Sajak Manis Emmanuel Dennis

Foto: @dennisblessed42

Dennis awalnya bermimpi menjadi seorang pendeta. Kemudian segalanya berubah saat memilih jalan sebagai pemain sepak bola. Mulai dari membuat Santiago Bernabeu bergema, menjadi jagoan Watford, serta idola para manajer FPL.

Emmanuel Dennis tumbuh dalam keluarga yang taat bergama. Pergi ke gereja menjadi rutinitasnya. Saking taatnya, dia sampai bercita-cita menjadi seorang pendeta. Di saat yang bersamaan, Dennis menghabiskan sebagian waktunya untuk bermain bola. Celakanya, dia terlalu jago untuk itu. Kemampuannya di atas rata-rata. Orang-orang sampai menganjurkannya untuk menata mimpi pemain profesional.

Dennis berada di persimpangan. Usianya masih 14 tahun tahun waktu itu yang berarti dia harus mulai memilih jalan hidupnya. Ini bukan sekadar sepak bola atau menjadi pendeta, tetapi juga meninggalkan sekolah. Pada awalnya orang tuanya tak menyetujui pilihan tersebut. Namun, merekalah yang kemudian mendorong Dennis sampai di titik ini. Ya, sesuatu seharusnya tak akan pernah disesali.

***

“Saya sangat terkesan dengan penampilannya. Dia sangat cepat, dia bisa mencetak gol sekaligus membuat banyak assist untuk kami. Saya harap dia bisa terus seperti ini. Dia masih muda dan mampu menghasilkan gol,” ucap Claudio Ranieri kepada Sky Sports.

Dua tahun sebelum pujian itu datang kepadanya, Dennis sudah mencuri perhatian dunia. Saat itu Dennis masih bermain untuk Club Brugge dan mencetak gol ke gawang Real Madrid. Tak tanggung-tanggung, dia membuat dua, di Santiago Bernabeu pula. Semakin paripurna karena Dennis menirukan seleberasi ’Sii’ yang merupakan trademark Cristiano Ronaldo. 


Kendati fenomenal, Brugge tak benar-benar menginginkannya. Dennis sempat direntalkan ke FC Koeln pada musim dingin 2020. Langkah yang salah. Koeln tak benar-benar menginginkannya. Di Bundesliga, Dennis cuma mentas 475 menit dan nihil gol.

Direktur olahraga Koeln, Horst Heldt, menyesali keputusannya mendatangkan Dennis. “Itu adalah transfer yang buruk, itu adalah tanggung jawabku,” ungkap Heldt kepada German Sport

Pada musim itu Koeln memang payah. Sebelum Dennis datang, The Billy Goats sudah terseok di zona degradasi. Manajemen klub juga pasif. Mereka tak buru-buru mengganti ramuan taktik Markus Gisdol yang sergut. Koeln baru menggantinya dengan pelatih anyar jelang enam pekan sebelum musim 2020/21 usai. Alhasil mereka finis di zona degradasi. Untung saja Koeln menang lawan Holsten Kiel pada laga play-off degradasi dan tak jadi terlempar ke Bundesliga 2

Pada 21 Juni 2021, Dennis meresmikan kepindahannya ke Watford. Permainannya yang dinamis itu sesuai dengan karakteristik penyerang yang diinginkan Xisco. Itu juga yang menjadi alasan arsitek Spanyol tersebut memboyong Joshua King pada jendela transfer yang sama.

Akan tetapi, tak lantas semuanya berjalan mulus. Xisco belum cukup kenyang pengalaman sebagai pelatih. Usianya baru 41 tahun dan Watford merupakan klub terbesar yang pernah dia urus. Sebelumnya Xisco hanya membesut tim gurem macam Pobla Mafumet dan Dinamo Tbilisi. Hal ini pula yang kemudian memengaruhi performa Dennis di Watford. Total 2 gol dibuatnya hingga Xisco dipecat pada awal Oktober.

Pelatih adalah salah satu faktor kesuksesan pemain. Bagaimana taktik yang dipakai, serta kecocokan strategi dengan posisi dan peran pemain. Dennis, akhirnya mendapatkannya dari Ranieri.

“Dia manajer yang sangat berpengalaman, dia pernah memenangi Premier League. Kamu bisa melihat mentalitasnya soal kerja keras dan keinginan untuk memberikan segalanya di lapangan. Seperti yang kamu lihat, memberi dampak positif bagi tim,” kata Dennis.

