Si Kurus dari Goodison Park

Foto: instagram @anthonygordon

Karena terlalu kurus, Gordon sempat diragukan banyak orang. Namun, berbekal kerja keras dan keberanian, ia berusaha membalikkan keadaan.

Ian Duke dan Martin Waldron sempat beradu mulut. Dua orang yang terlibat dalam pencarian bakat untuk akademi Everton itu punya pandangan berbeda tentang Anthony Gordon.

Duke menilai, Gordon mengantongi bakat yang luar biasa. Kecepatan dan cara Gordon menggiring bola membuat Duke kesengsem. Itu belum ditambah dengan kemampuan menendang bola Gordon yang oke. Pokoknya, bagi Duke, Gordon selalu tokcer dan potensial betul.

"Saya sudah melihat Gordon bermain. Ia sangat bagus. Sangat terampil. Sangat teknis. Sangat menonjol dari rekan-rekannya," kata Duke kepada The Athletic. 

Waldron memang tidak menentang pendapat Duke. Namun, dalam kacamata Waldron, Gordon terlalu kurus dan rapuh. Fisik Gordon sangat rentan. Sekali senggol, Gordon bisa gontai dan tumbang.

Sebagai Kepala Rekrutmen Akademi Everton, Waldron sudah melihat langsung bagaimana Gordon bermain. Ia juga sempat memberi kesempatan Gordon unjuk gigi di akademi Everton. Namun, ya, itu tadi, Waldron tetap meragukan Gordon.

Duke bersikeras membalikkan penilaian Waldron. Sampai-sampai, Duke berkata begini kepada Waldron: "Demi Tuhan, ia membutuhkan kesempatan lain."

Karena kata-kata itu, silang pendapat Duke-Waldron tuntas. Duke senang karena Gordon akan dikirim ke pusat pengembangan akademi Everton. Sedangkan Waldron harap-harap cemas.

"Ketika kami memasukkannya ke akademi Everton, beberapa pelatih sebenarnya tidak menyukainya," kata Duke. "Ia pernah ke Everton sebelumnya dan dipulangkan. Jika bukan karena Waldron, ia mungkin tidak akan mendapatkan kesempatan."

Guna mengasah kapasitas dan kapabilitas, Everton meminta Gordon pindah sekolah dari Alsop High School ke Wade Deacon yang merupakan sekolah mitra The Toffess. Tujuannya supaya perkembangan Gordon terpantau dengan baik. 

Perpindahan itu membuat pelatih sepak bola Alsop High School, Steve Griffin, susah hati. Sebab, bagi Griffin, Gordon adalah pemain terbaiknya saat itu. Ya, Gordon selalu menonjol dalam setiap pertandingan.

Saking percayanya kepada Gordon, Griffin menerapkan permainan Gordon sentris. Semua anak asuh Griffin diminta untuk memberikan bola kepada Gordon. Setelahnya, biarkan Gordon yang beraksi.

"Saat itu, ia adalah pemain terbaik kami. Filosofi saya, dapatkan bola dan berikan kepada Gordon. Mulai dari lemparan ke dalam, tendangan sudut, tendangan bebas. Itu tidak masalah. Yang penting bola harus selalu diberikan ke Gordon," kata Griffin.

Meski mendapat kepercayaan yang besar, Gordon mengaku tidak betah berada di Alsop High School. Menurutnya, ia sulit sekali berkembang dan mengasah kapasitas serta kapabilitasnya.

"Saya mulai di Alsop High School, di mana saya tidak bisa mendapatkan yang terbaik. Kemudian, Everton memindahkan saya ke Wade Deacon. Di sana saya jauh lebih tenang," ucap Gordon dilansir situs resmi Everton.

Jika melihat perkembangan Gordon setelah masuk Wade Deacon, ucapan yang sedikit menyakitkan Griffin ada betulnya juga. Selain kemampuan olah bola yang terus meningkat, fisik Gordon semakin kuat dan terbentuk.

Itu belum ditambah dengan keberanian dan kerja keras Gordon yang meletup-letup. Di lapangan, ia tidak pernah ciut menghadapi lawan-lawan yang badannya lebih kekar ketimbang dirinya. Kerja kerasnya terlihat juga dari latihan yang ia lakukan dari hari ke hari.

Supaya latihan berjalan optimal, Gordon merekrut dua pelatih pribadi. Satu pelatih fokus mengasah kapasitas dan kapabilitas olah bola. Satunya lagi berupaya menguatkan fisik. Ia paham betul bahwa postur bisa jadi problem jika tidak dibentuk dengan sebaik-baiknya. 

