Seribu Satu Jurus Hoffenheim
Setelah era Julian Nagelsmann, Hoffenheim tak pernah bersaing di empat besar lagi. Baru musim ini mereka kembali. Hingga pekan ke-19 Bundesliga, Hoffenheim mampu menembus urutan keempat Bundesliga.
Duduk di urutan keempat, Hoffenheim tak ubahnya sebuah fenomena di Bundesliga 2021–22. Namun, buat David Raum, itu tak terlalu penting. Ia bahkan sama sekali tak pernah melihat susunan klasemen musim ini, terutama karena Bundesliga yang masih jauh dari kata usai.
“Semua kalkulasi tersebut tidak membantu sama sekali. Kami hanya mesti berusaha tampil sebaik mungkin di semua pertandingan, kemudian baru melihat apa yang terjadi setelah musim berakhir,” tutur Raum, salah satu pemain terbaik Hoffenheim sejauh ini.
Yang Raum maksud adalah fokus dari satu pertandingan ke pertandingan lainnya, dan memang seperti itulah yang Sebastian Hoeness, juru taktik Hoffenheim, selalu tekankan. Cara pandang tersebut akhirnya membentuk Hoffenheim menjadi salah satu tim paling fleksibel musim ini.
Kita yang mengikuti sepak bola jelas tak asing dengan nama Hoeness, tetapi Hoeness dengan nama depan Sebastian termasuk yang cukup asing. Mau bagaimana lagi? Kariernya sebagai pesepakbola sama sekali tak mentereng, amat jauh jika dibandingkan dengan Dieter (ayah) dan Uli (paman).
Namun, yang ia lakukan sebagai juru taktik sejauh ini membuktikan bahwa ia punya potensi menyamai nama besar ayah dan pamannya itu — meski lewat jalan berbeda. Pertama-tama, Hoeness menunjukkannya saat membesut Bayern Muenchen II pada 2019–20.
Fleksibilitas taktik jadi salah satu resep Hoeness kala itu. Dari satu laga ke laga lain, skema dasarnya begitu beragam. Suatu hari Hoeness akan menerapkan 4–3–1–2 — skema favoritnya musim itu, kali lain 4–3–3, 4–4–2, 4–2–2–2, 3–1–4–2, 3–4–3, dan sebagainya dan sebagainya.
Hoeness tak sekadar ingin membuat timnya sukar ditebak. Lewat pendekatan tersebut, ia ingin selalu menyesuaikan diri dengan apa yang coba diterapkan tim lawan. Bahkan, cukup sering Hoeness melakukan perubahan formasi secara signifikan di tengah pertandingan.
Sebab, sekali lagi, semua pertandingan adalah berbeda di mata Hoeness.
Meski demikian, satu yang terlihat dengan jelas: Hoeness selalu ingin timnya agresif dan berani saat tak menguasai bola. Dengan cara-cara inilah ia membawa tim kedua Bayern menembus Liga 3 Jerman, untuk kemudian menjuarai ajang tersebut pada musim berikutnya.
Usai kesuksesan itu, Hoeness menerima tantangan yang jauh lebih besar: Hoffenheim. Namun, tak butuh waktu lama bagi Hoeness untuk nyetel. Ia bahkan sudah menunjukkan kapasitas taktiknya sejak awal musim.
Usai menang 3–2 atas FC Koeln pada laga pertama Bundesliga, Hoffenheim berhasil mengalahkan Bayern Muenchen tepat pada laga berikutnya. Tak tanggung-tanggung, mereka menang dengan skor 4–1. Lagi-lagi, Hoeness hadir dengan fleksibilitas dan agresivitas dalam taktiknya.
Kuncinya adalah salah satu blunder yang bek kanan Bayern, Benjamin Pavard, lakukan pada awal babak pertama. Blunder itu membuat Hoeness sadar sisi mana yang harus timnya cecar. Tadinya agak bertahan, Hoffenheim akhirnya aktif melakukan pressing, terutama pada sisi yang Pavard isi.
