Si Penghapus Kutukan

Diego Simeone sudah 10 tahun melatih Atletico Madrid. (Atletico Madrid)

Sudah sepuluh tahun Diego Simeone melatih Atletico Madrid. Kutukan Vicente Calderon berhasil dia hapuskan. Lalu, apa selanjutnya?

Selalu ada yang pertama untuk segalanya.

Pertandingan di Stadion Heysel, 15 Mei 1974, itu tinggal menyisakan enam menit ketika Luis Aragones memaksa Sepp Maier memungut bola dari dalam gawang. Dengan sepakan yang tak terlampau keras, tetapi amat terukur, Aragones sukses memanfaatkan tendangan bebas tak jauh dari kotak penalti.

Hanya enam menit. Itulah waktu yang dibutuhkan Atletico Madrid untuk mempertahankan keunggulan. Hanya enam menit. Itulah waktu yang memisahkan mereka dari trofi European Cup. Hanya enam menit. Itu pulalah waktu yang dibutuhkan Bayern Muenchen untuk mencetak gol penyama kedudukan.

Georg Schwarzenbeck, tandem Franz Beckenbauer di jantung pertahanan Bayern, tahu bahwa timnya sudah kehabisan waktu. Persetan dengan umpan satu dua. Peduli setan dengan kombinasi cantik. Yang Schwarzenbeck (mungkin) pikirkan, semakin cepat bola mendekati gawang Miguel Reina, semakin besar kesempatan Bayern untuk menyelamatkan diri.

Maka Schwarzenbeck pun melakukan apa yang bisa dipandang sebagai sebuah panjatan doa Salam Maria. Dengan kaki kanannya, Schwarzenbeck menyepak bola kuat-kuat dan sisanya adalah sejarah. Bola sepakan Schwarzenbeck meluncur mulus kira-kira setengah meter dari tanah menuju pojok kanan bawah gawang Reina. Laju bola yang teramat deras membuat lompatan spektakuler Reina jadi sia-sia.

Hanya enam menit dua gol itu tercipta dan, untuk pertama kalinya, final European Cup harus diselesaikan lewat pertandingan leg kedua. Lokasinya sama, masih di stadion yang sebelas tahun kemudian jadi saksi bisu kematian 39 tifosi Juventus itu. 17 Mei 1974, Atletico dan Bayern bertemu lagi untuk menentukan siapa yang berhak mengangkat trofi European Cup.

Namun kali ini situasinya benar-benar lain. Jika laga leg pertama mesti dituntaskan lewat perpanjangan waktu, tidak demikian dengan laga leg kedua. Bayern hanya butuh 90 menit untuk menuntaskan perlawanan Atletico. Tak cuma itu, mereka juga sukses menyarangkan empat gol ke gawang Reina. Uli Hoeness dan Gerd Mueller sama-sama mengemas brace dari pertandingan itu.

Bayern juara European Cup untuk pertama kalinya. Sejak itu, mereka menjadi salah satu bangsawan sepak bola Eropa dengan torehan enam gelar juara European Cup yang kini dikenal dengan sebutan Liga Champions. Sebaliknya, bagi Atletico, kekalahan menyakitkan dari Bayern itu melahirkan sebuah narasi baru.

Vicente Calderon, presiden klub yang namanya diabadikan jadi nama stadion di Manzanares, menyebut Atletico sebagai "Yang Terkutuk". "El Pupas" dalam bahasa Spanyol. Calderon benar-benar kehabisan akal untuk menjelaskan kesialan yang dialami Atletico pada final European Cup 1974 itu. Dia pun menyalahkannya pada kutukan, entah dari siapa.

Calderon sebetulnya berlebihan. Kutukan dalam sepak bola adalah hal nyata dan Benfica adalah buktinya. Ketika mereka menolak memberikan tambahan gaji untuk Bela Guttmann pada 1966, raksasa Portugal itu secara tidak sadar menghancurkan diri mereka sendiri. Oleh Guttmann yang kesal bukan kepalang, Benfica dikutuk tidak akan juara Eropa sampai seratus tahun lamanya. Hingga kini, ucapan Guttmann belum terpatahkan.

Bagi Atletico, situasinya tidak seperti itu. Namun, kekesalan Calderon sesungguhnya bisa dipahami. Atletico adalah klub bagi mereka yang kalah di Madrid. Atletico adalah tempat berkumpulnya para pecundang kehidupan. Maka, ketika mereka punya kesempatan memberi kebahagiaan besar pada para pendukungnya, lalu kalah secara menyakitkan, Calderon yakin bahwa Atletico adalah klub terkutuk.

Lucunya, kutukan untuk Atletico justru datang setelah Calderon memberikan julukan tersebut. Dalam tahun-tahun sesudahnya, Atletico mengalami serangkaian dekadensi. Di era kepemimpinan Jesus Gil, Atletico bahkan menutup akademinya sampai-sampai harus kehilangan seorang Raul Gonzalez Blanco ke Real Madrid.

