Sejumput Amuk, Sekepal Amarah

Foto: Retro Man United.

Dalam setiap tim yang memungkinkannya untuk berjaya, Manchester United selalu memiliki seorang gelandang bertahan jempolan. Dahulu ada Roy Keane, esok entah siapa lagi.

Ketika dunia dan seisinya membuatmu kesal bukan main, kamu selalu memiliki pilihan: Memukuli tembok-tembok angkuh itu sampai puas atau sampai tangamu remuk dengan sendirinya.

Ketika John Lennon menggubah ‘Strawberry Fields Forever’, ia tak lupa menyisipkan kalimat magis itu. “Living is easy with eyes closed,” katanya, menyiratkan bahwa biasanya kamu bakal baik-baik saja kalau bersikap tidak peduli.

Dalam sudut pandang lain, kalimat tersebut juga bisa diartikan bahwa selama kamu hidup, yang terpenting adalah dirimu sendiri dahulu. Dunia serta seisinya tidak akan melulu menjadi teman yang senantiasa menjabat tanganmu dengan hangat.

Alkisah, ketika Manchester United sedang jaya-jayanya, mereka punya seorang kapten yang amat disegani ditakuti. Namanya Roy Maurice Keane, seorang berandalan dari Cork, Irlandia, yang pernah menghabiskan masa mudanya menjadi petinju amatir.

Keane adalah orang kurang ajar dan sengak. Pada masa-masanya sebagai pemain junior, dia pernah membuat bus Timnas Irlandia terlambat berangkat karena menunggu dirinya. Ketika sang pelatih, Jack Charlton, menegurnya, Keane menjawab dengan sikap degil: “Memangnya aku menyuruhmu menungguku?”

Betapa menjengkelkannya Keane sampai-sampai rekan setimnya sendiri “malas” kalau harus berurusan dengannya. Energinya seperti tidak habis-habis. Baik di sesi latihan maupun pertandingan sungguhan, ia selalu bersikap sama. Gara-gara ini, eks bek United, Gary Neville, pernah berkelakar. “Cuma dengan melihat orangnya saja sudah bikin capek duluan,” katanya.

Namun, United beruntung memiliki pemain seperti Keane. Dalam dunia kecil Premier League, tempat mereka hampir selalu menjadi juara di ujung musim, United menjalani peran sebagai tim arogan yang tidak disukai. Dalam lakon itu mereka seperti berkata, kami melawan dunia.

Celakanya buat lawan, Keane adalah manifestasi dari sikap “kami melawan dunia” itu. Kalau semua bisa dihajar, ya, hajar saja. Jarang betul melihat Keane tersenyum atau cengengesan, seolah-olah bersikap menyenangkan atau sekadar membiarkan retakan kecil di sudut mulut muncul adalah sebuah aib.

Namun, begitulah adanya Keane. Ia mungkin menganggap dirinya adalah Peter Pan—minus bubuk peri dan imajinasi riang—yang bisa melakukan segalanya sesuai kehendaknya. Di lini tengah, ia adalah dinamo hidup yang meniupkan roh ke seluruh persendian mesin United.

Sebagai seorang gelandang box-to-box dan perebut bola, Keane punya agresivitas yang pilih tanding. Saking agresifnya sampai-sampai ia rela melakukan tindakan yang tidak bisa mendapatkan pembenaran: Sengaja mencederai lawan. Namun, lagi-lagi… Begitulah adanya Keane. Dia adalah sejumput amuk dan sekepal amarah United.

Ketika ia berpisah dengan United—dengan cara yang tidak baik-baik pula—ada lubang besar yang sulit untuk diisi siapa pun di lini tengah United. Persoalannya, tidak ada yang betul-betul bisa mereplika gaya main dan agresivitas Keane.

***

Sir Alex Ferguson pernah mencoba cara yang teramat absurd untuk menggantikan Keane, yakni dengan memasang Alan Smith—seorang penyerang—sebagai gelandang bertahan. Alasannya sederhana, Smith juga memiliki determinasi dan agresivitas tinggi. Namun, bermain sebagai gelandang bertahan sekaligus mengemban peran box-to-box midfielder tidak sesederhana itu.

