Siapa, sih, Luis Diaz?

Foto: FC Porto.

Sebelum sampai di Liverpool, Luis Diaz melewati perjalanan panjang: Dari keberhasilan melewati kelaparan, 2 Copa America, hingga Porto.

Bagi anak-anak dari Barrancas, sepak bola adalah satu-satunya harapan.

Di wilayah bagian utara Kolombia itu, anak-anak sulit dapat kehidupan yang layak. Sebagian besar dari mereka bahkan tak bisa tumbuh, karena sudah kadung mati akibat kelaparan. Sebagian tak bisa tumbuh sempurna, karena sepanjang hidupnya sulit mengakses air bersih.

Ketika pun mulai bisa tumbuh besar, anak-anak dari Barrancas biasanya punya satu persamaan: Sama-sama berbadan kurus kerempeng. Oh, ya, mereka juga sama-sama kelaparan. Karenanya, bila mencari soal Barrancas di mesin pencarian daring, tak usah kaget bila menemukan jurnal berjudul “If the coronavirus doesn’t kill us, hunger will” yang ditulis Claudia Puerta Silva dkk. dari University of Antioquia di Kolombia.

Tumbuh di tengah kesulitan mengakses kehidupan layak—mulai dari makanan, air bersih, sampai fasilitas kesehatan, sepak bola kemudian hadir jadi satu-satunya pelipur lara buat anak-anak Barrancas (yang sebagian besar merupakan orang pribumi asli dari suku/kelompok Wayuu). Bola, benar-benar, adalah teman.

Luis Fernando Diaz Marulanda adalah salah satu bocah yang besar di situasi itu. Ia tumbuh di Barrancas dengan badan kurus. Bahkan ia mendapat julukan ‘fideo’ (mie, dalam bahasa Indonesia) karena kondisi tubuhnya itu. Dan yang ada di kepalanya cuma bermain sepak bola.

Diaz kecil rajin bermain sepak bola. Idolanya adalah Ronaldinho. Tentu saja ia punya mimpi untuk bisa jadi pemain kelas dunia seperti idolanya itu. Sesuatu yang jauh dari pandangan matanya, tapi kemudian bisa jadi nyata berkat satu turnamen: Copa America of Indigenous People.

Turnamen itu berlangsung pada 2015, saat Usia Diaz belum 20 tahun. Jadi, turnamen itu adalah turnamen yang diselenggarakan khusus untuk pemuda-pemuda asli (pribumi) Amerika Selatan. Untuk mereka yang juga biasa disebut ‘Native America’.

Saat itu Diaz terpilih masuk ke dalam Tim Kolombia untuk sebuah turnamen di Chile. Sebelumnya, ia telah melewati turnamen level nasional lebih dulu. Bakatnya kemudian terendus oleh Carlos Valderrama—eks pemain Tim Nasional Kolombia yang kebetulan ditunjuk sebaga pelatih Tim Kolombia untuk tunamen di Chile itu.

Di turnamen tersebut, Diaz kemudian mencuri perhatian dan, setelahnya, dia mendapat kesempatan untuk trial dengan klub Atletico Junior—yang kemudian membawanya untuk bergabung dengan Barranquilla FC, klub divisi dua Liga Kolombia. Di sana, Diaz kemudian mendapat asupan gizi khusus agar berat badannya naik. Targetnya naik 10 kilogram.

Ketika akhirnya benar-benar bermain untuk Atletico Junior pada 2017, karier Diaz menanjak. Di musim 2018, ia mencetak 16 gol dalam 56 penampilan di semua kompetisi. Capaian yang membuatnya dapat panggilan pertama kali ke Timnas Kolombia. Publik Kolombia mulai tahu kehebatannya. Orang-orang yakin ia akan segera terbang ke Eropa.

Dan benar saja, di musim panas 2019, Porto menebusnya dengan mahar 7 juta Euro. Tadinya ada Zenit Saint Petersburg yang juga coba mendatangkannya, tapi koneksi Kolombia di Porto membuat Diaz lebih memilih terbang ke Portugal. Dan setelah itu, ia muncul jadi rekrutan yang menonjol.

Dua musim pertama Diaz lalui dengan dua digit gol di semua kompetisi buat Porto. Ia juga membantu tim menjadi kampiun Primera Liga di musim perdananya, meski memang bukan sebagai starter. Ketika musim ini tiba dan berlalu sampai Januari, Diaz sudah membukukan 14 gol dan empat assist buat Porto di kompetisi domestik.

Pada tahun kemarin, ia juga tampil apik bersama Kolombia di ajang Copa America. Diaz berhasil membukukan empat gol di turnamen itu dan keluar sebagai pencetak gol terbanyak, bersanding dengan Lionel Messi. Sebuah pencapaian yang semakin meroketkan namanya.

Pengujung Januari ini kemudian jadi salah satu titik penting dalam meroketnya karier Diaz. Ia direkrut Liverpool. The Reds menebusnya dengan mahar 37,5 juta poundsterling (yang bisa membengkak jadi 50 juta pounds jika ditambah bonus) dari Porto. Eksalasi yang luar biasa buatnya.

Lantas, selain angka-angka golnya itu, mungkin banyak yang bertanya apa yang spesial dari Diaz sampai-sampai Liverpool mau memboyongnya ke Anfield. Dengan mahar yang tak bisa dibilang murah pula.

Yang pertama, tentu saja tekad dan kerja kerasnya. Ini memang tak bisa diukur statistik. Namun, jika membaca artikel ini dari awal, Anda mesti tahu bahwa Diaz tak pernah ditempa di akademi klub manapun. Ia hanya bocah dari wilayah terpencil yang rutin main bola—dan kemudian ditemukan lewat sebuah turnamen. Ketika ia sampai di titik ini, itu menunjukkan bahwa tekad dan kerja kerasnya begitu luar biasa.

