Saatnya La Beneamata Menjaga Ritme dan Tempo

Foto: Twitter @Inter.

Belum waktunya Inter untuk mengendurkan ritme dan tempo. Sebaliknya, ini waktunya mereka melepaskan diri dari kata-kata melenakan seperti "good job".

“There are no two words in the English language more harmful than ‘good job’.”

Terence Fletcher adalah guru bengis. Baginya, tidak ada yang namanya setengah-setengah: Jadi luar biasa atau angkat kaki sekalian.

Karena tidak percaya terhadap kemediokeran, ia mengasah murid-muridnya bermusik dengan keras. Jika tempo yang ia kehendaki tak ia dapatkan, ia tidak segan menghardik atau menghina. Kursi pun, kalau perlu, ia lempar ke wajah si murid.

Bagi Fletcher, pujian adalah racun. Makanya, ia geli betul mengeluarkan pujian atau sekadar mengucapkan “good job” manakala ada muridnya yang mencapai sedikit kesuksesan.

Fletcher cuma mau tahu murid-muridnya berprogres sampai mencapai titik tertinggi. Oleh karena itu, alih-alih memberikan pujian, dia memilih untuk terus meneror dengan bentakan.

Baginya, bentakan itu adalah sebuah pecut. Selayaknya musik jazz dengan tempo yang ketat—dan acapkali cepat—tidak ada waktu untuk terlena.

Lantas, jika Inter yang baru saja menjadi juara Serie A merasa bahwa itu adalah “good job”, sebaiknya mereka berpikir ulang. Memutus dominasi tahunan Juventus bukanlah sebuah ujung.

Semuanya bakal sia-sia belaka kalau ritme dan tempo mereka mendadak kendur, tepat ketika momentum sedang bagus-bagusnya.

***

Yang terpenting dari keberhasilan menjadi juara liga adalah bagaimana menghadapi hari berikutnya. Euforia dan perayaan bisa berlangsung seharian atau seminggu penuh, tetapi habis itu selesai.

Yang tersisa selanjutnya adalah kenyataan: Sebagai juara bertahan, mau tak mau kamu punya kewajiban untuk mempertahankan trofi yang baru saja kamu raih. Kalau lawanmu menggeliat, masa kamu diam saja?

Antonio Conte, dengan segala reputasi yang ia bangun sejak menangani Juventus, adalah pria keras kepala. Pada satu pertandingan, ia pernah tertangkap kamera berteriak tanpa henti, sementara pelatih lawan di sebelahnya anteng-anteng saja. Padahal, tim Conte sedang memimpin, sementara sang lawan sedang tertinggal.

Ketika Conte memprotes para bos Juventus bahwa ia bermain di Liga Champions selayaknya orang dengan duit 1 euro yang masuk restoran 100 euro, ia tidak memberikan sindiran belaka. Sebaliknya, itu menunjukkan bahwa ambisinya tak bisa dipendam begitu saja.

Kendati begitu, Conte bukanlah orang yang saklek-saklek amat. Manakala menghadapi masalah, ia akan bersikap pragmatis dan buru-buru mencari solusinya. Italia-nya pada Euro 2016 dan Chelsea-nya pada 2016/17 adalah bukti bahwa sekalipun ia adalah sosok keras, Conte masih mau berkompromi demi mendapatkan hasil terbaik.

Lantas, kalau yang ada di hadapannya adalah sebuah tim dengan potensi tak main-main, terang saja dia tidak akan bersikap penuh kompromi lagi. Sebaliknya, dia pasti akan berusaha supaya timnya memenuhi potensi tersebut.

Inter adalah tim itu. Ketika Conte mengambil alih kursi kepelatihan pada awal musim 2019/20, ia menyebut bahwa ini adalah pekerjaan terberatnya. Padahal, Inter finis di posisi keempat pada musim sebelumnya—tidak jelek-jelek amat.

Padahal, ia pernah membawa Juventus menjadi juara pada musim perdananya, setelah sebelumnya klub asal Turin itu cuma finis di urutan ketujuh. Di Chelsea, pencapaiannya malah lebih hebat: Membawa The Blues menjadi juara liga pada musim perdananya setelah sebelumnya klub asal London Barat itu cuma finis di urutan ke-10.

Masalahnya, Conte tahu bahwa untuk menjadi juara dan memutus dominasi Juventus bukan pekerjaan bangun candi dalam satu malam. Butuh progresi bertahap. Di Inter, ini adalah perkara mendatangkan kestabilan lebih dulu.

Inter, pada 2019/20, memang memulai dengan baik. Enam kemenangan beruntun mereka kumpulkan pada enam pertandingan pertama. Lalu, datang kekalahan dari Juventus pada pekan ketujuh.