Titel Premier League bersama Leicester City adalah pencapaian terbaik Ranieri. Pun dengan tiga gelar yang disabetnya semasa membesut Valencia. Namun, juga jangan lupa bahwa Ranieri merupakan spesialis penyelamat klub-klub semenjana di liga top Eropa.

Pada Serie A 1990/91, Ranieri sukses menyelamatkan Cagliari dari degradasi. Padahal, dua tahun sebelumnya dia masih menuntun mereka di Serie C. Demikian pula Parma yang diangkat Ranieri dari dasar klasemen pada periode 2006/07. Tak ketinggalan, Sampdoria dua musim silam. Deretan pencapaian di atas membuktikan bahwa Ranieri bukan pemain sembarangan.

Misi Ranieri di Watford masih sama: Mempertahankan klub agar tak derdemosi. Dari sana dia mencoba memaksimalkan SDM yang tersedia. Dennis yang kemudian menjadi tumpuannya.

“Saya suka pemain seperti ini (Dennis), pemain universal, jadi saya bisa mengubah beberapa posisi selama pertandingan dari dia, King, Cucho… dengan banyak pemain di depan. Bagi saya itu fantastis,” ungkap Ranieri.

Di bawah arahan Ranieri, Watford lebih bermain melebar. Penyerang tunggal dalam format 4-1-4-1 diutus untuk bergerak vertikal. Itulah mengapa Dennis cocok dalam sistem ini. Kendati punya posisi natural sebagai striker, dia mafhum beroperasi sebagai winger. Ini memudahkannya bertukar posisi dengan King yang memiliki karakateristik serupa dengannya.

Toleh saja penampilan ciamiknya saat Watford menggebuk Manchester United 4-1 November lalu. Dennis berkontribusi atas 3 gol The Hornets malam itu (1 gol dan 2 assist). Skema gol pembuka yang dibuat King lahir dari pemosisiannya di tepi kiri. Sementara lesakan Joao Pedro diawali dari umpan Dennis di sisi kanan. Ini membuktikan kapabilitasnya sebagai penyerang fluid. Bukan sekadar ngepos di kotak penalti, tetapi juga bergerak dinamis ke sisi tepi.

Apa yang membuat Dennis spesial adalah skill sebagai inisiator dan eksekutor peluang yang sama bagusnya. Ini tergambar dari torehan 8 gol dan 6 assist-nya di liga. Mengacu Understat, catatan xG Dennis surplus 4,56. Jumlah ini menjadi yang terbaik di antara 10 pencetak gol terbanyak Premier League sejauh ini.

Bukan cuma dalam aksi ofensif Ranieri mengandalkan Dennis. Dia juga memfungsikannya sebagai komponen penekan lawan. Sebab, pressing menjadi salah satu aspek yang membedakan Watford sekarang dibanding era Xisco. Sebagai komparasi, rata-rata pressures sukses Ranieri di sembilan laga awalnya menyentuh 4 per 90 menit. Jauh meninggalkan catatan Xisco yang hanya 2,8.

Metode pressing Ranieri ini dicanangkan sejak garda terdepan. Maka tak heran kalau Dennis juga kebagian tugas untuk meredam serangan lawan. Fisik atletis serta kecepatan yang dia miliki menunjangnya untuk melakukan itu. Menyitat WhoScored, Dennis mencatatkan rata-rata 1,8 tekel per laga. Tak ada penyerang di Premier League yang melebihi catatan itu.

Well, sebegitu pentingnya keberadaan Dennis untuk Watford sekarang. Saking vitalnya, mereka sampai tak memperbolehkannya pergi ke Piala Afrika yang digelar pekan depan. Bila itu terjadi, Watford bakal kehilangan Dennis setidaknya 10 hari atau tiga pertandingan (termasuk duel versus Leicester di Piala Liga). Watford sendiri berargumen bahwa Federasi Sepak Bola Nigeria tidak tepat waktu saat meminta Dennis pulang.

Kalau sudah begini, yang diuntungkan bukan cuma Ranieri dan Watford saja, tetapi juga para manajer (Fantasy Premier League) FPL. Kok bisa? Tanya saja mereka betapa gacornya Dennis di timnya sekarang.