Pada musim panas 2006//07, Ferguson akhirnya menyerah untuk mencari seorang Roy Keane baru. Sosok pengganti itu datang, namanya Michael Carrick. Sekalipun mengenakan nomor 16, Carrick adalah arketipe gelandang yang berbeda dengan Keane.

Tidak seperti Keane yang doyan betul umbar tenaga, Carrick lebih kalem. Ketika melakoni aksi defensif, ia lebih memilih untuk membaca pergerakan lawan dan bola dan menutup ruang yang sekiranya bisa dieksploitasi. Nilai plusnya, Carrick juga seorang pemberi umpan yang jitu. Oleh karena itu, ia bisa bermain sebagai holding midfielder jempolan.

Ada keyakinan bahwa dalam setiap tim yang berhasil membawa United berjaya, ada tulang punggung yang kokoh. Tulang punggung itu biasanya terdiri dari penjaga gawang yang bisa memberikan rasa aman, pasangan bek tengah yang kokoh, serta seorang gelandang bertahan yang bisa tampil konsisten. Semuanya dilengkapi dengan penyerang yang rutin memberikan gol.

Ketika United mendatangkan Raphael Varane pada awal musim 2021/22, ada saja yang menyamakannya dengan pembelian Rio Ferdinand pada 2002. Sebuah keputusan yang bisa mendatangkan gelar juara liga, katanya. Namun, mereka lupa bahwa skuad United jauh dari komplet.

Perekrutan Varane memang langkah jitu. Namun, apa gunanya memiliki lini tengah kokoh jika terus-terusan terekspos karena lini tengah yang keropos. Hanya dengan sekali melihat, kamu akan tahu bahwa lini tengah ‘Iblis Merah’ betul-betul tidak seimbang. Dalam sekali main, mereka bisa menggunakan dua gelandang bertahan sekaligus. Namun, kenyataannya, hanya tiga pemain yang tersedia untuk bermain di pos tersebut.

Dari ketiga pemain itu, Fred dan Scott McTominay adalah yang paling sering dimainkan. Pemain ketiga, Nemanja Matic, harus berpasrah mendapatkan peran sebagai pelapis. Namun, di antara ketiganya, justru Matic yang bisa berperan sebagai holding midfielder dengan baik.

Ralf Rangnick, sang interim yang datang di tengah musim, paham akan masalah ini. Sejauh ini, ia masih memercayai Fred dan McTominay untuk berduet. Namun, ia melakukan tweak di dalam taktik. Keduanya tak lagi bermain dalam pola 4-2-3-1, melainkan 4-2-2-2. Dalam pola tersebut, aksi defensif seperti pressing dijalankan secara kolektif. Tidak hanya itu, ketika tidak sedang menguasai bola, United juga tampil lebih rapat. Ini, ditambah dengan perubahan role Fred, membuat kerja kedua gelandang bertahan itu lebih mudah.

[Baca Juga: Fred adalah Glitch dan Kita Hidup dalam The Matrix]

Maka, tidak mengherankan apabila dalam beberapa pekan terakhir, muncul kabar bahwa United dan Rangnick bakal memprioritaskan pembelian gelandang bertahan pada bursa transfer musim dingin. Pertanyaannya, gelandang bertahan macam apa yang semestinya mereka incar?

Melihat cara main Rangnick, sang gelandang bertahan tentu saja mesti mampu bermain dengan intensitas tinggi. Untuk memahami ini, kita bisa menyimak apa yang pria asal Jerman itu katakan mengenai Fred dan McTominay. Menurutnya, pasangan gelandang itu adalah “nomor 6 kembar terbaik ketika tidak sedang menguasai bola”. Artinya, Rangnick menggemari cara keduanya melakukan pressing dan kemampuan merebut bola.