Setelahnya, Inter mendapatkan serangkaian pukulan dan pelajaran; kekalahan dari Lazio dan Juventus pada Februari dan Maret 2020, tersungkurnya mereka di posisi keempat ketika liga menyisakan tujuh pekan, dan sejumlah inkonsistensi permainan lainnya.

Melihat itu, pencapaian Inter yang cuma ketinggalan satu poin dari Juventus pada klasemen akhir Serie A sesungguhnya layak mendapatkan pujian tersendiri. Sementara Juventus mulai memasuki siklus, Inter justru mendapatkan momentum.

Maka, sekalipun perjalanan mereka dari September hingga November diwarnai berbagai kekecewaan—tiga hasil imbang dan satu kekalahan dari sembilan laga—termasuk juga kabar bahwa posisi Conte mulai goyah, La Beneamata kudu dilihat dari sudut pandang yang lebih luas.

Keputusan yang tepat dalam bursa transfer menunjukkan bahwa Inter berhasil memperkuat beberapa sektor yang bakal menjadi pos krusial dalam skema Conte. Salah satunya adalah Achraf Hakimi.

Kedatangan Hakimi membuat Inter memiliki kedalaman yang cukup dari sektor sayap. Selain Hakimi, Inter juga memiliki Ivan Perisic, Ashley Young, dan Matteo Darmian. Di antara keempatnya, Hakimi dan Perisic adalah yang paling impresif.

Catatan situs Understat menunjukkan bahwa Hakimi rata-rata membuat 1,27 umpan kunci per 90 menit. Torehannya makin impresif dengan 7 gol dan 6 assist sampai pekan ke-34 Serie A.

Di sisi lain, Perisic rata-rata membuat 1,51 umpan kunci per 90 menit dengan torehan 3 gol dan 4 assist. Baik Hakimi maupun Perisic sama-sama memiliki jumlah assist yang sedikit lebih tinggi dari xA (expected assist) mereka—Hakimi 5,87 xA, sedangkan Perisic 3,98 xA.

Namun, mengingat Conte amat mengandalkan para pemain sayap untuk ikut mengkreasikan peluang dan, dalam beberapa kesempatan, memecah kebuntuan lewat gol, hanya Hakimi yang masih berkepala dua. Pada 4 November tahun ini, Hakimi baru akan menginjak usia 23 tahun.

Di sisi lain, Perisic (32), Young (35), dan Darmian (31), perlahan-lahan mulai memasuki senja karier mereka. Untuk melanjutkan dominasi mereka di Serie A, termasuk membagi fokus di Liga Champions, ada baiknya Inter memperhatikan ini.

Sisi lain yang patut menjadi perhatian adalah bagaimana cara Inter melindungi lini pertahanan mereka. Pada November 2020, The Flanker menggarisbawahi kemampuan lini tengah Inter dalam melindungi back-three mereka, mengingat para wingback cukup sering naik membantu serangan.

Marcelo Brozovic, yang acap dipasang di area sentral pada lini tengah, sebetulnya punya catatan yang tidak buruk. Per WhoScored, Brozovic masih mampu membuat rata-rata 1,3 intersep dan 1,7 tekel sukses per laga.

Tak ketinggalan, Inter perlu memperhatikan performa Samir Handanovic. Sampai pertandingan melawan Spezia, April 2021, kiper berusia 36 tahun itu sudah membuat 3 kesalahan yang berujung jadi gol lawan. Menurut WhoScored, itu adalah jumlah terbanyak di Serie A sepanjang 2020/21.

Selebihnya, Inter relatif aman. Kehadiran Romelu Lukaku, lengkap dengan Lautaro Martinez dan Nicolo Barella, semestinya sudah cukup untuk lini depan mereka saat ini.

Tentu saja, semuanya kembali ke bagaimana sikap para bos besar Inter menyikapi momentum bagus ini. Sejumlah laporan, termasuk dari BeIN Sports, menyebut bahwa Conte bakal bertemu petinggi klub untuk membahas apa yang bisa mereka lakukan untuk memperkuat tim musim depan.

***

Jauh sebelum meraih trofi juara Serie A musim ini, Inter melaju kencang. Dari bulan Desember 2020 hingga Mei 2021, mereka hanya menelan satu kekalahan. Ritme dan tempo ini, tentu saja, sayang kalau sampai terganggu.

====

Catatan Penulis: Karakter Terence Fletcher hadir dalam film pemenang sejumlah penghargaan pada Academy Awards 2014, ‘Whiplash’. Tonton kalau Anda belum sempat menyaksikannya.