Sancho
Performa Jadon Sancho di bawah arahan Ralf Rangnick membaik karena beberapa faktor. Namun, selama United belum memperbaiki cara membongkar pertahanan rapat, mungkin kita belum akan melihat "puncak gunung" Sancho.
Nama ‘Sancho’ dalam Jadon Sancho tak tampak memiliki arti spesial sampai kemudian saya diberitahu bahwa namanya bisa ditulis dalam karakter kanji.
Ini, tentu saja, cuma main-main belaka. Sancho bukan orang Jepang. Jika ingin menuliskan namanya dalam aksara Nihongo, semestinya ia tertulis dalam karakter katakana: サンチョ (Sancho).
Namun, mengingat kata ‘San’ dan ‘Cho’ juga memiliki karakter kanji, nama Sancho pun bisa tertulis dalam karakter yang berasal dari Tiongkok tersebut. Dalam karakter kanji, nama Sancho bisa tertulis sebagai ‘山頂’.
Ia terdiri dari dua karakter, yakni ‘山’ (yama/san) yang berarti ‘gunung’ dan ‘頂’ (chō/itadaku) yang berarti ‘puncak’. Dengan kata lain, nama Sancho dalam karakter kanji berarti ‘puncak gunung’.
Melihat permainan Sancho belakangan ini, boleh jadi puncak gunung yang dimaksud belumlah terlihat. Namun, ia sendiri tengah berusaha mendaki sampai ke sana.
***
Sancho didatangkan pada era Ole Gunnar Solskjaer dengan satu alasan: Karena United tidak memiliki seorang winger atau penyerang sayap mumpuni pada sisi kanan. Dalam skema Solskjaer, para winger atau penyerang sayap itu memegang peranan penting.
Sancho punya atribut-atribut yang memungkinkannya bakal cocok dalam kebutuhan akan winger atau penyerang sayap tersebut. Dia punya kemampuan olah bola yang apik, piawai memberikan operan ataupun melakukan dribel, serta punya kemampuan penyelesaian akhir yang cukup oke.
Yang tidak kalah penting, pemain kelahiran Camberwell, London, tersebut juga bisa bermain di sisi kanan maupun kiri. Oleh karena itu, ia bakal memudahkan Solskjaer jika ingin merotasi pemain.
Kebersamaan antara Solskjaer dan Sancho tidak berlangsung lama. Hanya beberapa bulan setelah musim 2021/22 berjalan, Solskjaer didepak setelah serangkaian hasil buruk. Selain itu, performa Sancho jauh dari ekspektasi.
Sebenarnya melihat Sancho lambat panas bukanlah hal yang mengherankan. Di Borussia Dortmund, ia pernah mengalaminya. Dalam tulisan ‘Jadon Sancho Terlahir Kembali’, penulis The Flanker, Angga Septiawan, menyebut bahwa performanya pada musim 2020/21 telat panas. Setelah angin-anginan pada paruh pertama, Sancho baru ngebut pada paruh kedua.
Ada beberapa hal yang memengaruhi performa Sancho kala itu, mulai dari perhatian media kepadanya dan rumor kepindahannya ke United. Namun, begitu ia mengembalikan fokusnya, Sancho terlihat seperti Sancho yang semestinya.
Di United pun tak jauh berbeda. Seiring dengan performa tim secara keseluruhan yang medioker, Sancho pun membutuhkan waktu lama untuk beradaptasi. Terlepas dari segala catatan bagusnya di Bundesliga, musim 2021/22 adalah musim pertamanya bermain di Premier League.
Keinginan Solskjaer untuk memainkan Sancho di kanan bukan tanpa alasan. Pada awal musim, pos di sebelah kiri sudah punya penghuni pada diri Marcus Rashford dan Anthony Martial. Belum lagi Paul Pogba yang sempat dijajal sebagai false winger di sebelah kiri.