Per catatan Fbref, McTominay rata-rata melakukan 8,48 ball recoveries per 90 menit. Fred, sementara itu, justru lebih tinggi; ia rata-rata melakukan 11,25 ball recoveries per 90 menit. Ini, tentu saja, belum bicara soal intensitas pressing.

Masih menurut catatan Fbref, McTominay rata-rata melakukan 3,76 successful pressures per 90 menit, sedangkan Fred rata-rata melakukan 7,23 successful pressures per 90 menit. Seluruh catatan ini adalah torehan mereka selama Premier League musim ini.

Foto: Catatan pressing Fred selama Premier League 2021/22. Sumber: Fbref.
Foto: Catatan pressing McTominay selama Premier League 2021/22. Sumber: Fbref.

Dengan atribut dan agresivitas seperti itu, ada anggapan bahwa sesungguhnya Fred dan McTominay bukanlah gelandang bertahan murni. Mereka adalah gelandang tengah. Oleh karena itu, ada baiknya mereka mendapatkan tandem seorang gelandang bertahan yang bisa memainkan peran sebagai holding midfielder. Sebab, dengan demikian, mereka bisa melakukan tekanan ke depan tanpa harus khawatir meninggalkan lubang di belakang.

Melihat anggapan itu, wajar kalau nama Declan Rice masih muncul ke permukaan. Rice adalah gelandang bertahan yang amat disukai oleh pelatih United sebelumnya, Ole Gunnar Solskjaer. Dia dianggap punya kemampuan komplet; dribel, melepas operan jitu, duel udara, sekaligus melakukan patroli di area pertahanan, semua bisa ia jalani.

Sepanjang musim ini, menurut catatan WhoScored, Rice rata-rata melakukan 2,4 tekel dan 1,9 intersep sukses di Premier League. Di luar itu, ia masih bisa menyumbang 3 assist untuk West Ham United dengan rata-rata operan kunci mencapai 0,9 per 90 menit, catatan yang lumayan untuk seorang gelandang bertahan.

Namun, membeli Rice pada bursa transfer musim dingin tidak akan menjadi perkara mudah. Selain itu, harganya sudah pasti mahal. Maka, United kudu mencari opsi lain. Menurut sejumlah laporan, salah satu pemain yang ada di dalam daftar mereka adalah gelandang milik RB Leipzig, Amadou Haidara.

Haidara adalah arketipe gelandang bertahan yang berbeda jika dibandingkan dengan Rice. Toleh saja aspek ofensifnya di Bundesliga musim ini: Ia memang sudah mencetak 2 gol, tapi belum menyumbang assist. Catatan umpan kuncinya, sementara itu, adalah 0,3 per 90 menit.

Namun, Haidara memiliki sejumlah aspek yang memungkinkannya bakal amat disukai Rangnick seperti halnya Fred dan McTominay. Catatan ball recoveries-nya di Bundesliga musim ini mencapai 11,88 per 90 menit. Selain itu, catatan successful pressures-nya mencapai 6,72 per 90 menit.

Foto: Catatan pressing Haidara selama Bundesliga 2021/22. Sumber: Fbref.

Mengingat Rangnick sudah melakukan tweak ketika memasang dua gelandang agresif sekaligus, yakni dengan melakukan pressing kolektif dan menjaga kerapatan ketika sedang tidak menguasai bola, mendatangkan Haidara pada bursa transfer musim dingin memang lebih masuk akal.

Lagi pula, tidak mungkin memainkan dua gelandang bertahan terus-terusan pada setiap laga, tetapi stok pemain yang bisa bermain di pos tersebut cuma tiga. Kendati begitu, tetap saja keberadaan seorang gelandang bertahan yang bisa bermain sebagai holding midfielder tetap krusial, mengingat Matic sudah tidak muda lagi—usianya sudah 33 tahun—dan acap kerepotan meladeni lawan yang bermain dengan intensitas tinggi.

Namun, untuk urusan yang satu itu, rasanya United bisa mengejarnya pada musim panas tahun depan.