjaga? Jawabannya ada pada pola serangan yang diterapkan Bosz. Sebagai tim yang gemar menguasai bola, Leverkusen tentu senang memulai serangan dari bawah. Agar bola dapat dialirkan dengan aman menuju area sepertiga akhir lawan, mereka selalu menumpuk pemain di area tengah.

Perkara mengalirkan bola dari belakang, Leverkusen punya sosok Edmond Tapsoba. Ia menjadi pemain dengan rataan umpan per laga tertinggi di Leverkusen, yakni 93,4 kali, dengan persentase akurasi 90%. Ia jadi sosok yang bertugas mengalirkan bola ke Aranguiz, Kerem Demirbay, atau Nadiem Amiri yang menunggu di tengah.

Ketika bola mencapai area sepertiga akhir, Leverkusen kerap menggunakan centre atau half space dalam menembus lini pertahanan lawan. Sepeninggal Havertz dan Brandt, tugas ini jadi milik pemain muda lain, yakni Florian Wirtz. Ia kerap bergerak di area itu untuk menerima bola, lalu memberikannya kepada winger atau penyerang.

Untuk sisi sayap, bek sayap Leverkusen bukanlah bek sayap yang kelewat agresif dalam menyerang, Lars Bender, Daley Sinkgraven, atau Wendell kerap kali maju mundur bergantian, tidak terlalu jauh hingga ke lini pertahanan lawan. Untuk urusan menyerang lewat sayap, Leverkusen sudah punya Leon Bailey dan Moussa Diaby.

Diaby dan Bailey-lah yang akan jadi opsi melebar Leverkusen ketika menyerang. Mereka bisa melakukan cut-inside, memberikan umpan silang buat para penyerang, atau berkombinasi dengan Wirtz di area half space. Skema serangan Leverkusen yang vertikal, namun terkoordinasi inilah yang jadi senjata mereka sejauh ini.

Oiya, para pemain Leverkusen juga andal soal perpindahan posisi. Tujuannya, agar ada ruang tercipta di lini pertahanan lawan, sekaligus membingungkan lawan. Jangan heran jika kamu melihat winger tiba-tiba mundur ke belakang atau gelandang tengah maju ke depan. Semua bertujuan untuk membuat lawan pusing.

Lalu, bagaimana ketika bertahan? Tekanan tinggi tetap diterapkan untuk menekan garis pertahanan lawan. Namun, ketika lawan lolos dari tekanan itu dan berupaya melakukan progresi serangan, para pemain Leverkusen akan langsung berusaha menciptakan keunggulan di lini pertahanan sendiri, agar progresi serangan lawan terhenti.

Keunggulan ini akan ditempatkan di beberapa area yang menjadi titik pusat serangan lawan, entah itu sayap atau area sepertiga akhir. Tidak lupa, para pemain Leverkusen juga akan menekan distributor bola lawan. Dengan begitu, lawan akan terkepung dan mereka tidak akan bisa menyerang.

Sejauh ini, hal itu sukses diterapkan Leverkusen. Mereka jadi tim dengan catatan kebobolan terendah di Bundesliga dengan torehan 9 gol, sama seperti RB Leipzig. Catatan ini menunjukkan bahwa Leverkusen mampu menjinakkan serangan lawan dalam mode apa pun, setidaknya hingga pekan 10 Bundesliga 2020/21.

***

Menilik perjalanan Leverkusen di musim 2020/21, tampak jelas bahwa Bosz masih menjadi penganut Cruyffian yang taat. Tidak cuma menerapkan possession football dan high pressing, ia juga menerapkan permutasi posisi ketika menyerang. Hal itu sesuai dengan apa yang diterapkan Johan Cruyff saat menjadi pelatih.

Namun, bedanya dengan Dortmund, Leverkusen mampu memahami sifat keras kepala Bosz ini. Malah, mereka memfasilitasi kekeras kepalaan Bosz dengan pemain-pemain yang memang punya potensi besar, macam Wirtz, Bailey, serta Tapsoba. Mereka juga memberikan keleluasaan bagi Bosz untuk berekspresi di tim.

Berkat kepercayaan dan pemahaman yang diberikan Leverkusen, Bosz juga melunak. Ia memang tetap ingin menerapkan skema menyerang, namun ia menyesuaikan itu dengan materi pemain yang dimiliki. Fase klik inilah yang, hingga kini, membuat Bosz dan Leverkusen tampak seperti pasangan serasi.