Ironisnya, seiring berjalannya musim 2021/22, Sancho justru lebih banyak beroperasi di sisi kiri lapangan. Ini menimbulkan pertanyaan lain: Mengingat Sancho belakangan lebih nyaman beroperasi di sisi tersebut, perlukah United mencari pemain lain untuk beroperasi di sisi kanan pada bursa transfer musim panas?
Yang jelas, semenjak pergantian kepemimpinan tim dari Solskjaer ke Ralf Rangnick, posisi Sancho menjadi makin krusial. Rangnick terang-terangan mengakui bahwa dia mengagumi Sancho karena ia sudah melihat cara bermainnya semenjak berlaga di Bundesliga.
Satu hal lain yang diyakini bakal membuat Sancho langsung nyetel dengan gaya bermain Rangnick adalah kemampuannya dalam melakukan pressing. Pada era Solskjaer, Sancho adalah salah satu pemain depan yang paling rajin melakukan pressing sehingga ia takkan kesulitan dengan gaya bermain Rangnick.
Namun, apa yang membuat Sancho lebih moncer pada era Rangnick adalah bagaimana cara ia dimainkan. Kendatipun punya kemampuan untuk menyelesaikan peluang, Sancho sesungguhnya adalah seorang kreator. Ini yang membedakan Solskjaer dan Rangnick.
Pada era Solskjaer, siapa pun yang bermain sebagai winger atau penyerang sayap berperan juga sebagai attacker. Mereka biasanya bakal memanfaatkan kecepatan untuk menerima umpan terobosan, kemampuan dribel untuk menusuk ke kotak penalti, dan melepaskan sepakan ketika berada dekat dengan gawang.
Dengan cara seperti itu, tidak mengherankan apabila di era Solskjaer, United pernah cukup sering mendapatkan penalti. Biasanya, penalti-penalti itu datang akibat tekel para pemain lawan terhadap pemain-pemain United yang menggiring bola ke dalam kotak penalti.
Sancho, yang memiliki kemampuan menyelesaikan dan mengkreasikan peluang dengan bagus, juga cukup sering mendapatkan role sebagai salah satu attacker. Berbeda halnya dengan era Rangnick di mana role utamanya adalah sebagai kreator.
Jika sebelumnya ia cukup sering mendapatkan umpan terobosan seperti halnya seorang attacker, kini Sancho lebih sering menerima bola di kakinya. Dengan begitu, sebagai kreator, ia lebih leluasa untuk terlibat dalam proses membangun serangan di sepertiga akhir lapangan.
Tak heran apabila rata-rata jumlah gol, assist, dan created chances-nya mengingkat dari era Solskjaer ke Rangnick. Rata-rata golnya berubah dari 0,14 ke 0,40, assist-nya meningkat dari 0,0 ke 0,40, sedangkan created chances-nya menanjak dari 1,80 ke 2.
Perubahan role ini berdampak juga pada perubahan gaya mainnya. Jika dahulu, sebagai attacker, ia acap diminta untuk mengejar bola terobosan, kini ia diserahi kepercayaan untuk menerima bola di kaki dan mengolahnya sesuai keinginannya. Ini terlihat dari peningkatan jumlah percobaan dribel.
Jika pada era Solskjaer ia rata-rata melakukan 3,53 percobaan dribel per laga, Sancho kini memiliki catatan 5,4 percobaan dribel per laga. Akun statistik dan taktik, UtdArena, menyebut bahwa Sancho merupakan pemain dengan rata-rata progressive actions (baik dari operan maupun ball-carry) terbanyak di era Rangnick dengan torehan 9,09 per 90 menit.
Inilah hal mendasar yang menyebabkan pemain 21 tahun ini terlihat lebih impresif bersama Rangnick.
***
Pertandingan melawan Leeds United di Elland Road (20/2/2022), yang United menangi dengan skor 4-2, menjadi pertunjukan dari kemampuan Sancho sebagai kreator. Pada laga tersebut, jebolan akademi Manchester City tersebut menyumbangkan dua assist.
Yang menarik adalah bagaimana caranya memberikan assist. Untuk yang pertama, ia memilih untuk melepaskan bola lambung ke kotak penalti setelah menerima operan dari Victor Lindeloef. Bola lambung tersebut kemudian disundul oleh Bruno dan membawa United unggul 2-0.