Lalu, pada peralihan milenium, Atletico pun terdegradasi dari Primera Division pertama kalinya sejak 1936. Butuh waktu hingga akhir 2001/02 untuk mereka kembali naik kelas. Tak lama setelah itu, Gil mundur akibat berbagai persoalan, mulai dari urusan hukum sampai kesehatan. Gil mundur pada 2003 dan posisinya digantikan sang wakil, Enrique Cerezo, sampai sekarang. Setahun setelah mundur, Gil meninggal dunia.

Di bawah Cerezo pun Atletico mengalami banyak pasang surut. Mereka sempat memiliki Fernando Torres dan Sergio Aguero tetapi tak pernah mampu membangun tim yang mumpuni di sekeliling keduanya. Sampai akhirnya, pasang surut itu berakhir pada 2011. Kekalahan di ajang Copa del Rey membuat Cerezo dan Miguel Angel Gil Marin (anak Gil yang merupakan pemegang saham terbesar Atletico) memecat pelatih Gregorio Manzano.

Pemecatan pelatih dan bongkar pasang pemain adalah hal biasa bagi Atletico. Namun, bukan berarti mereka suka melakukannya. Oleh karena itu, pada 2011 tersebut, Cerezo dan Gil Marin betul-betul berhati-hati dalam menyeleksi suksesor Manzano. Ada satu nama yang terlintas dalam benak mereka, tetapi kedua sosok tersebut ingin betul-betul teryakinkan.

Maka, dalam suatu kesempatan, Cerezo menelepon seseorang di Italia bernama Antonio Pulvirenti. Pulvirenti adalah mantan bos dari sosok pelatih yang diinginkan oleh Cerezo dan Gil Marin. Problemnya, pelatih tersebut nyaris tak punya pengalaman di Eropa, kecuali selama lima bulan di Italia. Akan tetapi, setelah sambungan telepon berakhir, Cerezo tak lagi merasa ada masalah dengan pilihannya. Dia yakin bahwa Diego Pablo Simeone adalah sosok terbaik untuk menyelamatkan Atletico.

Ya, Atletico musim itu mesti diselamatkan. Kekalahan di Copa del Rey dari Albacete adalah pertanda yang mustahil untuk dipungkiri jika posisi klasemen masih sedikit bisa ditoleransi. Atletico waktu itu sudah punya skuad yang cukup bagus tetapi performa mereka jauh dari memuaskan. Artinya, Los Rojiblancos butuh nakhoda yang tepat.

Embed from Getty Images

Dalam daftar skuad Atletico waktu itu sudah ada nama Thibaut Courtois, Diego Godin, Filipe Luis, Joao Miranda, Tiago Mendes, Arda Turan, Gabi, Koke, Juanfran, Diego Ribas, dan Radamel Falcao. Namun, selain tersingkir di babak 32 besar Copa del Rey, Atletico juga terjebak di urutan sepuluh klasemen La Liga. Benar-benar tak bisa dimaafkan.

Lalu, Simeone datang. Baginya, Atletico sudah seperti rumah kedua karena dia pernah memperkuat tim ini semasa aktif bermain. Sudah begitu, Falcao juga merupakan pemain favorit putra bungsunya, Gianluca. Simeone yang membutuhkan gebrakan besar untuk melambungkan karier pun mengiyakan tawaran Cerezo dan Gil Marin.

Hasilnya seperti sulap. Atletico dibawa Simeone finis di posisi lima klasemen La Liga. Namun, bukan itu yang sensasional. Di akhir musim, Atletico juga dibawanya menjuarai Liga Europa. Dalam kurun kurang dari enam bulan, Simeone berhasil menyulap Atletico menjadi sebuah kekuatan yang wajib diwaspadai.

Sebetulnya, walau hasilnya tampak seperti sulap, apa yang dilakukan Simeone bukanlah sulapan. Keberhasilan instan di musim perdana itu merupakan kombinasi dari banyak sekali hal, mulai dari pemilihan taktik, pemilihan staf, sampai pendekatan personal yang tepat. Dengan kata lain, Simeone akhirnya berhasil membuat Atletico jadi sebuah tim alih-alih sekumpulan individu.

Sejak itu, dimulailah era kejayaan Atletico. Dalam perjalanannya, Simeone berhasil membawa Los Colchoneros juara La Liga dua kali, masuk final Liga Champions dua kali, juara Liga Europa dua kali, juara Copa del Rey dan Supercopa de Espana masing-masing sekali, serta merebut trofi Piala Super Eropa dua kali. Namun, lebih dari semua itu, Simeone berhasil melepaskan kutukan Calderon. Atletico kini bukan lagi tim terkutuk. Atletico adalah salah satu klub sepak bola terbesar dan terhebat di dunia.

Sudah sepuluh tahun Simeone menangani Atletico. Sebagian besarnya dia habiskan dengan memainkan sepak bola defensif yang rapat. Latar belakangnya sebagai seorang gelandang angkut air dan mantan anak buah Carlos Bilardo membuat Simeone menerapkan sepak bola yang dia terapkan bersama Atletico.

