Sepak Bola Bukan Cinta Pertama Saya
Sewaktu kecil, saya, Wahyu Tri Nugroho, lebih ingin jadi pebalap motocross. Namun, berkat ibu, saya mendalami sepak bola sampai akhirnya bisa menjadi pemain profesional.
Sepak bola bukan cinta pertama saya. Sewaktu kecil, saya lebih ingin menjadi pebalap motocross. Lucu juga kalau diingat-ingat. Dengan sepeda kecil, saya melatih kemampuan menaklukkan medan terjal di seputaran desa. Lompat sana, lompat sini, kepot kiri, kepot kanan. Saya ingin jadi seperti bapak yang sewaktu muda, di tahun 80-an dulu, doyan sekali balapan.
Tapi, ada satu orang yang tidak suka melihat saya beraksi di atas sepeda. Beliau merasa khawatir setiap kali saya mulai memacu sepeda dengan ganas. Beliau adalah ibu saya. Ibu tahu saya suka sekali balapan, tetapi ibu juga tahu bahwa sebenarnya saya memendam rasa cinta di olahraga lain: Sepak bola.
Bagi saya, sepak bola datang begitu saja. Tidak ada yang mengenalkan, tidak ada yang membujuk, tidak ada yang menulari. Natural saja karena saya tumbuh besar tak jauh dari lapangan sepak bola. Kalau dihitung, jarak antara lapangan itu dan rumah saya cuma 300 meter. Selain "berlatih" balapan, waktu luang saya semasa kecil banyak dihabiskan di sekitar lapangan tersebut.
Desa Pengkol. Itu nama tempat saya tumbuh. Letaknya di Kecamatan Nguter, Kabupaten Sukoharjo. Jaraknya kurang lebih 45 menit dari pusat kota Solo. Waktu saya kecil, di awal tahun 90-an, Desa Pengkol masih sangat ramai. Para pemuda belum keluar kampung untuk bekerja dan setiap sore mereka bermain sepak bola di lapangan tadi.
Yang saya ingat, waktu berumur 5 sampai 7 tahun, saya sering sekali menghabiskan waktu di sekitar lapangan itu. Jadi, selain ada lapangan untuk bermain bola bagi orang-orang dewasa, ada juga sepetak tanah di belakang gawang yang biasa dipakai anak-anak untuk bermain. Ya, karena saya berada di sana, saya jadi sering mengambilkan bola untuk orang-orang dewasa tadi.
Di area lapangan itu, pasti ada dua permainan sepak bola. Orang-orang dewasa bermain pakai bola sungguhan, sementara anak-anak seperti saya pakai bola plastik. Nah, ketika bola sungguhan itu nyasar ke tempat kami bermain, kami senang sekali karena bisa merasakan menendang bola sungguhan. Perlahan dan diam-diam, rasa cinta untuk sepak bola tumbuh dalam diri saya.
Maka, ketika ibu melarang saya latihan balapan dan menyuruh fokus ke sepak bola, saya manut saja. Toh, saya memang suka sepak bola. Larangan dan perintah ibu itu kemudian ditanggapi bapak dengan mencarikan pelatih sepak bola. Tidak jauh-jauh, kok, bapak mencari. Cuma di seputar kecamatan.
Setelah bapak berhasil menemukan pelatih, anak-anak di kampung saya pun mulai berlatih sepak bola sungguhan. Akhirnya, kami anak-anak kecil ini tidak asal main tendang-tendangan pakai bola plastik!
Waktu itu saya belum berpikir panjang. Saya sama sekali belum memikirkan prestasi atau apalah. Yang ada di otak saya waktu itu cuma bermain bola dan bersenang-senang. Orang tua juga tidak menuntut supaya saya jadi juara atau bagaimana. Bagi mereka, yang penting saya tidak balap-balapan saja. Yang penting aktivitas saya positif, itu saja.
Tapi, lama kelamaan bakat saya betulan terasah. Saat berumur 10 sampai 12 tahun, saya bersama tim kampung saya mulai ikut kompetisi-kompetisi yang diselenggarakan PSSI Jawa Tengah. Nah, setelah itu barulah saya pindah ke SSB Putra Sukoharjo. Saya di sana sampai umur 14 tahun, itu berarti sekitar tahun 2000. Ketika sudah masuk SSB itulah saya mulai serius untuk mendalami sepak bola.
