Sebelum Utrecht

Ilustrasi: Arif Utama.

Utrecht adalah masa kini. Namun, sebelum itu, saya harus melalui perjalanan panjang. Bukan hanya soal top-skorer dan trofi, tapi juga soal ketidaksengajaan, motocross, dan cedera parah.

Utrecht adalah masa kini bagi saya. Namun, sebelum sampai di titik ini, saya melalui banyak hal dan semua itu berawal dari sebuah ketidaksengajaan.

Sepak bola bukanlah olahraga pertama yang saya tekuni. Hobi otomotif dalam diri Bapak membuat saya lebih sering menghabiskan waktu untuk main motocross ketika kecil. Bersama Bagas (Amiruddin Bagas Kaffa), saya menghabiskan sore hari untuk mengendarai motocross.

Hal itu kemudian berubah ketika salah seorang teman mendatangi saya dan Bagas, meminta kami untuk bergabung ke dalam tim sepak bola desa tempat kami tinggal.

Jujur, awalnya, saya hanya ikut-ikut saja. Kebetulan memang sedang ada turnamen antardesa. Dan kebetulan lagi, saat itu Bapak adalah Kepala Desa-nya. Jadilah saya diminta ikut untuk mewakili tim desa.

Ketidaksengajaan itu membuat saya menemukan hal baru yang ternyata sangat mengasyikkan. Saya menemukan kebahagiaan baru di luar motocross, dan itu adalah sepak bola.

Usai turnamen tersebut, seorang teman mengajak saya bergabung ke sebuah Sekolah Sepak Bola (SSB) yang ada di desa kami. SSB Nagapakca namanya. Lagi-lagi saya iyakan saja. Ternyata, dari situ, saya semakin suka dengan sepak bola.

Seiring waktu berjalan, saya pun pindah ke SSB Putra Harapan. Di sinilah saya mulai mengikuti banyak turnamen, mulai mencicipi rasanya merengkuh gelar top-skorer dan pemain terbaik.

Namun, ada satu hal unik pada masa-masa itu: Saya bukan pemain depan 100%. Di masa kecil, saya acap bertukar posisi dengan Bagas. Jika di babak pertama saya bermain sebagai pemain depan, Bagas akan main sebagai pemain belakang. Lantas ketika babak kedua tiba, saya yang akan jadi pemain belakang dan Bagas yang akan main di posisi depan.

Tak banyak anak yang melakukan itu. Namun, itulah yang membuat saya belajar. Saya jadi mengerti bahwa di dalam sepak bola saya harus bisa mengerjakan tugas bertahan dan menyerang dengan sama baiknya.

Foto: Dokumen Pribadi

Pembelajaran-pembelajaran itu pula yang bisa membawa saya sampai di level selanjutnya. Dari SSB Putra Harapan, dari berbagai turnamen itu, saya akhirnya berhasil masuk ke ASSBI (Asosiasi Sekolah Sepak Bola Indonesia) Jawa Tengah (Jateng).

Di sanalah jalan saya mulai terlihat terang. Akan tetapi, untuk melihat titik terang itu, saya juga mengorbankan satu hal penting: Motocross.

Saya dan Bagas butuh sepatu baru saat itu. Namun, Bapak dan Ibu sedang berada dalam titik belum punya rezeki lebih. Kami memutar otak dan sampai pada sebuah keputusan: Kami harus menjual motor motocross itu dan menukarnya dengan sepatu baru.

Setelahnya, saya tak cuma mendapat sepatu baru, tapi juga mendapat sebuah kesedihan. Motor motocross yang jadi teman bermain saya dan Bagas sejak kecil, yang selalu kami naiki dan mandikan setiap sore, harus pindah ke tangan orang lain.

Sedihnya lagi, saya masih harus melihat motor motocross itu saban sore, karena pembelinya adalah orang dari desa kami juga. Namun, mau bagaimana lagi? Saya harus memilih sepatu baru karena saya juga sudah menemukan kebahagiaan di sepak bola.

Saya juga beruntung karena Bapak dan Ibu mendukung keputusan itu, bahwa saya dan Bagas diperbolehkan untuk terus bermain sepak bola. Dan itu sama sekali bukan keputusan yang salah.

