Sayap-sayap Mematikan Premier League

Ilustrasi: Arif Utama

Modernisasi sepak bola menuntut tim untuk memaksimalkan ruang dan ketepatan waktu. Di situ sayap-sayap memainkan perannya.

Musim lalu Trent Alexander-Arnold dan Andrew Robertson masuk dalam tiga besar top assist Premier League. Ya, mereka cuma kalah dari Kevin de Bruyne, sang maestro Manchester City.

Ini kasus spesial. Alexander-Arnold dan Robertson bukanlah penyerang atau gelandang serang. Keduanya datang dari tepi belakang. 

Betul bahwa kebanyakan assist mereka datang dari umpan silang. Namun, itu bukan satu-satunya cara kerja mereka. Alexander-Arnold dan Robertson lebih dari sekadar pengirim umpan, tetapi sebagai insiator serangan. 

Gol Roberto Firmino ke gawang Crystal Palace lalu bisa menjadi sampel. Dalam skema serangan balik, Firmino, Sadio Mane, dan Takumi Minamino dengan gesit mengisi kotak penalti Palace.

Situasi semacam ini menjadi keuntungan buat Robertson. Dia punya tiga target sebagai opsi. Ya, bola kemudian dikirimkan ke Firmino--yang pengalawannya relatif longgar--dan berbuah gol.

Satu lagi, Liverpool juga memfungsikan crossing demi memindahkan jalur serangan mereka. Dari kiri ke kanan atau sebaliknya. Taktik ini amat berguna untuk melompati pressing lawan.

Toleh saja lesakan Jordan Henderson ke gawang Palace. Karena lima pemain lawan menjaga area kiri, Mane lantas melepas umpan silang ke Alexander-Arnold di sisi kanan. Baru kemudian di menyodorkan bola kepada sang kapten yang muncul dari lini kedua.

---

Bila ditarik ke belakang, tren eksplosivitas sisi sayap dipicu oleh perkembangan peran pemain di era sekarang. Winger dituntut untuk mampu melakukan cutting inside dan full-back mesti aktif membantu serangan. Striker juga diplot buat bermain lebih dalam.

Lini tengah juga tak luput dari modernisasi. Gelandang box-to-box dan deep-lying playmaker semakin bermunculan.

Utilitas ganda para gelandang itu memudahkan para pelatih untuk memaksimalkan sisi sayap. Para gelandang bakal mengover ruang kosong saat full-back melakukan overlap. Makanya tim yang punya serangan sayap tokcer biasanya memiliki striker serbabisa dan gelandang dengan fitur komplet.

Ambil contoh Liverpool. Komposisi gelandangnya rada unik karena dihuni oleh box-to-box macam Henderson, Georginio Wijnaldum, Naby Keita, Fabinho, dan Thiago Alcantara. Namun, justru karakterstik seperti itu yang penting buat mengepakkan sayap-sayap The Reds.

Manchester City jelas tak bisa dikesampingkan. Pep Guardiola punya Fernandinho dan Rodrigo sebagai poros lini tengah. Selain jago bertahan, keduanya sama-sama piawai sebagai distributor bola.


Ngomong-ngomong
soal Guardiola, sosok ini tak bisa dijauhkan dari perkembangan peran pemain sayap di Premier League. Ini bicara tentang bagaimana dia menerapkan juego de position di City selama empat tahun ke belakang.

Paling kentara, ya, sewaktu The Citizens juara pada periode 2017/18. Duo winger-nya, Raheem Sterling dan Leroy Sane, berhasil mengemas 28 gol dan 26 assist bila ditotal. Kyle Walker juga turut menyumbangkan 6 assist di musim itu. Angka-angka di atas menunjukkan betapa pentingnya sisi tepi buat Guardiola.

City adalah produk kesekian Guardiola. Jauh sebelum itu dia sudah menerapkannya bersama Barcelona dan Bayern Muenchen. Kedua masa itu ditandai dengan kegigihan Guardiola menggenjot produktivitas Dani Alves serta Arjen Robben dari sisi samping. Sergio Busquets dan Javi Martinez pun ditempa sebagai gelandang penyeimbang. Peran itu kemudian diduplikat oleh Rodrigo dan Fernandinho di City.


Tidak semua klub bisa meniru gaya main Liverpool dan City. Selain pendekatan taktik pelatih, kualitas pemain juga jadi faktornya. Namun, setidaknya mereka mulai mengeksploitasi ruang tepi sebagai jalur serangan primer.

Contoh buruknya, ya, Arsenal. Sayap-sayap mereka jauh dari kata kreatif. Cuma Willian yang terbaik. Itu pun dengan rata-rata umpan kunci sejumlah 1,3 per laga. Torehan tersebut bahkan nyaris sepertiga dari Jack Grealish sebagai penghasil keypass tertinggi di Premier League 2020/21.

