Schalke Has Fallen

Ilustrasi: Arif Utama

Gajah mati meninggalkan belalai, harimau mati meninggalkan belang, dan Schalke ‘mati’ meninggalkan sederet kenangan tentang sebuah tim yang sempat begitu disegani di Bundesliga. Apa yang sebenarnya terjadi pada tim kebanggaan Gelsenkirchen ini?

Sekitar sepuluh tahun yang lalu Schalke berisikan barisan pemain berbakat dan berhasil melaju hingga ke semifinal Liga Champions. Selama empat musim beruntun setelahnya, capaian mereka tak sebaik itu karena selalu terhenti di babak 16 besar Liga Champions. Namun, tetap saja, catatan itu menunjukkan status Schalke sebagai salah satu tim elite Jerman.

Itu juga bukti bahwa selama kurun tersebut Schalke adalah langganan papan atas Bundesliga. Bahkan belum lama ini, pada musim 2017–18 tepatnya, Schalke sempat merasakan manisnya puncak klasemen selama beberapa saat sebelum kemudian finis di urutan kedua di bawah Bayern Muenchen.

Namun, tepat setelahnya, Schalke seolah terjun tanpa parasut. Mereka terseok-seok di posisi menengah ke bawah selama dua musim beruntun, melakukan hingga lebih dari lima kali pergantian pelatih, dan yang terbaru pada musim ini: Degradasi ke Bundesliga 2. "Schalke has fallen".

Sebelum mengandaskan perlawanan Hoffenheim pada 9 Januari tahun ini, Schalke sudah hampir setahun tak meraih kemenangan. Tiga poin terakhir yang mereka peroleh di Bundesliga terjadi pada 20 Januari 2020, ketika menang 2–0 atas Borussia Moenchengladbach.

Di atas lapangan, terlihat sangat jelas betapa Schalke sedang dalam kondisi buruk. Positioning pemain mereka bermasalah, kerap salah umpan, pertahanan gampang ditembus, dan tak ada kreasi di lini depan. Ucapan Mark Uth beberapa waktu lalu merangkum semuanya.

“Sangat menyedihkan karena kami selalu memainkan sepak bola yang sudah tidak bisa lagi terselamatkan. Kami selalu tertinggal selangkah, kami telat melakukan tekel, bahkan kami kesulitan untuk sekadar mendapatkan kartu kuning,” ungkap Uth kepada DW.

Yang Hubb Stevens ucapkan lain lagi. Ia lebih fokus menyoroti tak adanya inisiatif di antara para pemain. Secara khusus ia mengomentari pertandingan terakhir pada 2020 melawan tim papan bawah lainnya, Arminia Bielefeld. Schalke kalah 0–1 kala itu.

“Saya melihat situasi tiga lawan satu di tengah, dan tidak ada yang coba menghentikan pemain lawan. Semua orang bergantung pada yang lain. Seharusnya Anda bisa mengambil inisiatif sendiri,” ujarnya mengomentari gol semata wayang tim Bielefeld.

Stevens adalah pelatih ketiga Schalke di periode 2020/21. Ketika mengawali musim, mereka dilatih David Wagner. Baru menjalani satu laga saja, mereka menggantinya dengan Manuel Baum yang ternyata juga tak bertahan lama. Stevens yang notabene legenda klub kemudian masuk sebagai caretaker.

Memasuki 2021, pergantian pelatih kembali terjadi di tubuh Schalke. Kali ini Schalke menunjuk Christian Gross. Bukannya membaik, pergantian yang terjadi hingga tiga kali ini membuat Schalke semakin tak stabil. Semua kian terlihat begitu Gross bekerja.

Betul bahwa dialah yang memberi kemenangan pertama buat Schalke. Namun, sejak kedatangannya masalah seolah semakin bertambah. Salah satunya terkait tiga pemain yang tadinya didatangkan pada musim dingin untuk memperbaiki performa Schalke. Mereka adalah Sead Kolasinac, Shkodran Mustafi, dan Klaas-Jan Huntelaar.

Beredar kabar bahwa ketiganya tak menyukai pendekatan Gross ke para pemain. Caranya berbicara juga dipermasalahkan. Dari segi taktik, ketiga pemain itu merasa metode Gross kelewat jadul, bahkan tak hanya ketiganya yang berpikir demikian. Demikian laporan beberapa media Jerman.

Konflik internal yang melibatkan pemain bukan barang langka buat Schalke musim ini. Sebelumnya, Schalke sempat menskors Nabil Bentaleb dan Amine Harit selama beberapa waktu. Khusus Harit, skors tersebut datang karena tindakan indispliner.

Satu nama lain yang juga bermasalah adalah Vedad Ivisevic. Konon, ia sempat berkelahi dengan Naldo selaku asisten pelatih --walau akhirnya klub membantah rumor tersebut. Yang jelas, kontraknya diputus. Padahal, Ibisevic baru mereka rekrut tak lama setelah musim ini berjalan. 