Tempat latihan SSB itu jauh dari kampung saya. Letaknya di pusat kabupaten. Jadi, sehabis pulang sekolah, dari kampung itu saya baik bus sendiri. Pulang pergi dengan bus saya jalani hampir setiap hari untuk berlatih sepak bola. Di SSB ini makin sering saya ikut kompetisi. Puncaknya, saya terpilih mewakili Jawa Tengah di Piala Bogasari U-15 tahun 2000. Ini adalah kompetisi level nasional.
Saya berhasil membawa Jawa Tengah sampai ke final. Lawan kami ketika itu adalah Jawa Timur. Ada Tony Sucipto, mantan pemain Persija, di skuad Jawa Timur waktu itu. Ada banyak juga calon pemain hebat lain yang terlibat di pertandingan itu. Walaupun menghadapi lawan sulit, tim Jawa Tengah berhasil keluar sebagai juara.
Jelas, saya senang sekali bisa jadi juara. Saya makin yakin bisa sukses jadi pesepak bola. Tapi, saya ini anak mami. Saya tidak bisa jauh-jauh dari ibu. Kemah Pramuka saja saya tidak pernah mau ikut karena harus berpisah dengan ibu. Karena inilah gelar juara Piala Bogasari tadi justru jadi beban buat saya. Sebab, tak lama setelah itu, saya dipanggil masuk Timnas U-15.
Jangan salah... Saya sebetulnya sangat bangga dan bahagia bisa dipanggil ke Timnas U-15. Permasalahannya, pemusatan latihan timnas itu digelar di Medan. Bayangkan, saya yang kemah Pramuka saja tidak pernah ikut disuruh ke Medan. Wah, susah betul hati saya waktu itu! Saya kepengin ikut timnas tapi saya juga tidak mau jauh-jauh dari ibu. Saya pun memutuskan untuk tidak memenuhi panggilan tadi dengan alasan masih sekolah. Padahal, selama di sekolah pun pikiran saya tidak pernah jauh dari sepak bola, hahahaha.
Sampai akhirnya, saya didatangi pelatih sepak bola saya di sekolah. Saya waktu itu masih SMP kelas 2. Dia sebelumnya sudah membujuk lewat SMS tapi saya tetap tidak mau ikut. Dia lalu datang ke sekolah untuk "mengintimidasi" saya. Setelah sampai di rumah, saya juga "diancam" oleh bapak ibu. "Pokoknya, kalau mau main bola terus, kamu harus pergi ke Medan," kata mereka.
"Intimidasi" pelatih dan "ancaman" orang tua itu betul-betul bikin saya takut. Saya sudah kadung jatuh cinta dengan sepak bola. Yang saya mau waktu itu cuma bisa main sepak bola. Akhirnya, saya pun menyerah. Saya memutuskan untuk berangkat ke Medan dengan diantar oleh kedua orang tua.
Pemusatan latihan Timnas U-15 itu adalah pemusatan latihan jangka panjang. Tiga tahun lamanya saya harus berlatih di sana. Selain karena digelar di Medan, jangka waktu inilah yang membuat saya sempat keberatan. Tapi, karena sudah didukung sepenuhnya oleh orang tua, saya luluh. Saya tekadkan untuk melakukan yang terbaik di pelatnas walaupun saya tidak tahu apa-apa.
Di Medan, saya dititipkan ke seorang ibu. Ibu ini yang mengurus saya dan sampai sekarang kami masih berhubungan. Walaupun ada yang mengurus, saya tetap tidak bisa tenang. Saya kangen ibu setiap malam. Saya tidak pernah berhenti menangis. Padahal, saya selalu bisa ngobrol dengan ibu. Sebelum pergi, saya dibelikan handphone Sony Ericsson jadul yang suaranya keras itu. Di depan SMP, saya dikasih handphone itu untuk telepon ibu setiap malam.
Ibu saya sendiri waktu itu belum punya handphone. Jadi, setiap hari ibu ke wartel untuk telepon saya. Di Medan, saya malah makin jadi anak mami, hehehe.
Walau begitu, di sesi latihan, saya selalu serius. Tahun pertama itu kami dilatih orang Inggris, namanya Jim Brayden. Lalu tahun kedua dan ketiga pelatihnya Eric Williams. Eric Williams ini bapaknya mantan pemain Persebaya, Aryn Williams. Dia orang Australia.