Pembacaan permainan yang jitu dari Hoeness akhirnya mengantarkan Hoffenheim mencetak dua gol pada babak pertama, yang salah satunya berawal dari area Pavard.
Setelah laga itu, sayangnya, Hoffenheim seperti kehabisan bensin. Kedalaman skuat mereka yang kurang tidak mampu mewadahi fleksibilitas dan agresivitas sepak bola Hoeness. Di sisi lain, Andrej Kramaric dan kolega juga mesti berlaga di tiga kompetisi sekaligus, termasuk Liga Europa.
Maka tak heran bila Hoffenheim terlempar dari sepuluh besar musim lalu.
Musim ini, Hoeness melakukan hal yang kurang lebih sama. Pembedanya, timnya jauh lebih siap. Tak hanya memahami taktiknya, tetapi juga dari segi kedalaman skuat. Hadirnya Sebastian Rudy serta duo eks anak asuhnya di Bayern II, Chris Richards dan Angello Stiller, benar-benar berpengaruh.
Ada pula bintang Timnas Jerman U-21 di Olimpiade Tokyo, David Raum, yang didatangkan dari Fuerth secara gratis--salah satu pemain terbaik Hoffenheim musim ini. Nama-nama itu kemudian berpadu dengan para pemain berpengalaman, mulai dari Andrej Kramaric, Ihlas Bebou, Kevin Vogt, hingga Oliver Baumann.
Kondisi skuat tersebut pada akhirnya membuat Hoeness lebih berani. Hoffenheim yang musim lalu sudah cukup agresif, ia bikin menjadi lebih agresif lagi. Per Fbref, mereka menjadi tim dengan persentase pressing sukses tertinggi kelima musim ini, yakni 33,7%.
Sebagian besar pressing itu terjadi di sepertiga penyerangan dan area tengah lapangan. Ini terjadi lantaran skema 3–1–4–2 Hoeness membuat enam pemain di lini terdepan berfungsi sebagai benteng utama. Tugas mereka sebisa mungkin menutup laju build-up lawan.
Tiap kali bola berhasil direbut, yang Hoffenheim lakukan setelahnya tak berbeda dengan sebagian tim Bundesliga lain dengan pendekatan serupa. Mereka akan langsung mengalirkan bola ke depan secara direct. Yang berbeda adalah intensitas dan jumlah pemain yang terlibat.
Dalam kondisi itu Hoffenheim bisa menyertakan lima hingga tujuh pemain sekaligus saat transisi menyerang. Bahkan dua gol mereka ke gawang Bayer Leverkusen beberapa waktu lalu masing-masing melibatkan lima pemain yang berdiri di dalam kotak penalti.
Konsepnya, makin banyak pemain di kotak penalti, makin besar potensi peluang bisa tercipta. Itulah kenapa, ada 17 pemain Hoffenheim yang sudah mencetak gol. Itu pula alasan mengapa mereka menjadi tim dengan produktivitas gol tertinggi keempat di Bundesliga musim ini.
Direktur olahraga Hoffenheim, Alexander Rosen, secara khusus menyoroti aspek tersebut. “Saya pikir, kamu bisa melihat apa yang kami tekankan: Peluang yang banyak, sepak bola menyerang, power, lari, sprint, dan transisi,” ucap dia, dilansir situs resmi Bundesliga.
Beberapa pemain, termasuk dua andalan di lini depan, Moanes Dabour dan Bebou, juga merasa cara mereka menyerang amat spesial. “Persaingan untuk memperebutkan satu tempat sangat ketat, apalagi kami sangat kuat dalam menyerang,” tutur Dabour.
Tentu ada masa ketika taktik mereka tak berjalan. Dalam kondisi ini, Hoeness bakal menunjukkan kegeniusannya membaca keadaan. Jika akhirnya tak ada satu pun — dari total tujuh formasi — yang ia terapkan lebih dari empat kali musim ini, jelas bukan kebetulan sama sekali.
Namun, seperti kata Raum, belum saatnya mereka melihat tabel klasemen. Musim masih panjang. Segala hal masih bisa terjadi.