Sepak Bola, Berbahagialah seperti Toto Di Natale

Ilustrasi: Omar Ram/Unsplash

Bagi Antonio Di Natale meraih deretan trofi bukanlah definisi meraih kebahagiaan di atas lapangan hijau sesungguhnya. Ia memaknai sepak bola dengan berbeda.

Antonio Di Natale sempat menegaskan bahwa sepak bola bukanlah cerita tentang deretan trofi prestisius. Bukan pula dongeng soal orang-orang ambisius yang bermimpi meraih kesuksesan dan kekayaan dari si kulit bundar.

Sepak bola, bagi Di Natale, adalah kisah soal bagaimana manusia berbahagia. Entah di atas lapangan, bangku cadangan, sudut-sudut tribun, maupun depan televisi.

Ketika berbicara kebahagiaan, setiap manusia memiliki takaran sendiri. Arthur Schopenhauer, filsuf berpredikat bapak pesimisme modern, pernah berkata, kebahagiaan manusia ditentukan oleh ekspektasi.

Semakin besar ekspektasi, kata Schopenhauer, kebahagiaan kian sulit dicapai. Ekspektasi yang besar hanya membuat manusia berteman karib dengan banyak penderitaan dan kata sifat muram lainnya: Kesedihan, kemalangan, keterpurukan, dan seterusnya.

Dalam esai berjudul ‘On the Suffering of the World’, Schopenhauer menulis bahwa kadar kebahagiaan bukan diukur dari banyaknya suka cita dan kesenangan, melainkan sejauh mana manusia terbebas dari penderitaan. Sialnya, penderitaan manusia akan mengemuka saat ekspektasi tak menjadi realitas.

Meski begitu, Schopenhauer tak memungkiri bahwa gairah hidup manusia bersumber dari pengharapan. Maka, ia mengambil kesimpulan brengsek: Bahwa setiap penderitaan manusia yang berbeda sejatinya adalah keadaan paling umum dalam kehidupan ini.

***

Sepak bola adalah dunia yang disesaki ekspektasi. Banyak pesepakbola muda bermodal tubuh atletis dan seperangkat skill menjanjikan bersikukuh mendapat kontrak dengan klub besar.

Ada pemain yang mengkhianati janji dengan klub antah berantah untuk sekadar merasakan atmosfer berlaga di panggung internasional.

Ada pula klub yang merekrut pelatih berkelas, dan mendatangkan seorang pemain dengan biaya selangit untuk mengembalikan kejayaan.

Namun, dari semua cerita tentang sepak bola dan ekspektasi, ada pemain bintang yang mempersetan trofi dan ambisi hanya untuk menciptakan kebahagiaan bagi dirinya, keluarga, dan orang-orang di tribune.

Pemain itu bernama Antonio Di Natale.

Antonio Di Natale (Wikimedia Commons)

Toto --demikian Di Natale disapa-- memulai karier sepak bola bersama Empoli pada 1994. Bersama Empoli, ia mengasah insting mencetak gol dan meningkatkan kapabilitas sebagai penyerang tajam.

Butuh tiga tahun bagi Toto untuk menjalani debut profesional manakala Empoli bersua Cremonese pada ajang Serie B. Tak ada puja-puji yang ia dapatkan saat wasit meniupkan peluit panjang.

Toto sulit menembus tim utama. Keberadaan penyerang senior di tubuh Empoli menjadi penyebabnya. Meski begitu, Luciano Spalletti --pelatih Empoli saat itu-- masih menaruh kepercayaan kepadanya.

Spalletti pun memberikan waktu kepada Toto untuk berkembang dan membuktikan bahwa ia adalah penyerang potensial. Iperzola, Varese, dan Viareggio, menjadi pelabuhan Toto tiga musim berikutnya dengan status pemain pinjaman.

Dari sederet tempat itu, kualitas Toto menyoal mengolah si kulit bundar melesat. Dari sederet tempat itupula, Toto bertekad menjadi pesepakbola hebat. Dari sederet tempat itu juga, Empoli menaruh harapan kepadanya.

Musim 1999/2000, Toto kembali berseragam Empoli. Meski merangkum 6 gol, kepercayaan Empoli kepada ia menguat. Kepercayaan itu dibayar tunai pada musim 2001/2002. Saat itu, ia berhasil mengantarkan Empoli ke kompetisi teratas Italia, Serie A, dengan mengemas 16 gol.

Sejak itu, Toto mulai diperhitungkan. Musim pertama berlaga di Serie A, ia tak gentar. Berhadapan dengan bek-bek tangguh dunia, ia sukses mencatatkan 13 gol.

Sama seperti penyerang lainnya, ada saatnya insting mencetak gol menumpul. Pada musim 2003/2004, Toto hanya mengemas 5 gol. Buruknya performa Toto memaksa Empoli turun tahta ke Serie B setelah finis di peringkat ke-17.

Situasi tersebut jelas memukul kepercayaan diri Toto. Namun, Spalletti yang saat itu mengarsiteki Udinese meminta pihak klub untuk merekrut Toto. Bukan tapan alasan. Spalletti tahu betul kualitas si pemain.

Bersama Davide Di Michele dan Vincenzo Iaquinta, insting mencetak gol Toto membuas. Ia pun berhasil mengantarkan Udinese masuk kualifikasi Liga Champions pada musim pertamanya.

Sejak itu, Udinese menjadi kuda hitam siap merusak dominasi klub besar macam Juventus. Sedangkan nama Toto mulai disegani.

Gol demi gol Toto rangkum bersama Udinese. Puncaknya, ia menjadi pencetak gol terbanyak Serie A pada musim 2009-2010 dan 2010-2011.

Ketajaman Toto membuat Liverpool mengajukan penawaran. Namun, ia menolak. Pun demikian saat Juventus coba untuk merekrutnya. Ia justru menyatakan setia pada Udinese.

Penolakan tersebut menjadi awal kegagalan Toto meraih trofi prestisius. Selama berseragam Udinese, ia tak pernah menjuarai kompetisi apa pun. Striker tajam tanpa mahkota pun layak disematkan kepadanya.

Akan tetapi, apakah Toto menyesal dengan keputusannya tersebut? Tentu saja tidak.

“Saya bisa meraih (prestasi) lebih banyak di tempat lain, tapi saya membuat pilihan dan saya tidak menyesalinya," kata Toto. “Saya pernah bermain di Liga Champions, Liga Europa, dan satu Piala Dunia,” imbuhnya.

Toto memang tak pernah mencium trofi prestisius sepanjang kariernya, tapi ia mampu mencatatkan namanya sebagai pencetak gol terbanyak keenam Serie A dengan koleksi 209 gol, dan mengalahkan penyerang populer segudang titel juara seperti Roberto Baggio, Alessandro Del Piero, dan Filippo Inzaghi.

Dengan capaian tersebut, Toto pun tetap berbahagia. Sebab, ia tak pernah berekpektasi merengkuh deretan trofi prestisius. Atau meraih kesuksesan dan kekayaan dari si kulit bundar.

"Gol yang saya ciptakan untuk Udinese lebih banyak ketimbang saya menggelar makan malam bersama istri," katanya.

Ya, begitulah Toto. Di masa pensiunnya, ia mungkin akan mengajak istrinya makan malam bersama tiap hari.

Selamat berbahagia.