Serigala Tak Bertaring

Foto: Twitter @LCFC.

Leicester City mulai kehilangan magi. Kekalahan demi kekalahan menyeret mereka ke dalam kengerian. Sekarang mereka cuma berjarak 9 angka dari zona degradasi.

Leicester City tumbang lagi. Di Molineaux, mereka takluk 1-2 dari tuan rumah Wolverhampton Wanderers. Ini menjadi kekalahan kesepuluh mereka di liga sekaligus memperpanjang catatan buruk sejak awal tahun.

Kemenangan terakhir Leicester tercipta di pengujung Desember. Well, itu sebenarnya bukan tiga poin biasa. Tim yang mereka kalahkan tak main-main, yakni Liverpool. Harusnya kemenangan ini bisa mendongkrak moral Jamie Vardy dkk. Namun, yang terjadi kebalikannya. Leicester menelan tiga kekalahan setelahnya. Pencapaian terbaik mereka cuma dua hasil imbang versus Brighton and Hove Albion serta West Ham United.

Apa lacur, Leicester kini terdampar di urutan 11 dan cuma berjarak 9 angka dari zona degradasi. Tak seharusnya seperti ini. Mereka membuka musim 2021/22 dengan merengkuh Community Shield. Di musim lalu pun The Foxes berhasil mejeng di urutan kelima klasemen akhir liga.

Kenapa bisa begini?


Badai cedera menjadi alasan paling mendasar. Sejak pekan pertama saja Leicester sudah kehilangan lima pilarnya: Wesley Fofana, James Justin, Timothy Castagne, Nampalys Mendy, dan Johny Evans. Nama yang disebut terakhir bisa dibilang sebagai jenderal lini belakang Leicester musim lalu. Menit mentasnya menyentuh 2.476 atau tertinggi keempat di tim.

Fofana apalagi. Bek Prancis ini merupakan salah satu personel potensial Leicester. Usianya masih 21 tahun dan sudah menunjukan performa ajek. Mengutip WhoScored, rata-rata intersep per laganya di musim lalu mencapai 2,2. Jumlah itu hanya kalah tipis dari Wilfried Ndidi yang mengumpulkan 2,3. Sialnya, Fofana mengalami patah tulang saat Leicester meladeni Villarreal pada laga uji tanding. Itu berbuntut sampai detik ini.

Itu baru problem pos bek sentral. Di sektor full-back, Leicester juga kehilangan James Justin yang mengalami cedera ligamen. Dia absen selama 331 hari dan baru pulih awal Januari lalu. Eksistensinya vital mengingat Rodgers hobi memacu full-back-nya untuk membantu serangan. Justin melakukan tugasnya dengan cukup baik. Sepasang gol dan satu assist pada musim lalu menjadi buktinya.

Leicester memang masih punya pemuda berbakat lainnya, Luke Thomas. Akan tetapi, dibanding Justin, pemain 20 tahun itu masih kalah soal aksi ofensif dan defensif. Sebagai komparasi, Thomas mengukir rata-rata 0,5 umpan kunci per laga. Jumlah itu nyaris setengah dari torehan Justin di musim lalu. Pun perkara tekel dengan rata-ratanya ada di angka 2,1. Sementara Justin menorehkan 2,7.

Tumbangnya karang-karang lini pertahanan itu membuat Leicester semakin rapuh. Siasat memboyong Jannik Vestegaard dari Southampton juga tak cukup menolong. Mestinya bek jangkung itu bisa mengatasi problem laten Leicester soal bola-bola atas. Namun, luput. Catatan kemenangan duel udaranya cuma 1,3 per pertandingan—peringkat ketujuh di Leicester.

Caglar Soyuncu juga kesulitan comeback setelah sembuh dari cedera otot. Performanya tak sebagus dulu. Paling kentara, ya, pengambilan keputusannya yang buruk. Sejauh ini Soyuncu telah mencatatkan 24 pelanggaran (terbanyak di antara bek Leicester) dan satu di antaranya berbuah penalti. Satu-satunya skill yang tersisa barangkali adalah kemampuan distribusi bola.

Kendati begitu, Soyuncu bukan kambing hitam tunggal. Apa yang membuat Leicester keropos adalah koordinasi pertahanan yang buruk secara keseluruhan. Ini tergambar jelas dari kekalahan melawan West Ham dua pekan silam. 

