Seni Menertawai Diri Sendiri ala Brighton

Foto: Twitter @OfficialBHAFC.

Para pendukung Brighton boleh takjub melihat pencapaian tim mereka sejauh musim ini berjalan. Namun, The Seagulls tidak mendapatkannya secara kebetulan.

Kamu bisa memiliki banyak kemewahan dalam hidup, tapi belum tentu mendapatkan salah satu kemewahan paling hakiki: Kemampuan menertawai diri sendiri.

Ketika Tyrion Lannister lahir, ayahnya tidak menghendakinya. Ia punya cacat di wajah dan akhirnya tumbuh menjadi pria berbadan pendek. “Kalau aku lahir dari seorang petani, aku pasti sudah dibuang. Namun, aku lahir sebagai seorang Lannister,” katanya.

Orang-orang memanggilnya dengan julukan yang amat menghina karena tubuhnya yang pendek: The Imp. Namun, daripada mengutuki nasib yang tak pernah ia inginkan, Tyrion memilih untuk memeluknya erat-erat.

Tyrion memilih untuk hidup dengan berkalung hinaan dan memamerkannya ke mana-mana. Baginya, itu lebih baik ketimbang bersembunyi dan meratap di balik tembok—yang mungkin saja bakal makin terlihat menyedihkan.

“Kenakanlah selayaknya ia baju zirah. Dengan begitu, takkan ada yang bisa melukaimu,” ucap dia.

Para pendukung Brighton and Hove Albion tentu paham bagaimana rasanya menjadi Tyrion. Sebagai klub, permainan mereka tidak bisa dibilang buruk-buruk amat. Kalau melihat catatan statistik pun mereka layak untuk menepuk dada.

Dunia media sosial mengenal Brighton sebagai tim yang doyan betul mencetak xG tinggi, tetapi seringkali urung mencetak gol atau mencetak gol lebih sedikit dari xG yang mereka torehkan. Para pendukung Brighton tidak buta-buta amat. Mereka paham bahwa ada stereotipe macam itu yang ditujukan buat mereka di luar sana.

Maka, ketimbang mendapuknya sebagai hinaan, mereka memilih untuk mengenakan stereotipe tersebut sebagai sebuah “baju zirah”. Tentu, kegagalan mencetak gol adalah sesuatu yang buruk. Namun, membuat torehan xG yang lebih tinggi menceritakan hal lain.

Lewat catatan tersebut, Brighton menunjukkan bahwa kualitas peluang yang mereka kreasikan amat baik. Dengan begitu, angka harapan gol mereka pun menjadi tinggi. Satu-satunya yang kurang, tentu saja, adalah kedinginan di depan gawang untuk menyelesaikan peluang-peluang itu.

Pada musim 2020/21, Brighton memiliki angka xG 39,39 dari situasi open play. Namun, jumlah gol yang mereka cetak dari situasi serupa hanya 27. Begitu juga dari situasi-situasi lain seperti sepak pojok, tendangan bebas, tendangan bebas langsung, dan penalti—jumlah gol yang mereka cetak selalu di bawah xG.

Maka, ketika Brighton melesat pada awal musim ini, para pendukungnya cuma bisa tertawa sambil geleng-geleng kepala. Dari angka xG yang tertera di Understat, Brighton sukses mencetak 5 gol dari open play. Padahal, xG mereka dari situasi yang sama sebesar 4,16.

Situasi ini membuat para pendukung Brighton heran sendiri. Daripada jemawa, mereka memilih untuk terkekeh geli sendiri. “Ini seperti bukan kita saja,” begitu kira-kira ucapan mereka.

***

Nama Brighton and Hove Albion sendiri bisa mengundang lelucon. Di kalangan pengguna Twitter di Indonesia, saya pernah membaca bagaimana klub ini tampak seperti dua buah klub: Brighton dan Hove. Maka, tim-tim yang menghadapi The Seagulls tampak menghadapi dua lawan sekaligus.

Kenyataannya, kota Brighton memang gabungan dari dua buah kota kecil (town), yakni Brighton dan Hove. Pada 1997, mereka membentuk sebuah unitary authority, tetapi baru mendapatkan status kota (city) dari Ratu Elizabeth II pada 2001.

Kendatipun sudah menjadi satu entitas yang sama, masih banyak penduduk lokal yang menganggap Brighton and Hove adalah dua kota yang berbeda. Sementara, orang-orang Inggris lainnya lebih memilih untuk menyebutnya dengan sederhana: Brighton—mengambil nama pertama dari kota yang terkenal dengan resor pinggir pantainya ini.

Di kota ini, Graham Potter mengadu nasib. Ketika datang, ia sudah lebih dikenal di sepak bola Inggris setelah Swansea City, yang ia tukangi dari dari 2018 hingga 2019, mendapatkan pujian dari berbagai pihak, termasuk Pelatih Leeds United, Marcelo Bielsa.