Selama berada di pelatnas, saya makin sering saja ikut turnamen. Tidak cuma turnamen lokal tapi juga internasional. Saya sering sekali pergi ke negara-negara Asia waktu itu. Pelan-pelan, saya semakin dewasa. Pelan-pelan, rasa takut saya untuk berada jauh di rumah semakin terkikis. Akhirnya, setelah kontrak tiga tahun di U-15 selesai, saya pun tidak langsung pulang kampung.
Tujuan saya waktu itu adalah Jakarta. Jadi, setelah proyek U-15 selesai, pemain-pemainnya diseleksi lagi untuk level U-20. Ketika itu pelatihnya adalah Peter Withe. Dia tidak cuma pegang tim senior, tapi juga sampai ke U-20. Timnas U-20 waktu itu sudah hampir jadi. Sudah ada pemain-pemain yang dipilih lebih dahulu. Kami yang eks U-15 ini jadi pelengkapnya.
Kalau tidak salah, cuma ada tiga atau empat pemain eks U-15 yang terpilih masuk ke Timnas U-20. Saya salah satunya. Selama satu tahun, saya ikut Timnas U-20, dari 2004 sampai 2005. Setelah itu, tim dibubarkan dan pemain-pemain dititipkan ke Persiba Bantul. Di Timnas U-20 itu saya satu tim dengan Bobby Satria, Denny Rumba, Atep, Yusuf Sutan Mudo, Tony Sucipto, banyak lah. Tapi, tidak semua dari mereka ikut ke Bantul. Yang sudah dapat tim, ya, tidak ikut bergabung. Yang gabung ke Bantul ini yang belum dapat tim.
Di Bantul, saya ikut kompetisi Liga 2. Waktu itu namanya memang bukan Liga 2, ya, tapi kita pakai istilah ini saja biar mudah. Peter Withe waktu itu sempat menemani juga tapi tidak lama. Satu tahun di Bantul, kontrak kami habis, kami pun bebas ke mana-mana. Tapi, saya waktu itu tidak langsung dapat klub.
Karena belum punya klub, saya diajak oleh teman saya ikut tarkam di Solo. Tarkamnya waktu itu sangat terkenal. Banyak pemain-pemain profesional yang ikut di sana ketika jeda kompetisi. Namanya Makamhaji Cup. Saya ikut di sana bersama klub internal Persis Solo yang namanya AT Farmasi.
Saya berhasil membawa tim sampai ke final. Waktu itu lawan kami adalah Panji Putra dari Sleman. Mereka punya Seto Nurdiyantoro sama adiknya, Fajar Listiyantoro, juga. Akhirnya, tim saya jadi juara setelah adu penalti. Nah, sejak itulah orang mulai bertanya-tanya.
Siapa, sih, kiper ini? Kecil tapi, kok, jago?
Publik sepak bola Solo dan sekitarnya memang tidak familiar dengan saya waktu itu karena dari kecil saya sudah merantau. Jadi, di Makamhaji Cup itulah saya baru betul-betul memperkenalkan diri pada mereka. Setelah itu, saya pun ikut seleksi Persis Solo tahun 2006. Kebetulan waktu itu Persis Solo punya target promosi. Alhamdulillah, saya lolos.
Saya masih 19 tahun waktu itu dan Persis Solo punya banyak pemain senior, salah satunya Mas Agung Setiabudi yang pernah main untuk Timnas Indonesia. Saya belajar banyak dari pemain-pemain senior itu, terutama dari Mas Agung yang suka kasih arahan ke pemain muda. Para pemain senior itu sangat keras dalam mendidik pemain muda. Mereka mendidik mental dan mengajarkan disiplin kepada kami.
Di sepak bola, percuma punya teknik bagus kalau tidak punya mental yang bagus. Setiap pemain harus punya jiwa leader. Saya beruntung bisa masuk dalam tim yang punya pemain-pemain seperti itu. Selain Mas Agung ada eks Primavera Ari Supriarso, ada juga pemain-pemain Jawa Timur seperti Sammy Pieters. Lalu dari luar negeri ada Simamo Bertrand, Orock Charles, Kotto Ekoka Valeri, Sekou Oumar. Mereka pemain-pemain bagus.
Satu musim di Liga 2, Persis Solo promosi ke Liga 1. Kami sempat tidak terkalahkan di Manahan sebelum akhirnya dikalahkan Persijap Jepara. Waktu itu kondisi pemain memang sudah tidak di top performance lagi dan kami semua butuh break. Biasanya, kalau sudah mulai turun begitu, kami refreshing. Caranya dengan outbound, makan bersama, pokoknya kegiatan menyenangkan yang dilakukan bersama.