Lewat skema longball, Jarrod Bowen berhasil lolos dari kawalan tiga pemain belakang Leicester. Duo bek sentral, Soyuncu serta Daniel Amartey, berada di garis yang terlalu tinggi. Justin juga terlambat karena harus bergerak diagonal untuk mengejar Bowen yang sudah memasuki kotak penalti. Klimaksnya ya, gol Craig Dawson di injury time. Dengan pundaknya, dia menyambut umpan sepak pojok Bowen dan mengalahkan Amartey dari duel udara.

Yang menarik, momok semacam ini adalah lagu lama buat Leicester. Sudah 11 kali mereka kecolongan via tendangan penjuru. Jumlah ini bahkan lebih dari seperempat total kebobolan Leicester pada musim ini (43). Sebagai komparasi, jumlah itu juga dua kali lipat lebih banyak dari Crystal Palace sebagai tim terapuh kedua dalam meredam corner kick.

Rodgers cenderung menggabungkan zonal marking dan man to man dalam untuk mengantisipasi sepak pojok lawan. Pemain dengan postur tinggi akan melakukan man to man. Sementara tiga personel bertugas untuk menjaga area rawan—yang berpotensi menjadi medan terjang pemain lawan. Biasanya itu akan ditunaikan oleh Harvey Barnes, Youri Tielemans, Luke Thomas, Kelechi Iheanacho, atau James Maddison. Menjadi masalah karena kerap terjadi mismatches dalam skema ini.

Lesakan Aymeric Laporte di laga Boxing Day salah satu sampelnya. Bagaimana tidak, wong Laporte yang berpostur 191 cm cuma berduel dengan Iheanacho yang lebih pendek 6 cm darinya. Lagi pula, striker Nigeria itu memang bukan penyundul bola ulung. Rata-ratanya dalam memenangi duel hanya 0,5 per laga.

Mismatches ini bukan alasan satu-satunya. Beberapa kali pemain Leicester gagal mengantisipasi bola lambung dalam situasi soliter—bukan dalam kondisi duel. Silakan tengok bagaimana lesakan Gabriel Magalhaes pada Oktober lalu. Bola melewati lompatan Thomas dan Vardy lebih dulu sebelum akhirnya disambar Gabriel. Makin parah karena Evans juga kalah dalam duel udara versus Bek brasil itu. Skema serupa juga tertuang pada gol Antonio Ruediger sebulan kemudian.

Foto: Youtube Arsenal

Rodgers sudah semestinya memberikan pelatihan khusus kepada pemainnya dalam memenangi duel udara. Pertahanan Leicester kelewat akut. Mereka menjadi satu-satunya kontestan Premier League yang belum mengukir clean sheet di laga tandang musim ini.

Ketiadaan Vardy juga menjadi faktor lain melempemnya Leicester. Top skorer Premier League 2019/20 ini mengalami masalah hamstring dan absen sejak akhir tahun. Dia sudah melewatkan 5 pertandingan dan dalam rentang waktu itu pula Leicester tak pernah menang. Rata-rata gol mereka juga hanya 1,2 gol per laga. Jauh menurun dibanding 5 pertandingan sebelumnya yang menyentuh 2,2.

Menggantikan Vardy jelas sulit. Dia mafhum memainkan peran sebagai ujung tombak Leicester sejak tujuh tahun silam. Determinasi dan kekuatan fisiknya bahkan membentuk karakter permainan cepat yang lekat dengan The Foxes.

Rodgers memang masih memiliki Patson Daka sebagai serep Vardy. Namun, tetap saja, dia belum cukup matang untuk menggantikan seniornya. Di laga melawan Wolves, penyerang asal Zambia tersebut hanya mampu melakukan satu dribel, itu pun gagal. Siasat Rodgers untuk beralih dari format dasar 4-2-3-1 ke 4-3-3 juga tak manjur.


Kontribusi personel kreatif macam Maddison dan Tielemans tak maksimal tanpa bomber yang tajam sekaligus mampu menunjang skema main tim. Sejauh ini, cuma Vardy yang mampu melakukannya. Daka dan Iheanacho belum mencapai level itu. Sekarang yang paling realistis adalah berdoa semoga Vardy cepat pulih. Baru kemudian memikirkan pengganti sepadan buat striker 35 tahun itu pada musim depan.