Sassuolo: Melayang Bagai Kupu-kupu, Menyengat Bagai Lebah

Foto: Twitter @SassuoloUS

Ada sejumlah alasan mengapa Sassuolo bisa duduk di papan atas Serie A musim ini. Lewat serangan vertikal yang melengkapi possession football khas Roberto De Zerbi, Neroverdi menyengat.

Dulu, ketika menonton serial anime ‘Captain Tsubasa: Road to 2002’ yang tayang di TV7, ada satu fragmen yang betul-betul saya ingat. Fragmen itu muncul saat tim junior Jepang menghadapi tim junior Argentina di babak 8 besar Piala Dunia junior (World Junior Youth Cup).

Ketika itu, Jepang yang sedang berusaha mengejar ketertinggalan dari Argentina memasukkan sosok Misugi Jun. Pelatih Mikami memasang Misugi sebagai bek tengah, dengan peran selaku libero untuk memperkuat pertahanan sekaligus penyerangan Jepang.

Sampai pada satu titik, Misugi berhasil merebut bola dari Alan Pascal, lalu mendribel bola ke depan. Komentator—dengan dubbing Bahasa Indonesia tentu saja—langsung membuat komentar seperti ini soal permainan Misugi.

“Lincah bagaikan kupu-kupu, ganas bagaikan lebah. Permainan yang indah, inilah permainan dari Misugi Jun, Sang Pangeran Lapangan.”

Tentu saja, si komentator bukanlah orang pertama yang melontarkan kalimat tersebut. Saya mencurigai, si penulis naskah —yang membuat si komentator mengucapkan kalimat itu— meminjam dan memodifikasi kutipan terkenal dari Muhammad Ali: “Float like a butterfly, sting like a bee.

Memang, dalam anime 'Tsubasa', sosok Misugi digambarkan punya kemampuan komplet. Sejak SD, ia sudah memahami aspek taktikal macam offside maupun penempatan posisi. Daya analisisnya kuat. Teknik olah bolanya juga apik, sehingga ia mampu bikin Tsubasa kewalahan.

Alhasil, dari situlah, penulis melihat bahwa sematan lincah bagaikan kupu-kupu, ganas bagaikan lebah ini muncul karena Misugi memiliki dua sisi berbeda: Tak hanya cerdas dan elegan, tetapi juga memiliki skill mematikan. Belum lagi, Misugi juga jadi penentu kemenangan Jepang atas Argentina lewat drive shot-nya.

Kurang lebih, seperti itulah permainan Sassuolo pada musim 2020/21. Mereka mampu bermain lincah, tetapi tidak lupa menyengat lawan mereka secara perlahan-lahan.

***

Sassuolo mengawali musim 2020/21 dengan ekspektasi yang mungkin tidak terlalu tinggi. Untuk memperkuat tim, mereka hanya membeli Kaan Ayhan dari Fortuna Duesseldorf dan Filippo Romagna dari Cagliari.

Posisi mereka dalam dua musim terakhir di klasemen Serie A juga sifatnya so-so. Dibilang bagus tidak, dibilang buruk pun tidak. Pada musim 2018/19, mereka finis di posisi 11. Sedangkan pada musim 2019/20, mereka finis di posisi 8.

Namun, musim ini Sassuolo bertransformasi. Mereka menggila. Dari 8 laga yang sudah Sassuolo lalui, mereka mencatatkan 5 kemenangan dan 3 hasil imbang. Sassuolo pun sementara ini berhak atas posisi runner-up klasemen, di bawah AC Milan yang juga sama-sama belum kalah, tetapi meraih kemenangan lebih banyak.

Apa yang terjadi pada Sassuolo? Mengapa musim ini mereka tiba-tiba saja jadi tim yang kesetanan? Jawabannya ada pada taktik yang diterapkan pelatih mereka, Roberto De Zerbi.

De Zerbi menangani Neroverdi sejak 2018. Ia datang dengan sederet pengalaman yang ia dapat kala melatih Darlo Boario, Foggia, Palermo, dan Benevento. Ada satu hal yang benar-benar disukai oleh De Zerbi dan kerap ia praktikkan dalam setiap tim yang ia asuh: possession football.

Namun, di Sassuolo, agaknya butuh waktu bagi De Zerbi agar para pemainnya memahami apa yang ia inginkan. Baru pada musim 2020/21 ini, keinginan De Zerbi dengan pemahaman pemainnya mulai sinkron. Jadilah sepak bola Sassuolo seperti yang mereka mainkan sekarang. Sepak bola yang menekankan pada penguasaan bola.

De Zerbi kerap menggunakan formasi dasar 4-2-3-1, 4-3-3, atau 3-4-3 di Sassuolo. Kesebelasan dari Provinsi Modena ini menerapkan permainan yang sama dengan permainan sepak bola modern kebanyakan, yakni membangun permainan dari lini belakang. Sang kiper, Andrea Consigli, kerap menjadi distributor bola bersama para bek.

Francesco Magnanelli selaku pemain bertahan biasanya akan menjadi opsi umpan bagi para bek serta kiper. De Zerbi memang senang—malah terlihat ingin—jika timnya menguasai bola lama-lama. Per WhoScored, tercatat bahwa Sassuolo menjadi tim dengan persentase penguasaan bola per laga tertinggi di Serie A, yakni 58%

Karena senang menguasai bola, tak heran jika Sassuolo juga gemar memainkan umpan-umpan pendek ketimbang umpan panjang. Maka, jangan heran jika rataan umpan pendek akurat Sassuolo jadi yang tertiga ketinggi di liga, yaitu 463. Possession football benar-benar diterapkan De Zerbi di Sassuolo dengan baik.