Sayangnya, waktu itu Persis gagal lolos ke Liga Super. Waktu itu PSSI menciptakan liga di atas Liga 1. Persis tidak terdegradasi tetapi gagal lolos. Yang masuk ke Liga Super itu hanya tim yang berperingkat 1-8 di dua wilayah, sementara kami cuma finis di posisi ke-12. Sehingga, pada musim berikutnya kami bermain di kompetisi level kedua.
Saya memutuskan untuk tidak pergi. Saya masih penasaran. Saya pernah membawa Persis Solo berjaya dan saya tidak mau pergi begitu saja ketika tim sedang susah. Akhirnya, saya bertahan. Tapi, setelah itu situasi tim sangat buruk. Kami terancam degradasi dan waktu itu ada kejadian buruk. Teman saya, Nova Zaenal, masuk penjara karena berkelahi di lapangan.
Waktu itu kami berhadapan dengan Gresik United. Di tribune ada Kapolda Jawa Tengah yang ikut menonton. Dia tidak suka melihat ada pemain berkelahi di lapangan. Akhirnya, Nova Zaenal ditahan dan dipenjara tiga bulan. Itu yang paling saya ingat dari masa-masa tersebut. Kebetulan, itu juga merupakan tahun terakhir saya di Persis sebelum kembali ke Bantul.
Sebenarnya, Persiba sudah sejak lama memantau saya. Mereka punya pemain bagus dan punya target promosi. Saya dilihat sebagai salah satu pemain yang bisa mewujudkan target itu. Tapi, saya memang belum mau pergi dari Persis. Saya masih ingin menunjukkan penampilan terbaik walaupun Persis sendiri sedang kesulitan.
Saya sebetulnya sudah diajak bergabung ke Persiba setelah Persis dipastikan gagal lolos ke Liga Super. Setelahnya, saya kembali didekati manajer Persiba setelah Persis bertanding di Bantul di Liga 2. Persis menang 1-0 dan ada tendangan penalti mereka yang tidak masuk. Saya sudah dibujuk untuk gabung ke Persiba sejak itu. Kebetulan, manajer Persiba waktu itu masih sama dengan ketika saya bermain di sana. Jadi, kami memang sudah saling kenal.
Awalnya, saya tidak mengiyakan karena merasa masih punya kontrak di Persis. Tapi, setelah musim selesai, saya merasa sudah cukup di Persis. Saya pernah ikut ketika senang, saya ikut juga selagi susah. Saya ingin mengembangkan karier saya lebih jauh dengan bergabung ke Bantul yang punya ambisi besar.
Akhirnya, saya minta izin ke Pak Rudy (FX Hadi Rudyatmo) yang waktu itu jadi pengurus Persis.
Saya bilang, "Pak, saya mau pergi."
Dia pun bertanya, "Pergi ke mana?"
"Ke Bantul," jawab saya.
"Ya, ya, enggak apa-apa kalau ke Bantul, karena yang ngurus teman saya juga, Pak Idham Samawi," balas Pak Rudy.
Ternyata, mendapatkan restu dari Pak Rudy tidaklah sesulit yang saya kira. Akhirnya, saya pindah ke Bantul mulai tahun 2009. Lha, ternyata, ada juga beberapa pemain dari Persis yang ikut ke Bantul, hahahaha. Awalnya saya tidak tahu kalau manajemen Bantul juga merekrut mereka. Waktu itu ada saya, ada Wahyu Wijiastanto, ada Moukwelle Ebwanga, ada juga pelatihnya, Eduard Tjong.
Di tahun pertama, kami gagal promosi. Kami cuma sampai di empat besar. Baru di tahun kedua, musim 2010/11, kami berhasil promosi ke Liga 1. Waktu itu laga final digelar di Manahan. Kami menang 1-0 lawan Persiraja dan jadi juara Liga 2. Sayangnya, Persiba promosi di waktu yang salah. Situasi PSSI sedang panas-panasnya waktu itu dan semua tim dihadapkan pada dua pilihan: IPL atau ISL.
Wahyu Tri Nugroho
===
Ini adalah part pertama dari tulisan saya di kanal #FromTheBench. Nantikan part berikutnya!