Leeds United masih lebih baik dari Arsenal. Adalah Jack Harrison dan Raphinha yang membuat kepakan sayap mereka lebih kencang. Keduanya berhasil menyumbang 6 assist bila dikalkulasi. Itu belum ditambah dengan kontribusi Mateusz Klich dari lini tengah. 

Banyaknya opsi penyaji serangan itu nyatanya berpengaruh positif kepada pasukan Marcelo Bielsa itu. Kini jumlah gol mereka sudah menyentuh 24 atau 2 kali lipat dari gol Arsenal.


Kemudian West Ham. Produksi tertinggi umpan kunci mereka justru lahir dari divisi pertahanan, Vladimir Coufal dan Aaron Cresswell. Nama yang disebut belakangan memang telah beralih dari full-back menjadi bek sentral. Namun, pada praktiknya dia tetap aktif membantu serangan seperti layaknya bek sayap modern.

Cresswell memimpin torehan assist di angka 4. Jumlah itu dua kali lipat dari torehan Jarrod Bowen dan Pablo Fornals yang notebene merupakan gelandang kreatif West Ham.

Tokcernya kepakan sayap-sayap West Ham ini terkait dengan kokohnya lini tengah mereka. David Moyes punya Declan Rice serta Tomas Soucek, dua gelandang kekar yang juga jago mengolah bola.


Jangan lupakan Everton. Daya serang mereka lebih meningkat sejak Carlo Ancelotti datang. Sebagai pembanding, sekarang The Toffees sukses mengumpulkan 24 gol hingga pekan 25. Itu 11 gol lebih banyak dibanding pekan yang sama musim lalu.

Well, Dominic Calvert-Lewin jadi aktornya karena sudah menyumbang 11 gol di antaranya. Namun, ketajaman alumni akademi Sheffield United tersebut tak bisa dilepaskan dari cairnya serangan Everton saat ini.

Ancelotti merekrut James Rodriguez untuk melengkapi Richarlison di sisi tepi. Pun dengan Lucas Digne yang makin menjadi-jadi. Eks Barcelona itu jadi kontributor assist tertinggi Everton di angka 4 dengan 3 di antaranya diberikan kepada Calvert-Lewin.

Alternatif serangan Everton kini lebih variatif. Mereka tidak hanya bertumpu kepada Gylfi Sigurdsson seperti 2 musim silam.

Sementara Aston Villa sedikit berbeda. Kendati intens menggunakan serangan sayap, mereka cenderung bergantung kepada Jack Grealish sebagai kreator utama. 

Sudah 6 kali dia menjadi inisiator gol Villa. Itu belum ditambah dengan torehan 5 golnya. Ini mengingatkan kita pada peran Eden Hazard selama di Chelsea. Pencetak gol iya, kreator juga iya.

Nah, Chelsea sudah paham betul cara mengoptimalkan sisi tepi. Mereka malah sudah melakukannya sejak era Antonio Conte. Lihat saja bagaimana dia menyulap Marcos Alonso menjadi wing-back produktif dan membantu Pedro Rodriguez menemukan periode terbaiknya di The Blues.

Kepemimpinan Frank Lampard juga tak abai akan potensi para sayap. Nyatanya dia sampai mendatangkan Hakim Ziyech dan Ben Chilwell yang berharga lebih dari 70 juta poundsterling bila dikalkulasi.


Bagaimana dengan Manchester United dan Tottenham Hotspur? 

Begini, keduanya memang tidak menggunakan winger sebagai playmaker. United misalnyabertumpu pada Bruno Fernandes yang notabene merupakan gelandang serang. Sementara Harry Kane jadi andalan Tottenham buat membangun serangan.

Meski begitu, sistem permainan mereka tetap bergantung kepada peran sayap-sayapnya. Lihat saja kemenangan besar mereka atas Leeds United pekan lalu. Tiga dari total enam gol United lahir dari pergerakan sisi tepi. Menyitat Whoscored, 41% serangan United di laga itu mengarah dari samping kiri.

Kondisi itu setali tiga uang dengan Tottenham. Mereka membutuhkan winger untuk mengakomodasi serangan balik. Adalah  Son Heung-Min yang dipilih Jose Mourinho. Selain cepat, pemain Korea Selatan itu juga punya konversi peluang yang bagus. Total 11 gol dibuatnya sejauh ini. 

Son juga punya koneksi bagus dengan Kane. Gimana enggak? Dari total 9 gol yang diproduksi kapten Kane, 8 di antaranya lahir melalui assist-nya.