Diego Simeone mengangkat trofi juara La Liga. (Twitter/@atletienglish)

Bilardo, pada dekade 1980-an dan 1990-an, merupakan evangelis sepak bola negatif. Ini dipelajarinya ketika masih bermain, pada dasawarsa 1960-an, di bawah asuhan Osvaldo Zubeldia. Filosofi itu kemudian diturunkan Bilardo kepada sejumlah anak asuhnya, termasuk Simeone. Meski demikian, apa yang dilakukan Simeone tidak seekstrem Bilardo apalagi Zubeldia.

Sepak bola negatif Zubeldia adalah sepak bola yang kasar; sepak bola yang betul-betul menghalalkan segala cara untuk meraih hasil positif. Sementara, sepak bola negatif Simeone adalah sepak bola yang cerdik; sepak bola yang tujuan utamanya adalah menegasi permainan lawan lewat pendekatan taktik yang tepat.

Hampir seluruh masa kepelatihan Simeone di Atletico dihabiskan dengan memainkan pakem 4-4-2. Kerapatan jarak antarpemain jadi kunci utamanya. Dengan demikian, lawan jadi kesulitan untuk mengembangkan permainan dan menembus pertahanan Atletico. Tak heran apabila Atletico jadi sangat familiar dengan kemenangan tipis 1-0. Hasil demikian sudah jadi semacam merek dagang bagi Simeone dan Atletico.

Walau demikian, Simeone tampaknya tidak puas hanya sampai di situ. Seiring dengan kepergian para veteran macam Luis Filipe, Godin, Gabi, Juanfran, dan Miranda, perlahan Simeone mengubah pendekatannya. Kedatangan si anak ajaib Joao Felix pada 2019 juga menjadi penanda lain bahwa Simeone mulai ingin memainkan sepak bola yang berbeda.

Keinginan Simeone tersebut memang tak langsung terwujud karena banyak sekali pilar yang dia miliki terbiasa dengan cara bermain negatif tadi. Namun, seiring dengan kepergian Thomas Partey ke Arsenal, Simeone justru bak mendapat durian runtuh. Partey memang pemain penting, tetapi diam-diam dia menjadi penghalang bagi Simeone untuk menerjemahkan isi kepalanya ke atas lapangan. Ketika Partey pergi, tiba-tiba saja Simeone jadi lebih leluasa dalam memainkan sepak bolanya yang baru.

Atletico Madrid merayakan keberhasilan juara La Liga 2020/21. (Atletico Madrid)

Jorge Resureccion alias Koke pun betul-betul menjelma jadi pemimpin utama dalam tim. Dia bukan cuma kapten, tetapi juga pusat permainan Atletico lewat umpan-umpannya, pergerakannya, dan kemampuannya mengantarkan bola ke area pertahanan lawan. Kebangkitan Koke pada awal 2020-an sekaligus menjadi tonggak lahirnya Atletico baru yang lebih cantik dan dinamis.

Musim lalu, Atletico yang baru ini berhasil menjadi juara La Liga. Mereka tak lagi punya Godin yang tangguh dalam berduel, melainkan Mario Hermoso yang piawai mengirimkan umpan. Mereka tak lagi punya Partey yang beroperasi bak traktor di pusat permainan, melainkan Koke yang berputar-putar bak Rolls Royce. Mereka juga sudah tak lagi diperkuat Diego Costa yang tak ubahnya banteng di toko keramik, melainkan Luis Suarez yang, meski suka bersikap serampangan, punya profisiensi teknis jauh di atas rata-rata.

Pakem 4-4-2 juga sudah ditanggalkan. Atletico kini bermain dengan formasi 3-5-2 berikut variasinya seperti 3-4-1-2 atau 3-4-2-1. Permainan mereka pusatkan di tengah sehingga para wing-back jadi memiliki kebebasan untuk melakukan apa yang paling bisa mereka lakukan. Kieran Trippier dengan umpan silangnya, Yannick Ferreira-Carrasco dengan kemampuan penetrasinya.

Kendati begitu, apa yang diinginkan Simeone sebetulnya belum seratus persen terwujud. Musim lalu mereka memang juara tetapi, harus diakui, keberhasilan itu tak bisa dipisahkan dari problem Real Madrid dan Barcelona. Selain itu, Atletico musim ini juga tampil cukup mengecewakan. Mereka tidak cukup tajam saat menyerang dan tidak cukup ketat dalam bertahan. Belum lagi, performa kiper Jan Oblak mulai menyulut tanda tanya dalam kepala publik.

Akan tetapi, perlu dicatat bahwa ini adalah awal dari sebuah era baru. Simeone sudah menutup era pertamanya dengan keberhasilan besar. Kini, dia tengah berupaya mengangkat Atletico ke level yang lebih tinggi lagi. Dia sudah membuat Atletico jadi salah satu klub terhebat dan terbesar di dunia. Langkah selanjutnya yang paling logis, tentu saja, adalah membuat Atletico jadi nomor satu.