Kedua, Diaz dianugerahi talenta luar biasa. Sebagai pemain sayap, ia punya dribel, kecepatan, dan penyelesaian akhir yang bagus. soal dribel, kita bisa melihat dari catatan statistiknya. Sejak datang ke Porto, persentase dribel sukses Diaz selalu berada di atas 60%.

Musim ini, Diaz rata-rata mencatatkan 4,1 dribel per pertandingan dengan persentase sukses 63%. Sebagai perbandingan, Mohamed Salah juga mencatatkan jumlah dribel dalam periode yang sama. Yang membedakan hanya persentase suksesnya, Salah 46%. Mane, sementara itu, mencatatkan rerata 2,6 dribel per laga dengan persentase sukses 57%.

Yang membuat dibel Diaz makin berbahaya adalah karena ia mampu memadukan hal tersebut dengan kecepatan. Dribel Diaz jadi sulit dihentikan lawan. Smarterscout, situs yang memberikan ponten 1-99 untuk atribut seorang pemain, bahkan memberi ponten 98 untuk atribut dribel Diaz. Menunjukkan kualitasnya

Soal dribel, Diaz juga punya kebiasaan. Biasanya ia akan melakukan dribel menusuk ke arah dalam atau depan kotak penalti (cut inside) untuk kemudian melepaskan tembakan kencang. Suatu hal yang sebenarnya juga tak asing buat penyerang sayap Liverpool seperti Salah atau Mane.

Penyelesaian akhir Diaz pun memukau. 14 gol sudah ia ciptakan hanya dari 26 tembakan on target yang ia lepaskan musim ini. 0,54 gol per tembakan tepat sasaran. Selain itu, tembakan yang ia lepaskan pun rata-rata berkualitas. Angka ekspektasi gol per tembakan (xG per shot) miliknya ada di angka 0,11.

Sebagai perbandingan, angka xG per shot milik Salah adalah 0,13, Mane 0,17, dan Jota 0,20. Kualitas tembakan Diaz tak jauh berbeda dibanding rekan-rekan barunya. Dan, perlu diketahui, bahwa Diaz pun melepaskan tembakan lebih banyak. Per 90 menit, ia melepas rerata 3,8 tembakan. Di Liverpool, hanya Salah yang mengungguli capaiannya (3,94 tembakan per 90 menit).

Selain bisa mencetak gol, Diaz juga bisa menciptakan peluang buat kawan-kawannya. Selain empat assist, ia punya catatan 2,3 umpan kunci per 90 menit. Di Liverpool, hanya Trent Alexander-Arnold yang punya catatan lebih banyak dalam periode yang sama.

Namun, tentu saja, tak ada pemain yang sempurna. Dia pun demikian. Pemain yang akan mengenakan nomor punggung 23 ini punya beberapa hal untuk diperbaiki agar menjadi pemain Liverpool yang paripurna. Atau paling tidak agar bisa dipercaya dapat menit main yang banyak.

Pertama, Diaz harus mematangkan pengambilan keputusan. Apa yang ia lakukan sejauh ini memang tak buruk, tapi ia harus paham bahwa, di Liverpool, ia harus lebih efisien. Diaz harus tau kapan waktunya menembak, melakukan dribel, atau melepaskan operan ke rekannya. Sebab, itulah yang diinginkan Juergen Klopp dari setiap pemainnya.

Diaz juga harus mengerti bahwa Liverpool dan Premier League tak akan jadi taman bermain yang sama dengan Primera Liga. Di inggris, ia akan menghadapi ruang-ruang sempit dan banyak pemain bertahan kelas satu. Tantangannya akan sedemikian besar.

Selain itu, Diaz juga harus meningkatkan atribut defensifnya. Karena, di Liverpool, pemain depan tak cuma dituntut untuk apik dalam menyerang, tapi juga mampu jadi perisai pertama tim ketika bertahan. Mereka harus bisa memenangkan kembali penguasaan bola entah itu lewat pressure, tekel, maupun intersep.

Di musim ini, catatan tekel sukses per 90 menit milik Diaz hanya 0,36. Di Liverpool, hanya catatan Salah yang paling rendah (0,20). Sementara pemain depan lain seperti Mane, Roberto Firmino, dan Diogo Jota catatan tekel sukses di medio yang sama sudah di atas 0,6.

Soal intersep pun begitu. Diaz hanya mencatat 0,18 per 90 menit musim ini. Jika dibandingkan dengan empat rekannya tadi, catatan Diaz jadi yang paling kecil. Di Liverpool, ia harus bisa membaca permainan dan berduel lebih baik ketika tak menguasai bola.

Jika hal-hal tadi bisa diatasi dan perbaiki dengan baik, Diaz boleh berharap masa depannya di Liverpool akan cerah. Sebab, seperti itu pula harapan Klopp. Sang manajer percaya bahwa Diaz akan jadi rekrutan yang baik buat Liverpool di masa kini maupun di masa depan.

***

Belasan tahun silam, Diaz hanyalah bocah Barrancas yang berhasil lolos dari maut akibat kelaparan. Lima tahun silam, ia hanya pemain muda yang mencoba peruntungan di klub guram Kolombia. Lalu, dua tahun silam, ia hanya pemuda yang membeli jam tangan Rolex sebagai wujud sukacita setelah direkrut Porto.

Kini, ia adalah pemain salah satu klub terbesar di Inggris, bahkan dunia. Itu semua berhasil dilalui karena Diaz menaruh harapan pada sepak bola. Pada satu-satunya obat mujarab dari kesengsaraan dunia kecilnya. Dan di Liverpool kini, harapan Diaz itu akan terus bergulir.