Gross yang masuk pada 27 Desember juga dipecat 2 bulan kemudian. Adalah Dimitrios Grammozis yang menggantikan posisinya. Sayangnya, tak ada perubahan berarti. Selama bertugas, ia cuma sanggup mempersembahkan empat poin buat Schalke. Di tangannya pula, Schalke yang sudah babak bingkas resmi turun kasta.

Hobi gonta-ganti pelatih yang dilakukan Schalke pada dasarnya bukan hal mengejutkan. Selama beberapa tahun terakhir mereka memang sudah bobrok hingga ke akar-akarnnya yang kemudian berdampak lebih jauh terhadap performa mereka di atas lapangan.

Pada pengujung musim lalu, DW melaporkan bahwa ternyata Schalke sudah menumpuk utang sebesar 200 juta euro sejak 2018/19. Pandemi COVID-19 membuat utang tersebut diprediksi membengkak menjadi 250 juta euro hingga 2020 berakhir. Schalke bahkan diprediksi bisa bangkrut.

Foto: Twitter @WTBdotcom

Sejumlah kebijakan yang Schalke ambil jadi bukti. Salah satunya terkait keberadaan David Wagner. Kendati performa musim lalu hancur-hancuran, Schalke masih mempertahakan Wagner karena, konon, mereka kesulitan membayar pesangon sang pelatih yang memang terikat kontrak hingga 2020.

Yang Schalke lakukan pada akhir musim lalu semakin memperkuat dugaan tersebut. Kala itu, Schalke menyertakan kalimat yang kurang pantas, bahkan tampak seperti sangat terpaksa, ketika melakukan pengembalian dana tiket musiman untuk para suporter.

Bundesliga tengah ditangguhkan kala itu dan ini muasal pengembalian tiket terjadi. “Mengapa Anda membutuhkan uang sekarang? Rumuskan kasus kesulitan Anda dan jika mungkin serahkan dokumentasi masing-masing,” bunyi surat tersebut.

Schalke sudah meminta maaf. Namun, para suporter sudah kelewat geram. Berbagai kebijakan yang klub ambil sebelumnya, yang sepertinya juga jadi salah satu alasan di balik krisis finansial mereka saat ini, semakin menambah pelik masalah.

Para suporter Schalke, yang merupakan terbanyak kedua di Jerman, tak puas dengan kebijakan klub dalam transfer pemain. Selama beberapa musim terakhir mereka kerap melepas pemain tanpa meraih kompensasi berarti, bahkan beberapa di antaranya dilepas secara gratis. Joel Matip, Eric Maxim Choupo-Moting, Sead Kolasinac, Max Meyer, Leon Goretzka, hingga kapten Alexander Nueble pergi dengan cuma-cuma.

Hubungan Schalke dengan para suporter juga panas karena rumor soal perubahan sistem kepemilikan klub. Kabarnya, Alexander Jobst selaku direkrut pemasaran berencana mengubah sistem yang selama ini dikendalikan anggota menjadi sepenuhnya milik perusahaan.

Tentu saja para pendukung Schalke tak senang dengan rumor tersebut. Semua jadi tambah runyam mengingat performa buruk tim sepanjang musim. Maka, ketika Schalke dipastikan terdegradasi ke Bundesliga 2, para suporter mengamuk sejadi-jadinya.

Usai kalah 0–1 dari Bielefeld, mereka sudah menanti para pemain di luar stadion. Kepolisian Gelsenkirchen melaporkan, ada 500–600 orang yang menunggu tim di Veltins Arena. Bus yang ditumpangi dilempari telur plus caci-maki, bahkan beberapa pemain mendapat luka memar.


Matt Pearson dalam opininya di DW menyebut Schalke bisa memulai perubahan dengan menata kembali skuat. Saat ini, sebagian besar tim utama akan habis kontraknya ketika musim berakhir. Ini jadi momen yang tepat untuk membangun ulang kembali tim.

Karena kondisi keuangan yang sepertinya belum akan stabil, akademi bisa menjadi jalan keluar. Apalagi, Knappenschmiede yang terkenal itu sudah terbiasa melahirkan bakat-bakat baru. Seharusnya bukan masalah buat tim kebanggaan Gelsenkirchen ini.

Schalke bahkan sudah memulainya dari sekarang. Penunjukkan Grammozis yang malang melintang sebagai pelatih di tim-tim muda jadi salah satu contoh. Schalke juga telah mempromosikan beberapa pemain belia, termasuk Timo Becker yang kontraknya baru saja mereka perpanjang.

Yang Schalke butuhkan berikutnya adalah kesabaran sebab semuanya tak bisa terjadi sekejap mata. Perlu diingat pula bahwa, “Mentalitas berpikir jangka pendek telah membawa mereka ke tempat mereka seperti sekarang,” tulis Pearson.

Terlepas dari semua itu, masih banyak hal yang perlu Schalke benahi, terutama terkait cara menjalankan klub. Mereka punya waktu untuk merenungkan kembali segala kesalahan di masa lalu dan Bundesliga 2 bakal jadi tempat yang tepat untuk melakukannya.