Pelan tapi pasti, performa Gordon menanjak. Bakatnya pun mulai tercium. Jika tidak, mana mungkin ia mendapat panggilan memperkuat Timnas Inggris U-19 pada 2019 lalu. Di sana, ia bertemu Bukayo Saka dan Curtis Jones.

Pemanggilan itu tidak Gordon sia-siakan. Ia bermain dengan sebaik-baiknya, sekuat-kuatnya. Puncaknya, ia mampu mencetak gol ke gawang Bosnia pada November 2019.

Gol itu bukan gol biasa. Gol itu mampu menanjakkan pamor Gordon sebagai pemain potensial dan masa depan Inggris. Kepercayaan Everton yang sempat redup pun membara kembali.

Perjalanan Gordon bersama Everton memang tidak mulus-mulus banget. Ia pun sempat dipinjamkan ke Preston pada musim 2020/21. Peminjaman itu bertujuan agar Gordon mendapat kesempatan bermain yang banyak.

Namun di pertengahan musim, Gordon kembali memperkuat Everton di bawah kepelatihan Carlo Ancelotti. Sayangnya, keputusan itu tidak berpihak kepada Gordon. Ia cuma bermain 88 menit untuk Everton.

Titik balik karier Gordon terjadi manakala Everton merekrut Rafael Benitez sebagai juru taktik musim 2021/22. Kedatangan Benitez tidak disambut dengan hangat memang, sampai-sampai, fans Everton meminta Benitez untuk tidak menandatangani kontrak dengan klub.

Latar belakangnya tentu saja rekam jejak Benitez. Benitez adalah pelatih Liverpool, rival Derbi Merseyside Everton, pada 2004-2010. Ia juga mengambil peran penting dalam kisah Miracle of Istanbul yang akan terus hidup selama bumi berputar sebagaimana mestinya.

Alih-alih mendongkrak prestasi Everton, Benitez justru merana. Ia cuma merangkum rata-rata 1 poin per laga. Hasil itu jelas mengecewakan. Hingga akhirnya, klub memecat Benitez pada Januari 2022.

Satu-satunya peninggalan Benitez di Everton yakni keluarnya potensi-potensi pemain muda. Salah satunya, ya, Gordon. Benitez memberikan banyak menit bermain, sedangkan Gordon memanfaatkan setiap menit untuk membuktikan diri.

Kerja keras Gordon melihatkan hasilnya. Buktinya, kepercayaan kepada Gordon tak lantas memudar meski nakhoda klub berganti. Frank Lampard, yang datang menggantikan Benitez, tetap menjadikan Gordon sebagai pilihan utama.

Everton-nya Lampard mengandalkan skema fluid dengan menjaga penguasaan bola dalam format 4-3-3. Melalui skema itu, Lampard berusaha meningkatkan produktivitas tembakan dengan memanfaatkan kecepatan dan pergerakan pemain sayap.

Nah, itu juga yang jadi salah satu faktor kenapa Gordon tetap dipercaya. Pria 20 tahun itu punya kecepatan oke. Selain jago menyisir tepi lapangan, ia rutin masuk ke half-space via dribel mumpuni.

Ketika menguasai bola, Gordon bisa berlari cepat sekaligus meliuk-liukkan badannya untuk mengecoh lawan. Kelebihan lainnya, ia dapat bermain di sini kanan-kiri dengan sama baiknya.

Merujuk FBref, Gordon merangkum 33 dribel sukses sepanjang musim ini. Angka itu tertinggi kedua di Everton setelah Demarai Gray (41 dribel sukses). Hebatnya, ia mampu masuk ke kotak penalti lawan via dribel sebanyak 17 kali.

Tak hanya itu, Gordon juga bisa diandalkan untuk merusak build-up lawan. Apalagi, ia cukup oke soal tekan-menekan lawan. Per 90 menit, rata-rata ia mencatatkan 22,98 pressure dengan persentase sukses sebesar 26,3 persen. Belum lagi, ia sudah mengemas 4 gol dan 2 assist.

Deretan angka itu dapat menjadi modal penting bagi Gordon untuk terus berkembang, mendapat kepercayaan, dan bersinar. Meski, ya, gitu, Gordon kudu terus mengasah kapasitas dan kapabilitasnya. Ada banyak hal yang mesti ia perbaiki untuk mendaki kesuksesan.

"Setiap laga, saya ingin menjadi pemain terbaik."