Pilihan Sancho untuk melepaskan bola lambung pada kesempatan pertama itulah yang membedakan dia dengan para penyerang sayap United lainnya, entah itu Rashford ataupun Mason Greenwood. Jika berada dalam posisi Sancho, besar kemungkinan Rashford atau Greenwood bakal memilih untuk mendribel bola masuk ke kotak penalti dan melepaskan tembakan.
Ada perbedaan mind-set di situ. Sebagai pemain yang lebih sering mendapatkan role sebagai attacker, baik Rashford maupun Greenwood punya naluri untuk menyelesaikan kesempatan sendiri atau menembak lebih dulu. Di sisi lain, Sancho, seorang kreator, lebih memilih untuk memberikan umpan kepada rekannya.
Pada assist kedua, Sancho tidak hanya mempertontonkan kebolehannya menggiring bola, tetapi juga visi dan kemampuannya menciptakan ruang untuk rekan setimnya. Assist ini berakhir dengan gol sepakan Fred dan United unggul 3-2.
Dalam prosesnya, Sancho menggiring bola masuk ke dalam kotak penalti, membuat dua pemain Leeds mengawalnya, lalu melakukan delay. Dengan situasi tersebut, ada ruang terbuka di kanan sebelah dalam kotak penalti Leeds.
Ruang itulah yang kemudian Fred eksploitasi. Sancho menahan bola sejenak sebelum Fred memutar, masuk ke ruang tersebut dari arah belakang Sancho, dan melepaskan sepakan first-time. Timing operan Sancho tepat sehingga Fred leluasa menembak dari ruang yang sudah terbuka.
Maka, ketika United buntu menghadapi Watford, Sabtu (26/2/2022), Rangnick memilih untuk memasukkan Sancho pada babak kedua. Pelatih asal Jerman itu paham bahwa ia membutuhkan seorang kreator untuk membongkar pertahanan Watford yang tak cuma rapat, tetapi juga dalam dan melebar.
Dengan cara bertahan yang dalam dan melebar itu, Watford tidak hanya menjaga area dalam kotak penalti, tetapi juga tepi lapangan. Ini yang membuat United buntu. Para pemain ‘Iblis Merah’ acap terpojok hingga mendekati garis tepi lapangan, membuat mereka berada jauh dari kotak penalti dan target yang sudah menunggu di dalamnya.
Sial buat United, masuknya Sancho pun tidak mengubah keadaan. Ini tidak lepas dari cara United menempatkan posisi pemain. Menghadapi lawan yang bertahan serapat dan sedalam itu, posisi para pemain United malah berjauhan. Tidak ada usaha untuk melakukan overload di satu area dahulu supaya lawan terpancing keluar dari posisinya dan meninggalkan ruang untuk dieksploitasi.
Ini yang membuat Sancho sering berhadapan dengan situasi 1 vs 2 dengan bek lawan. Minimnya pergerakan tanpa bola rekan, plus jarak pemain yang berjauhan, membuat Sancho sulit melakukan operan kombinasi untuk membuat bola masuk ke kotak penalti lawan.
Alhasil, ia ikut frustrasi. Ketika tidak ada rekan yang bisa menerima operan pada posisi menguntungkan, ia acap memilih untuk melakukan dribel sendiri. Satu usahanya yang seperti ini berujung pada sepakan dari luar kotak penalti—yang kemudian melambung tipis di atas gawang Watford.
Bersama Rangnick, performa Sancho memang membaik dan menunjukkan bahwa dia adalah aset berharga untuk United pada masa depan jika dimainkan secara tepat guna. Namun, pertandingan melawan Watford juga memperlihatkan bahwa United masih harus membenahi cara membangun serangan ketika menghadapi lawan yang bertahan dengan cara sealot itu.
Jika hal seperti sudah mereka perbaiki, barulah mungkin kita bisa sedikit melihat puncak gunung Jadon Sancho di Manchester United.