Sebuah Sudut Pandang Lain

Foto: Twitter @PSSI

Pertandingan antara Indonesia dan Malaysia dianggap menghadirkan rivalitas terbesar di lingkup sepakbola Asia Tenggara karena laga antara keduanya juga melibatkan aspek-aspek lain, seperti politik dan sejarah.

Indonesia akan berhadapan dengan Malaysia di pertandingan terakhir fase grup Piala AFF 2020. Duel ini bakal jadi penentu nasib masing-masing negara di turnamen ini. Indonesia hanya membutuhkan hasil imbang, sementara Malaysia mesti memenangi pertandingan untuk bisa melaju ke babak berikutnya.

Sebuah partai besar dengan tajuk “Derbi Nusantara”. Pertandingan antara dua negara bertetangga yang dianggap menghadirkan rivalitas terbesar di lingkup sepakbola Asia Tenggara karena laga antara keduanya juga melibatkan aspek-aspek lain dalam kehidupan, seperti politik dan sejarah.

Kedua negara bertemu di pertandingan kompetitif pada Turnamen Merdeka pada 1957. Waktu itu tim Garuda menang dengan skor 4-2. Gol-gol Indonesia dicetak oleh Saari dan Jasrin Jusron. Total hingga tahun 2021, kedua negara sudah bertanding 78 kali, Indonesia menang 32 pertandingan, Malaysia 25 pertandingan, 17 laga lainnya berakhir imbang.

Lekat dengan Nuansa Politis

Selama bertahun-tahun, laga antara Indonesia dan Malaysia selalu dilingkupi oleh nuansa politis. Laga-laga pada 1960-an sangat dipengaruhi oleh jargon “Ganyang Malaysia” dari Presiden pertama Indonesia, Sukarno.

Kala itu, Sukarno menentang keinginan Federasi Malaya, nama Malaysia saat itu, yang ingin memasukkan wilayah Sarawak, Brunei, dan Sabah. Ini merupakan sengketa wilayah paling awal di antara Malaysia dan Indonesia setelah Perang Dunia II.

Terdapat demonstrasi besar-besaran di wilayah utara Kalimantan dan Brunei. Mereka berharap adanya referendum untuk menentukan nasib sendiri, atau dengan kata lain, bergabung dengan Federasi Malaya. Akan tetapi, ini dianggap upaya perpecahan menurut Presiden Sukarno karena negara tersebut dianggap hanya menjadi “boneka” untuk pemerintah kolonial Inggris. Akhirnya muncul pidato bersejarah “Ganyang Malaysia” pada 1963.

Dampak dari pidato tersebut sama kuatnya dengan pesan Sukarno kepada Sucipto Suntoro, kapten Timnas Indonesia, ketika Timnas bersiap untuk “misi diplomatiK” ke Eropa pada era yang sama. Tujuannya adalah menunjukkan kedaulatan Indonesia.

Pada bertahun-tahun setelahnya, pertandingan Indonesia melawan Malaysia terus memanas. Sengketa wilayah, saling klaim produk dan budaya, pernyataan kontroversial menjadi pemantik rivalitas antara kedua negara, yang kemudian tertuang di lapangan.

Sudut Pandang Lain tentang Final Piala AFF 2010

Setidaknya ada beberapa laga antara Indonesia dan Malaysia yang begitu dikenang. Pada ajang Piala AFF, yang dulu bernama Piala Tiger, ada dua yang selalu menjadi catatan dan diingat banyak orang.

Pertama, babak semifinal Piala Tiger 2004. Indonesia takluk 1-2 di Gelora Bung Karno, padahal saat itu merupakan peringatan bencana Tsunami Aceh. Akan tetapi, akhirnya Ponaryo Astaman dan kawan-kawan sukses membalikkan keadaan di kandang lawan dengan heroik. Indonesia menang dengan skor 4-1, sekaligus masih menjadi comeback terbaik dalam sejarah turnamen.

Sementara yang selanjutnya adalah pertemuan yang paling sering dibicarakan dan masih mengundang misteri hingga bertahun-tahun setelahnya: Partai final Piala AFF 2010. Indonesia yang menang besar di laga fase grup dengan skor 5-1, secara mengejutkan tumbang di partai puncak dengan agregat 2-4.

Misteri melingkupi partai final tersebut, terutama leg perdana yang digelar di stadion Bukit Jalil. Beredar cerita bahwa terjadi suap terhadap beberapa pemain Indonesia untuk mengalah pada laga tersebut. Ditambah beberapa footage yang semakin membuat premis ini menjadi meyakinkan, seperti laser yang diarahkan kepada kiper Markus Haris Maulana, serta pemain belakang Indonesia yang terjatuh ketika mengawal pemain Malaysia.

Selama bertahun-tahun publik “menerima” cerita ini. Bagaimana ada skandal suap dan berbagai kontroversi lainnya yang membuat Indonesia gagal meraih gelar juara Piala AFF untuk pertama kalinya meskipun sudah tampil impresif sepanjang turnamen.

