Sepatu Putih Alfonso Perez dan Rivalitas El Gran Derbi

Alfonso Perez merayakan gol yang ia cetak. Foto: Twitter @RealBetis_en.

Sampai tua, Alfonso Perez tidak pernah sudi melihat Sevilla lebih sukses daripada Real Betis. Sebagai seorang Beticos yang taat, memang seperti itulah semestinya ia bersikap.

Ketika mendengar Liga Spanyol, ada banyak sosok tua berkelebat secara bergantian di kepala saya. Mulai dari si flamboyan Julen Guerrero, si pelontos serbabisa Ivan de la Pena, hingga sang pangeran Bernabeu, Raul Gonzalez. Yang juga cukup sering mampir adalah si penggedor dengan sepatu putih, Alfonso Perez.

Alfonso, begitu ia lebih familiar dikenal, sesungguhnya adalah anak asli Madrid. Ia mengawali kariernya di tim junior bersama Getafe, sebelum akhirnya pindah ke Real Madrid, tempat ia kelak menghabiskan empat musim bersama tim utama Los Blancos.

Namun, namanya masyhur justru di selatan, ketika ia mengayuh mimpinya di Andalusia. Real Betis, satu dari dua klub yang kini menjadi wajah Andalusia di LaLiga, adalah pelabuhannya kala itu. Untuk memermanenkan Alfonso, yang bermain sebagai pemain pinjaman pada musim perdananya, Betis rela mengeluarkan 1 miliar pesetas (setara €6 juta).

Bagi Betis, dan untuk ukuran tahun 1996, uang segitu sudah terhitung banyak. Namun, itu tidak menjadi masalah. Pasalnya, Alfonso datang ketika LaLiga tengah menyongsong masa booming. Semusim setelah Alfonso menjalani musim pertamanya dengan Betis, LaLiga mendapatkan label ‘La Liga de las Estrellas’ alias ‘The League of Stars’. Label itu tersemat bukan tanpa alasan.

Ketika uang sponsor dan hak siar datang mengguyur, lumrah apabila hasrat klub-klub membuncah. Meski pembagian uang hak siar belum seadil sekarang, LaLiga 1996/97 adalah musim ketika klub-klubnya mendapatkan keuntungan dari Bosman Ruling, kerja sama sponsor dengan Nike, dan television boom.

Colgado Spor menyebut bahwa meskipun distribusi fulus hak siar tidak merata, ada cukup uang untuk semua. Sebagian membelanjakannya dengan cermat, sebagian lainnya menghambur-hamburkannya begitu saja. Sementara, mereka yang memilih sedikit berhemat bisa mendatangkan pemain yang kontraknya sudah habis secara gratis—semuanya berkat Bosman Ruling yang terhitung baru diemplementasikan.

Dengan lekas, LaLiga langsung digambarkan sebagai liganya para bintang. Dua raksasa Spanyol, Real Madrid dan Barcelona, langsung unjuk gigi. Madrid menggamit Roberto Carlos, Predrag Mijatovic, Davor Suker, Clarence Seedorf, plus beberapa pemain lain. Barcelona, sementara itu, mendatangkan Luis Enrique, Ronaldo, Hristo Stoichkov, Laurent Blanc, serta beberapa pemain lain.

Betis tidak mau ketinggalan. Untuk menopang Alfonso, mereka membeli beberapa pemain tengah sekaligus, termasuk salah satunya adalah Finidi George, winger lincah yang baru saja mengecap dua final Liga Champions secara beruntun bersama Ajax dan memenanginya pada edisi 1994/95.

Alfonso berhadapan dengan gelandang Barcelona, Josep 'Pep' Guardiola. Foto: Twitter @RealBetis_en.

Pada musim ketika dunia dibuat terkagum-kagum dengan liukan Ronaldo, yang nyaris tiap pekannya dengan mudah merobohkan pertahanan lawan dengan gocekannya, Alfonso tidak mau ketinggalan untuk menunjukkan taringnya. Ketika pada akhir musim Ronaldo menjadi pencetak gol terbanyak dengan 34 gol, Alfonso mengekor di belakangnya dengan 25 gol.

Gol bukanlah satu-satunya signature Alfonso. Pada era ketika sepatu hitam masih mendominasi dan sepatu perak Ronaldo di Piala Dunia 1998 menjadi serupa extraterrestrial, sepatu putih Alfonso adalah goresan minimalis di atas kanvas bernama lapangan hijau. Ia sederhana, tetapi elegan.

Para Beticos menyimpan sepatu putih itu dengan kotak kaca berserpih emas di museum kenangan masing-masing. Situs Betis bahkan menyebutnya serupa mitologi; pemandangan Alfonso meneror pertahanan lawan dan mencetak gol dengan sepatu putihnya adalah folklore yang layak diceritakan turun-temurun.

Tidak ada yang tahu pasti mengapa Alfonso memilih untuk mengenakan sepatu putih bermerek Joma tersebut. Sebagian menyangka bahwa itu adalah akal-akalan Alfonso untuk menyama-nyamakan sepatunya dengan warna ‘palanganas’, sebuah baskom putih yang memegang peranan penting dalam sejarah klub Sevilla, rival abadi sekaligus sekota Betis.

Namun, Alfonso memilih untuk menjawabnya dengan lebih sederhana, sesederhana warna sepatu itu sendiri: “Ini hanyalah perkara ketertarikanku terhadap sesuatu yang baru dan merupakan keinginanku untuk mengeksplorasi ruang yang belum pernah dijamah sebelumnya.”