Lalu, pertanyaan pun menyeruak. Apa tujuan De Zerbi ingin menguasai bola lama-lama seperti itu? Toh, banyak juga ‘kan, tim yang senang menguasai bola dalam waktu lama. Tenang, De Zerbi tidak serta merta menyuruh pemainnya terus main oper-operan sepanjang laga tanpa tujuan, kok.

Secara skema permainan, De Zerbi menerapkan pendekatan yang hampir serupa dengan RB Leipzig, terutama ketika menyerang. Mereka menyerang dengan cepat dan vertikal. Hal ini berkaitan dengan kegemaran Sassuolo melancarkan umpan pendek ini.

Jadi, tujuan Sassuolo memainkan umpan-umpan pendek ini adalah untuk memancing pemain lawan menekan mereka. Setelah itu, akan ada lawan yang biasanya keluar dari posisinya. Nah, dari situ, akan muncul ruang untuk dieksploitasi oleh Sassuolo lewat serangan vertikal mereka.

Perkara mengalirkan bola secara cepat, lini tengah Sassuolo jadi kunci. Selain kehadiran Magnanelli selaku opsi umpan buat bek, mereka punya Manuel Locatelli dan Maxime Lopez. Mereka selalu menjadi opsi umpan untuk Magnanelli—atau gelandang bertahan Sassuolo yang lain—agar bola bisa diteruskan ke lini serang, terutama ke dua winger Sassuolo.

Nah, dua winger mereka, yakni Jeremie Boga dan Domenico Berardi, akan menjadi aktor utama dalam setiap serangan sayap. Perlu diketahui bahwa full-back Sassuolo tidak rajin membantu serangan. Mereka hanya akan naik hingga garis tengah lapangan, dan kuasa sayap dari tengah hingga ke depan diserahkan kepada winger.

Namun, alih-alih melakukan tusukan atau melakukan umpan silang, kedua winger Sassuolo punya cara lain dalam menuntaskan serangan. Mereka lebih senang bekerja sama dengan Locatelli atau Lopez yang akan maju ke area sepertiga akhir, tentunya dengan umpan-umpan pendek yang sudah jadi kebiasaan mereka.

Lalu, di posisi ujung tombak, ada Caputo yang bersiap menjadi penyelesai skema serangan. Kepandaiannya dalam membaca posisi membuatnya menjadi ancaman bagi lawan. Tak heran, sejauh ini ia menjadi topskorer bagi Sassuolo dengan catatan 5 gol.

Di samping Caputo, ada peran Filip Djuricic yang membantu Caputo dalam menarik bek lawan. Ia juga kerap mundur dan membantu Locatelli ataupun Lopez di lini kedua. Ia menjadi distributor bola di area tersebut. Tak heran, berkat perannya ini, catatan umpan per kunci Djuricic pun jadi yang tertinggi kedua di Sassuolo, yakni 3,5 kali.

Jadi, Sassuolo itu sejatinya mencoba untuk memancing lawan dengan keindahan umpan-umpan pendek, sebelum tiba-tiba mereka menyengat dengan cepat, juga lewat umpan-umpan pendek tersebut.

***

Sassuolo untuk sesaat terdengar menghibur sekaligus menakutkan. Akan tetapi, bukan berarti taktik Sassuolo ini tidak ada kelemahan. Permainan yang mengandalkan possession football tentunya mengandung sesuatu yang berisiko. Serangan balik dan sistem low block kemungkinan akan diterapkan lawan ketika menghadapi Sassuolo.

Low block di sini adalah ketika para pemain lawan menjaga kerapatan jarak antarpemain di area yang lebih bawah, terutama di area dekat gawang dan kotak penalti. Menghadapi lawan seperti ini, Sassuolo agaknya akan sedikit kerepotan. Sialnya, banyak lawan di Serie A yang memang pandai melakukan low block.

Contohnya adalah AC Milan. Mereka andal dalam mengorganisasi pertahanan dan menerapkan serangan balik. Belum lagi, mereka punya pemain cepat macam Theo Hernandez, serta distributor bola apik seperti Hakan Calhanoglu. Oh, ya, ada juga Zlatan Ibrahimovic, selaku finisher menakutkan.

Selain itu, ada juga Inter Milan yang tentunya lihai dalam menerapkan hal serupa. Inter adalah lawan yang akan dijumpai Sassuolo pada Sabtu (28/11/2020) malam WIB. Meski penampilan mereka kerap tidak meyakinkan, Sassuolo mesti waspada. Sistem dasar 3-5-2 ala Conte memungkinkan Inter untuk bermain dengan sistem low block juga.

Jangan lupa, Inter memiliki serangan balik maut. Ada dua wing-back yang cepat, plus lini tengah yang juga mampu mengalirkan bola dengan cepat. Lebih menyeramkan lagi, ada duet La-Lu (Lautaro Martinez dan Romelu Lukaku) yang mampu saling bersinergi di lini depan.

Menghadapi tim seperti itu, Sassuolo tentu harus berhati-hati. Apalagi, cara bertahan Sassuolo tetap menggunakan pressing. Jadi, dua pemain Sassuolo akan menekan lawan yang memegang bola, sementara satu pemain yang lain akan memotong jalur operan bola tersebut.

Saat Sassuolo mencari ruang, bisa jadi tim lain juga sudah menemukan ruang di lini pertahanan Sassuolo. Biasanya, ruang akan tercipta di area tengah, terutama saat para pemain tengah maju ke area sepertiga akhir lawan. Nah, mungkin Sassuolo bisa coba untuk menutup ruang di situ lebih dulu.

Namun, untuk saat ini, setidaknya Sassuolo tetaplah tim yang menyenangkan, serupa dengan kebangkitan Atalanta pertama kali pada musim 2016/17. Sassuolo itu bisa melayang bagai kupu-kupu, dan menyengat bagai lebah.