Namun, yang selalu dibicarakan adalah dari sisi Indonesia atau lebih tepatnya adalah bagaimana publik sepak bola Indonesia memandang kontroversi yang terjadi di pertandingan tersebut. Jarang sekali dibahas bagaimana pihak Malaysia memandang apa yang terjadi di Bukit Jalil saat itu.

Karena ini merupakan “persoalan teruk” akhirnya saya mencoba menggali, terutama ketika saya mendapatkan mewawancarai pelatih timnas Malaysia saat itu, Datuk Rajagobal Krishnasamy di siniar saya, Man to Man Marking, menyebut bahwa setelah pertandingan pertama di fase grup, ia meminta anak asuhnya untuk melupakan hasil laga. Meskipun Malaysia kalah telak, Coach Raja beranggapan bahwa lima gol yang bersarang ke gawang anak asuhnya merupakan kesilapan atau kesalahan individu. Ia meminta pemain untuk lebih fokus kedepannya.

Serangkaian perubahan dibuat, salah satunya diposisi penjaga gawang. Sharbinee Allawee digantikan kiper yang jauh lebih belia, yaitu Khairul Fahmi Che Mat. Di mana kiper asal Kota Bharu ini hanya kemasukan satu gol hingga partai final. Penampilan terbaiknya adalah ketika tidak kemasukan satu gol-pun di dua leg semifinal melawan Vietnam.

“Saya melihat kalau Sharbinee benar-benar nervous di laga pertama melawan Indonesia. Akhirnya saya ganti dia dengan Khairul Fahmi Che Mat yang memang lebih memberikan ketenangan kepada pemain lain,” ujar Rajagopal.

Hal senada juga diungkapkan kapten tim, Mohd. Safiq Rahim, ketika saya berkesempatan mewawancarai beliau ketika timnya saat itu, Melaka United, melakukan tur pramusim ke Indonesia. Bagi Safiq, kesuksesan Malaysia meraih gelar juara Piala AFF 2010 utamanya adalah karena para pemain tampil lepas, tidak terbebani. Karena sudah kalah telak di pertandingan pertama melawan Indonesia, ya sudah, nothing to lose.

Selain itu, menurut Safiq, sikap para pemain Indonesia yang “percaya diri” pada laga sebelum final juga menjadi motivasi. Ini yang kemudian membuat para pemain Malaysia menjadi percaya diri untuk menghadapi Indonesia, apalagi mereka juga tampil di hadapan publik sendiri di Stadion Bukit Jalil.

Kejadian ini berbanding terbalik dengan yang terjadi pada 2004. Menurut Ilham Jaya Kesuma, kala itu para pemain Malaysia yang pongah terlebih dahulu karena sudah menang di leg pertama di kandang Indonesia. Ini memantik semangat Ilham dan kawan-kawan untuk membuktikan diri. Apa yang terjadi setelahnya sudah tercatat dalam sejarah.

Selain dari pihak Malaysia, ada juga cerita dari tim Indonesia. Cerita berasal dari kapten tim Firman Utina. Ia berujar kalau memang Malaysia saat itu sudah jauh lebih bersiap. Ia mendapatkan cerita kalau staff kepelatihan Rajagobal melakukan pengamatan dan pencatatan luar biasa terkait tim Indonesia.

“Jadi saya dapat cerita, kalau ada tim pelatih Malaysia, sampai nyatetin menit main pemain Indonesia. Siapa yang main paling sering, siapa pemain yang akan masuk pada menit kesekian, di mana posisi kecenderungan (Cristian) Gonzáles untuk menembak bola, dan lain-lain. Selain mereka juga membuat tekanan untuk kita di pertandingan lewat media-media,” ungkap Firman.

***

Dari cerita-cerita yang saya dapatkan, sementara dari sudut pandang Indonesia apa yang terjadi di Bukit Jalil adalah kontroversi, bagi Malaysia yang terjadi saat itu adalah hasil dari sebuah progress. Bagaimana mereka berkembang dalam turnamen dari tim yang kalah telak 5-1 di pertandingan perdana, kemudian terus melaju dan akhirnya memenangi turnamen.

Soal sudut pandang lain ini menjadi penting karena mau tidak mau ini akan memengaruhi cara pandang terhadap setiap laga antara Indonesia melawan Malaysia di masa-masa selanjutnya. Apabila hasil tidak sesuai harapan, akan ada praduga bahwa pertandingan tersebut ada yang “main”.

Akan tetapi, bisa jadi Indonesia memang kalah, karena, ya, kalah saja, baik secara taktis maupun teknis karena ini juga terjadi pada final Piala Tiger 2004. Ingatan selektif publik Indonesia terkait kegagalan tersebut adalah karena Boaz Solossa cedera pada leg pertama. Padahal, menurut penuturan beberapa pemain, pada dua leg tersebut, Singapura tampil jauh lebih matang, terutama dari segi taktis.