Alfonso meninggalkan Betis pada 2000 untuk bergabung dengan Barcelona. Setelah bermain sejenak bersama raksasa Catalunya itu, ia bermain sebagai pemain pinjaman untuk Olympique Marseille pada 2002. Namun, Betis jugalah yang menjadi tempat Alfonso pulang. Tiga tahun terakhirnya sebagai pemain ia habiskan bersama Los Verdiblancos.

Ke mana pun Alfonso pergi, label sebagai salah satu Beticos tidak akan pernah enyah. Bahkan pada musim 2016/17, ketika bekerja sebagai asisten pelatih di Mallorca B, Alfonso masih sering mendapatkan pertanyaan seputar Betis.

Musim itu, Betis terseok-seok, sementara Sevilla sempat menjadi salah satu penantang untuk mendapatkan gelar juara. Di ujung musim, Sevilla finis di urutan keempat, sedangkan Betis mengakhiri perjalanan mereka di posisi ke-15. Pada satu titik, Alfonso berkelakar bahwa sebaiknya Betis “memberi bantuan” kepada Barcelona supaya Sevilla tidak mendapatkan keuntungan pada perebutan gelar juara.

Foto: Twitter @TheEuropeanLad.

Kala itu, Januari 2017, Madrid—yang akhirnya menjadi juara pada akhir musim—baru saja takluk di tangan Sevilla. Di sisi lain, Betis bakal berhadapan dengan Barcelona. Supaya Sevilla tidak semakin berada di atas angin, ia bercanda dengan menyarakan bahwa sebaiknya Betis mengalah saja pada Barcelona.

Sedemikian sengitnya rivalitas Betis dan Sevilla sampai-sampai pria yang dikenal cukup kalem seperti Alfonso memilih untuk bersikap sedikit culas. Namun, cerita ini bukanlah satu-satunya anekdot lucu dari rivalitas sengit antara Betis dan Sevilla.

Bertahun-tahun lalu, ketika Sevilla sempat memuncaki klasemen pada awal musim, Betis hanya bisa melihat dengan penuh kecemburuan. Situs resmi Betis kemudian mengambil langkah yang cukup bikin geli: Mereka memenggal daftar klasemen sementara liga dengan hanya menunjukkan posisi 2 hingga 20.

***

Cerita mengenai rivalitas klub sekota di sepak bola acap dibumbui oleh trope yang sama. Entah itu pergulatan antarkelas, ketidakpuasan akan satu klub hingga melahirkan klub lainnya, ataupun pembelotan dan pengkhianatan. Rivalitas Betis dan Sevilla melahap semua trope tersebut.

Sevilla lahir lebih dulu pada 1890, sebelum diikuti oleh kelahiran klub kedua di kota Sevilla pada 1907, yakni Sevilla Balompie. Menyusul terjadinya pertikaian internal di tubuh Sevilla, klub baru lain terbentuk, yakni Betis Football Club. Pada 1914, Sevilla Balompie dan Betis Football Club merger menjadi Real Betis Balompie seperti yang kita kenal sekarang.

Menurut penuturan situs LaLiga, perpecahan di dalam tubuh Sevilla tersebut ada kaitannya juga dengan kemunculan ‘palanganas’ yang dikait-kaitkan dengan sepatu putih Alfonso tadi. Namun, sebelum berbicara soal cerita mengenai ‘palanganas’ itu, ada baiknya kita memahami latar belakang masing-masing klub.

Sevilla, semenjak awal berdiri klub, selalu menjadi perwakilan kaum elite kota. Betis, di sisi lain, adalah klub kelas pekerja. Pergulatan antarkelas tersebut juga yang menjadi awal perpecahan internal Sevilla dan melahirkan Betis.

Menurut Andy Mitten di FourFourTwo, ada sebuah cerita yang dituturkan turun-temurun di Sevilla. Alkisah, salah seorang petinggi Sevilla berniat untuk mengontrak seorang pemain hanya untuk mendapatkan penolakan dari direktur lainnya. Alasannya sederhana saja, pemain itu berlatar belakang kelas pekerja.

Sampai sekarang, tidak diketahui nama pemain yang dimaksud. Namun, efeknya sungguh besar. Penolakan terhadap seorang pemain dari kelas pekerja itu membuat sekelompok orang dalam Sevilla memberontak. Mereka akhirnya memilih untuk keluar dan membentuk Betis Football Club tadi.

Foto: Twitter @Classicshirts.

Sebagai hadiah perpisahan, mereka yang memberontak memberikan sebuah ‘palanganas’ alias baskom yang berwarna putih dengan pinggiran mulut baskom berwarna merah (yang menunjukkan warna kebesaran Sevilla). Bersamaan dengan baskom tersebut, mereka juga menaruh pesan yang cukup bikin bergidik:

Here we leave you this basin as a farewell which, for life, you will use to collect shed tears; not for your failures, but for our successes, because, henceforth, you will be more aware of those than your own reality.”

Seratusan tahun setelah kejadian itu, Sevilla dan Betis masih sengit bertikai di lapangan. Mereka yang meliput dan memberitakan sepak bola Spanyol bahkan berani menyebutnya sebagai derbi paling panas di Tanah Matador. El Gran Derbi, begitu mereka menyebutnya.

Musim ini, baik Sevilla maupun Betis berdiri begitu dekat dengan pemuncak klasemen. Sampai pekan ke-24, Sevilla menempati posisi kedua, sedangkan Betis berada di urutan ketiga. Tentu akan menjadi mimpi buruk untuk salah satu dari keduanya jika pada akhir musim, salah satu di antara mereka ada yang menjadi juara.