Ketika kemudian saya sudah berada di tim ASSBI Jateng dan mengikuti turnamen tingkat nasional, kami berhasil masuk final. Dari situ saya mulai mendapat kesempatan ke Jakarta karena masuk ke dalam tim ASSBI Nasional. Ini boleh dibilang Timnas-nya ASSBI.

Ada momen di mana kami mengikuti sebuah turnamen internasional di Bali dan kami berhasil menjadi peringkat empat. Setelah itu, saya rutin tiap tahun dipanggil ke ASSBI Nasional, mengikuti berbagai turnamen.

Setelahnya, saya melalui perjalanan demi perjalanan ke berbagai tempat, berbagai klub: Dari Sidoarjo, Malaysia, sampai Singapura. Perjalanan itu kemudian membukakan pintu buat saya ke satu tempat yang selama ini jadi tujuan: Tim Nasional (Timnas).

Bayangkan: Saya, bocah dari desa di Magelang yang terjun ke sepak bola karena sebuah ketidaksengajaan, masuk ke Timnas.

Ini jelas seperti sebuah mimpi. Dulu, ketika ikut Bapak nonton Timnas main, sempat muncul mimpi untuk bisa seperti Bambang Pamungkas. Bermain dan mencetak gol untuk Indonesia. Siapa sangka kalau di usia belasan tahun, saya bisa mewujudkan mimpi itu.

Namun, jika Anda menganggap jalan yang saya tempuh melandai ketika sudah tiba di Timnas, Anda salah. Salah satu titik terendah dalam karier sepak bola saya justru tiba ketika saya berada di titik ini.

Saya ingat momen itu. Saya tengah berada di pemusatan latihan Timnas U-16. Kami tengah bersiap untuk mengikuti sebuah turnamen di Jepang. Satu-dua hari saya lalui pemusatan latihan dengan sempurna. Namun, ketika hari ketiga tiba, saya cedera. Dan ini bukan cedera sepele, lutut saya kena.

Cedera itu harus membuat saya berkemas, pulang dari pemusatan latihan. Saya tidak bisa mengikuti turnamen yang pada akhirnya berhasil dimenangkan oleh rekan-rekan saya.

Hari-hari berlalu, saya fokus pada pemulihan. Di momen ini, pikiran saya juga berubah. Melihat dukungan keluarga dan orang-orang terdekat, saya merasa harus bisa berpikir positif juga seperti mereka. Saya tak bisa terus berlarut-larut dalam kesedihan.

Lantas, selama masa terapi, muncullah asa dalam diri saya untuk bisa segera kembali ke lapangan dan masuk Timnas lagi. Saya ingin membuktikan diri bahwa seorang Bagus masih layak diberi kesempatan.

Saya boleh saja sedang berada di titik yang rendah saat itu. Namun, bukan berarti tidak ada harapan bagi saya untuk bisa kembali lagi ke level sebelumnya, bahkan lebih tinggi.

Ketika benar-benar pulih, ternyata kesempatan untuk kembali ke Timnas tidak semudah itu saya dapatkan. Saya harus kembali mengikuti seleksi untuk meyakinkan pelatih bahwa saya masih memiliki kemampuan yang sama baiknya dengan saat sebelum saya cedera.

Saat ternyata saya berhasil terpilih masuk ke skuad, saya langsung membuktikan bahwa saya justru mampu jadi lebih baik. Gelar top-skorer di Piala AFF menjadi hasilnya. Kebetulan, di turnamen itu, kami juga berhasil keluar sebagai juara.

Setelah itu, lebih banyak lagi pintu yang terbuka untuk membantu saya mewujudkan mimpi sebagai pesepak bola.

Jika menengok kembali ke belakang, saya bisa bilang bahwa hal-hal yang membuat saya tertunduk dan menangis, seperti melepas kesenangan bermain motocross dan cedera parah, itulah yang membuat saya punya keyakinan untuk sampai di titik ini.

Utrecht tidak saya raih dalam satu-dua langkah kaki, ada ribuan bahkan jutaan langkah yang harus lebih dulu saya lalui. Dan yang terpenting, ini bukan finis. Kaki saya masih siap untuk melanjutkan ribuan atau jutaan langkah lagi.

Amiruddin Bagus Kahfi.

===

Ini adalah part pertama dari tulisan saya di kanal #FromTheBench. Nantikan part berikutnya!