Sebagai pelatih yang dianggap cukup progresif, Bielsa memandang Potter adalah juru taktik yang cukup inovatif. Menurutnya, Potter punya ide yang jelas mengenai bagaimana ia ingin timnya bermain. Dan itu semua terefleksikan pada Swansea yang ia tangani.

Tentu saja, apa-apa yang Potter lakukan di Swansea bukan sesuatu yang baru pada karier kepelatihannya. Jauh sebelum menangani The Swans, pria kelahiran Solihull—sebuah kota di West Midlands dan terletak di barat laut Brighton—terlebih dahulu membangun karier di Östersunds FK selama tujuh tahun.

Östersunds bukanlah klub besar di Swedia. Mereka bahkan baru lahir pada 31 Oktober 1996 alias hampir 25 tahun silam. Oleh karena itu, perjalanan Potter dengan menerima pinangan klub antah-berantah di luar negaranya sendiri mirip dengan romantisme para pemain gim Football Manager yang seringkali memilih menukangi klub medioker untuk kemudian memimpin mereka menuju kejayaan.

Graham Potter di Östersunds. Foto: @SkySportsNews.

Potter memang tidak bergelimang gelar bersama Östersunds. Namun, ia melakukan sesuatu yang bisa membuatnya dielu-elukan pendukung: Dua musim beruntun membawa Östersunds promosi. Pencapaian semacam ini adalah sebuah American Dream bagi pemain Football Manager mana pun—meski karena ini terjadi di Swedia, mungkin label Swedish Dream lebih cocok.

Untuk mencapainya, Potter tidak hanya melakukan pembenahan dari segi taktik. Ia juga meminta pemain-pemainnya lebih aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan di luar klub bersama para suporter. Ini yang membuat hubungan Östersunds dengan para pendukung mereka menjadi lebih erat.

Di lapangan, Potter meminta timnya bermain proaktif dan menerapkan sepak bola ofensif. Ia menerapkan pola 3-5-2 dan mengandalkan possession sebagai alat untuk mengkreasikan peluang. Kendati begitu, Potter bukan pelatih yang saklek. Sebaliknya, ia begitu fleksibel.

“Timnya bisa memulai permainan dengan satu cara, tetapi kemudian di tengah laga bermain dengan sistem berbeda. Ujung-ujungnya, mereka mengakhiri laga dengan sistem ketiga,” kata legenda sepak bola Swedia, Henrik Larsson, kepada The Independent.

Bagi Potter, segala pembenahan yang ia lakukan untuk Östersunds itu bukan sekadar untuk memperbaiki permainan, tetapi juga untuk membangun kultur yang lebih segar dan menyenangkan bagi para pemain dan pendukung. Pernah, pada suatu ketika, Östersunds mengadakan konser khusus untuk suporter dengan Potter naik panggung sebagai salah satu penampilnya.

“Kami mencoba membangun sebuah tim yang bisa merasa nyaman bahkan pada situasi yang tidak nyaman sekalipun,” kata Potter.

Ketika Potter akhirnya memilih menerima pinangan Swansea pada Juni 2018, ia tidak hanya meninggalkan sebuah klub, tetapi juga sebuah keluarga besar.

***

Terlepas dari candaan pendukungnya sendiri, yang merasa bahwa Brighton sedikit overachieving pada musim ini, kenyataannya mereka memang layak berada di posisi tersebut. Dalam enam pekan perdana Premier League musim ini, Brighton telah mengoleksi 4 kemenangan, 1 hasil imbang, dan 1 kekalahan.

Mereka kini duduk di urutan keenam dengan 13 poin. Torehan poin tersebut sama dengan empat tim lainnya yang berada di atas mereka, yakni Manchester City, Chelsea, Manchester United, dan Everton.

Untuk sebuah klub papan tengah, pencapaian Brighton dan Potter jelas layak mendapatkan aplaus. Mereka tidak mendapatkannya dengan singkat, tetapi terlebih dahulu mematangkan sistem yang mereka percayai hingga akhirnya bisa mereka eksekusi dengan baik di atas lapangan.

Salah satu kemampuan terbaik Brighton adalah bagaimana mereka menerapkan pressure terhadap lawan. Menurut catatan Fbref dan Statsbomb, secara rata-rata, mereka sukses mendapatkan bola 5 detik setelah menerapkan pressure kepada lawan.

Per catatan The Athletic, identitas permainan Brighton di tangan Potter bisa dilihat dari beberapa hal: Penerapan possession football yang sabar, set piece, dan bagaimana mereka melakukan pressing.

Tentu, melihat perjalanan musim kemarin, Brighton mesti mengasah kemampuan mereka untuk menyelesaikan peluang. Yang jelas, keberadaan mereka di papan atas saat ini jelas bukan sebuah kebetulan.